NovelToon NovelToon
Aku Tak Percaya Cinta, Ayah

Aku Tak Percaya Cinta, Ayah

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berondong / Selingkuh / Obsesi / Keluarga / Angst
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author:

"Aku nggak tahu, dari mana semuanya menjadi retak dan berantakan seperti ini. Yang kuingat, hanya ada satu titik ketika hidupku berubah drastis. Ibuku pergi meninggalkan rumah bersama dengan lelaki lain. Meski ayahku tegar dan tabah, pada akhirnya dia menyerah dan menikahi perempuan lain. Brian, adalah satu-satunya tempat dan rumah terakhir yang aku harapkan. Tetapi, dia pun juga menorehkan luka yang tak bisa kumaafkan."

Aku tak lagi percaya pada cinta, Ayah.
Tak lagi."

~ Serena Azura Auliana~

:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+

Serena telah kehilangan kepercayaannya pada cinta. Semua orang yang pernah ia cintai, yang begitu ia percayai dan anggap berarti dalam hidupnya, ternyata dengan mudah menghianati cinta itu.

Hatinya hancur berkeping-keping. Bukan sekadar patah--tapi benar-benar remuk, hingga tak tersisa apa pun selain reruntuhan yang menyakitkan. Tak ada lagi yang tertinggal, kecuali kekecewaan yang dalam, dan trauma yang perlahan menggerogoti jiwa.

Aku Pulang

Adhan menatap meja kerja Serena yang kini kosong tanpa berkedip. Tak hanya kursi itu yang kosong, tapi hatinya juga merasa kosong, karena mulai hari ini, dia tidak akan bertemu dengan Serena. Bahkan, akan berlanjut Sampai empat hari mendatang.

Tapi, kepergian Serena bukanlah satu-satunya hal yang ia khawatirkan. Ada yang lebih buruk bagi itu.

Kemungkinan buruknya adalah ... jika Serena pada akhirnya memutuskan untuk tidak kembali lagi ke kota ini, karena ingin tinggal bersama dengan keluarganya kembali, untuk selamanya.

Ya. Untuk selamanya. Memikirkannya saja membuat Adhan merasa frustrasi.

Serena adalah gadis pertama yang membuat Adhan sefrustrasi ini . Padahal, mereka tidak memiliki hubungan spesial apa pun untuk saling khawatir. Dia bukan siapa-siapa bagi wanita itu. Bahkan mungkin, wanita itu tidak pernah menganggap kehadirannya.

Sekarang, yang bisa Adhan lakukan hanya bersabar dan mendoakan yang terbaik untuk Serena dan keluarganya. Semoga mereka bisa kembali akur dan memiliki hubungan yang harmonis.

Sementara itu, jauh dari tempat Adhan berada, Serena sedang berdiri tepat di seberang rumah di mana keluarganya tinggal. Alasan dia tidak langsung masuk ke dalam, adalah untuk mengamati sedikit lama, mengenang setiap inci yang tersimpan di balik rumah yang berdiri kokoh ini.

Rumah ini terasa asing sekaligus akrab secara bersamaan.

Meskipun ada banyak cerita dan kenangan manis di dalamnya, namun rasa sakit dan trauma yang dia terima juga tidak sedikit.

Kesedihan, kekecewaan, dan penghianatan-semuanya masih membekas di sudut hatinya yang paling dalam.

Serena menarik napas dalam-dalam. Dia sudah terlalu lama berdiri di sini. Jika tetangga melihat, entah apa yang akan mereka pikirkan. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk segera masuk ke dalam.

Begitu langkahnya menapaki halaman rumah, pandangannya langsung bertemu dengan sosok yang tak asing di beranda depan. Ayahnya duduk di sana, bersandar santai di kursi rotan kesayangannya, seolah memang sudah menunggu sejak tadi. Saat melihat Serena, matanya langsung berbinar, senyumnya mengembang begitu lebar.

"Bun, Rere udah pulang!" serunya sambil berdiri dengan sigap.

Setelah berteriak memberitahu istrinya, Romi langsung berlari menghampiri Serena.

"Assalamualaikum, Yah," ucap Serena lirih, senyumnya terkesan kaku karena sudah lama tidak bertemu. Dia meraih tangan ayahnya, dan menciumnya dengan penuh takzim.

"Waalaikumussalam. Maa syaa Allah, anak Ayah. Kamu makin cantik, Nak! Ayah hampir nggak ngenalin," puji Romi dengan mata berkaca-kaca saat melihat perubahan penampilan putrinya, yang kini mengenakan hijab serta pakaian yang menutup aurat secara sempurna.

Sekarang ia tahu alasannya—bukan sekadar rindu yang membawa Serena pulang, tapi hidayah dari Allah yang mengetuk hati putrinya. Ada cahaya baru di wajah itu, dan sang ayah hanya bisa menunduk haru, membisikkan syukur dalam hati; doanya selama ini telah dijawab dengan kepulangan yang paling indah.

"Ayo masuk dulu, anak ayah pasti capek banget habis perjalanan jauh," ujarnya lembut, kemudian tangannya dengan sigap mengambil alih barang-barang yang dibawa oleh putrinya.

Saat mereka melangkah masuk ke dalam rumah, aroma masakan yang familiar langsung menyambut. Dari balik dapur, Bunda muncul sambil tersenyum lebar.

Dari penampilan sang bunda, Serena bisa menebak. Bundanya itu, sepertinya sangat sibuk menyiapkan makan siang untuk menyambut kedatangannya.

"Bunda masak rendang, soto, sama sambal hati, makanan kesukaan Rere. Kalo Rere lapar, kita bisa makan sekarang. Bunda akan panggilan Rafa dan Dafa."

Mendengar suara lembut Sarah, bunda sambungnya itu, Serena tak bisa menahan air mata. Perasaan bersalah menyelusup dalam hatinya. Dia sudah begitu jahat pada seorang wanita yang menyayanginya seperti putri kandungnya sendiri.

Melihat Serena seperti akan menangis, Romi dan Sarah tampak kalang kabut. Keduanya langsung mendekat, dan berusaha menenangkan Serena.

"Maafin, Rere. Ayah, Bunda. Rere banyak salah sama kalian. Rere udah bikin kalian sedih karena memutuskan untuk pergi dari rumah ini. Rere merasa sangat menyesal," tangis itu akhirnya pecah. Tak bisa dibendung lagi.

Romi dan Sarah saling berpandangan. Tatapan mereka kemudian beralih pada Serena, tatapan yang sarat akan cinta kasih sayang dari orang tua kepada anaknya.

Romi dan Sarah tidak melarang Serena menangis. Akan lebih baik jika putri kecil mereka melepaskan semua perasaannya. Perasaan yang selama ini telah menyiksanya.

"Dengarkan Ayah, Nak," kata Romi dengan lembut sambil menangkup wajah putrinya. "Ayah dan Bunda nggak pernah marah dengan keputusanmu, Nak. Ayah tidak tahu, seberapa besar luka yang kamu pendam. Tapi Ayah percaya, keputusan yang kamu ambil adalah demi kebaikanmu sendiri. Jika kamu tidak betah tinggal di sini, Ayah tidak akan memaksamu untuk tinggal. Ayah tidak pernah menghubungi juga bukan karena ayah berlepas tangan, Ayah hanya ingin kamu bahagia, Nak.

Serena tak sanggup menjawab. Ia hanya bisa menangis dalam pelukan ayahnya. Penyesalan menyesak di dadanya, semakin kuat.

Sarah tidak merusak momen haru di antara kedua ayah dan anak itu. Dia bahkan tersenyum lembut pada Serena, dan membantu menghapuskan air mata yang berlinang di wajahnya.

Saat pelukan itu akhirnya lepas, Serena kemudian melirik ke arah Sarah. Dia mendekat pada ibu sambungnya itu, dan memeluknya dengan erat. Sudah begitu lama, ia tak merasakan kehangatan dari seorang ibu.

"Bunda. Rere minta maaf. Rere pasti udah buat Bunda sedih, dan terima kasih karena Bunda mau menjaga Ayah dan rumah ini dengan baik," luah Rere dengan nada setengah berbisik.

Sarah yang mendengarkan hanya tersenyum sambil melirik ke arah suaminya sekilas. Sementara telapak tangan kanannya, membelai kerudung Serena dengan lembut.

"Yang lalu biarlah berlalu. Mari kita mulai semuanya dari awal. Kamu mau, kan?"

Serena langsung mengangguk dengan cepat. Dia melepaskan pelukan kepada bundanya itu dan berkata dengan penuh tekad. "Ya. Mari kita mulai semuanya dari awal."

Sarah tiba-tiba mengusap air mata Serena yang masih mengalir di atas pipi. Senyum kecil terbit di wajahnya yang sudah mulai menua. "Ayo ikut Bunda ke dapur. Bunda pengen banget, Rere nyicipin masakan Bunda."

Serena mengangguk perlahan. Air matanya yang jatuh sudah tak sederas tadi. Drama keluarga yang sudah lama bersitegang itu akhirnya selesai juga.

Serena merasa bahagia sekaligus sedih, karena keluarganya masih tetap menerimanya setelah apa yang telah ia perbuat selama ini.

Serena dibawa oleh kedua orang tuanya ke ruang makan. Barang yang dia bawa, dibiarkan tergeletak begitu saja di ruang tamu.

Setibanya di ruang makan, Serena disambut dengan begitu banyak makanan yang tersaji di atas meja. Seperti yang disampaikan oleh bundanya tadi. Dia sudah effort membuat rendang, soto, bahkan sambal ati ayam.

Tapi, masih ada yang kurang dari makan siang hari ini.

Dia masih belum melihat batang hidung Rafa dan Dafa. Kedua adik lelakinya yang sudah lama tidak ia jumpai.

Serena dan Romi duduk lebih dulu di kursi mereka, sementara Sarah memanggil anak-anaknya untuk ikut bergabung.

"Rafa, Dafa ... ayo, sini dulu. Lihat siapa yang datang."

Langkah kaki terdengar dari lorong. Dua anak laki-laki muncul. Yang pertama, seorang remaja lima belas tahun bertubuh tinggi kurus, dengan ekspresi bingung dan penasaran. Yang kedua, bocah kecil berusia sekitar dua tahun, memegang mainan robot di tangannya, menatap ke arah Serena dengan mata bulat polos.

Lelaki yang lebih besar mengerutkan dahi. Ia menatap Serena dengan canggung.

"Mbak Re, pulang?" celetuknya, seperti tidak percaya dengan apa yang dia lihat di hadapannya saat ini.

Sebagian dari dirinya yang lain merasa marah, atas apa yang sudah Serena lakukan pada bundanya. Dia ingat betul, tak lama setelah bunda dan ayah mereka menikah, Serena memutuskan pergi dari rumah. Membuat suasana rumah menjadi kacau. Bunda yang sebenarnya menyayangi kakak tirinya itu, juga terjebak oleh rasa sedih dan bersalah.

Tidak sampai di situ, Serena bahkan tidak pulang sama sekali ke rumah saat Sarah hendak melahirkan Daffa. Ingatan itu, menciptakan dendam dalam hati Rafa. Membuatnya membenci Serena, lebih dari yang bisa dia bayangkan.

Serena bangkit dari tempat duduknya. Menghampiri kedua adiknya itu.

Saat dia akan menyentuh Rafa. Remaja itu langsung menepis tangannya dengan kasar, membuat semua orang terkejut, kecuali Serena.

Serena memaklumi sikap Rafa yang demikian. Lagipula, anak mana yang terima saat ibunya diperlakukan buruk oleh orang lain, apalagi jika itu oleh anak sambungnya sendiri?

Rafa pasti sangat membencinya.

Serena juga tidak akan memaksa Rafa untuk menyukainya. Karena dia bersedia menerima resiko dari perbuatannya di masa lalu

"Mbak Re dapat hidayah dari mana, makanya berani buat pulang sekarang? Atau ... Mbak udah gak punya rumah lagi di sana?" suara Rafa terdengar tajam, mengiris udara siang itu dengan kemarahan yang selama ini ia pendam dalam waktu yang cukup lama.

"Rafa! Kamu ini ngomong apa sih? Gak boleh bicara kasar begitu sama Mbakmu," tegur Sarah pada putranya yang sudah berbicara tidak sopan.

Rafa menatap ibunya, mempertanyakan di mana letak kesalahannya? Dia hanya melakukan haknya seorang anak. Anak dari seorang ibu yang telah dilukai hatinya.

"Lalu apa Mbak Re boleh nyakitin Bunda? Apa Bunda nggak ingat, waktu Mbak Re pergi dan gak noleh sedikit pun walupun Bunda udah nangis-nangis minta dia jangan pergi. Dia bahkan gak pulang waktu Bunda ngelahirin Dafa." Rafa mengatakan itu dengan mata yang memerah dan mulai berkaca-kaca.

"Rafa!" seru Bunda lagi.

Romi hendak bangkit, melerai suasana sebelum semakin chaos, namun Serena segera mengambil alih.

Bagaimanapun juga, ini adalah urusannya. Dia sudah melakukan dosa di masa lalu, dan dia harus bertanggung jawab untuk itu.

"Bunda, biarin Rafa meluapkan perasaannya. Rafa nggak salah ... Rere memang udah kelewatan waktu itu. Rere bahkan nggak datang waktu Bunda ngelahirin Dafa. Gak apa-apa kalau Rafa masih marah. Rere pantas untuk itu. Tapi, Rafa ...." Serena beralih menatap wajah adik pertamanya dengan tulus. "Izinkan Mbak minta maaf. Dari hati yang paling dalam. Mbak bersalah, dan Mbak sangat menyesal untuk semuanya."

Rafa terdiam. Wajahnya masih mengeras, tapi tatapannya kini perlahan mulai melembut.

Kebencian tak serta merta hilang dari dalam hatinya. Tapi, mengingat bundanya begitu menyayangi Serena, Rafa merasa tak bisa berkutik.

Di sisi lain, Rafa juga menyadari kisah hidup Serena yang tidaklah mudah. Memikirkan berada di posisi gadis itu, dia mungkin akan melakukan hal yang sama. Atau, bisa jadi lebih gila daripada itu.

"Seperti Mbak yang butuh waktu buat pulang ... aku juga butuh waktu buat maafin Mbak. Aku cuma mau, Mbak bisa buktiin perkataan Mbak. Kalau Mbak bener-bener menyesal, dan merasa bersalah."

Serena mengangguk, air matanya jatuh lagi. Dia melihat harapan untuk mendapatkan maaf dari adiknya itu.

"Mbak akan berusaha," ucap Serena dengan penuh keyakinan.

Setelah melakukan pertukaran janji antara dirinya dengan Rafa. Serena kini beralih pada adik bungsunya, Dafa.

Ia kemudian berjongkok perlahan, menyamakan tinggi dengan adik bungsunya yang berdiri di sisi Rafa.

Dafa, bocah dua tahun itu, memeluk robot mainannya erat-erat. Wajah polosnya memandang Serena dengan rasa bingung yang dalam.

"Halo, Dafa ..." sapa Serena disertai dengan senyuman kecil untuk sang adik.

"Kamu udah besar, ya? Mbak belum pernah ketemu kamu sebelumnya. Kamu pasti bingung lihat Mbak."

Dafa terdiam. Matanya memandangi Serena seperti sedang menatap sesuatu yang ajaib. Lalu dengan suara pelan dan ragu, ia bertanya:

"Mbak Le ...."

Serena terkejut mendengar Dafa menyebut namanya. Meskipun agak sedikit kepeleset, karena lidahnya masih belum lurus.

"Iya ... Ini Mbak Re."

Bocah itu menatapnya dengan mata besar yang jernih. "Mbak Le ual poto?"

Pertanyaan itu berhasil membuat Serena tertohok. Dia paham bahwa yang dimaksud oleh Dafa adalah dirinya yang tiba-tiba muncul secara ajaib, seperti keluar dari dalam foto.

Selama ini, Dafa hanya mengenal Serena dari foto. Romi dan Sarah selalu menunjukkan foto itu sambil berkata, "Ini Mbak Re, kerja di tempat jauh. Nanti kalau kamu udah besar, kamu bisa ketemu Mbak." Mereka tak ingin si bungsu membenci kakaknya yang tak pernah pulang.

"Dapa eneng ... mbak Le uang," ucap Dafa dengan lidah cadelnya, berusaha berkata bahwa dia senang dengan kepulangan Serena.

Serena menahan senyum, lalu membungkuk dan merentangkan tangan, siap menggendong adik kecilnya itu.

Tak kuasa menahan kesedihan dan rasa bersalah yang kian mengental, Serena langsung memeluk tubuh mungil itu erat-erat.

Sekali lagi, dia dibuat menitihkan air mata dan merasa tertampar oleh adiknya sendiri.

Bersambung

Senin, 25 Agustus 2025

1
HjRosdiana Arsyam
Luar biasa
Ismi Muthmainnah: Terima kasih sudah mampir dan memberikan komentar. Saya merasa terharu🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!