Kehidupan seorang balita berusia dua tahun berubah total ketika kecelakaan bus merenggut nyawa kedua orang tuanya. Ia selamat, namun koma dengan tubuh ringkih yang seakan tak punya masa depan. Di tengah rasa kehilangan, muncullah sosok dr. Arini, seorang dokter anak yang telah empat tahun menikah namun belum dikaruniai buah hati. Arini merawat si kecil setiap hari, menatapnya dengan kasih sayang yang lama terpendam, hingga tumbuh rasa cinta seorang ibu.
Ketika balita itu sadar, semua orang tercengang. Pandangannya bukan seperti anak kecil biasa—matanya seakan mengerti dan memahami keadaan. Arini semakin yakin bahwa Tuhan menempatkan gadis kecil itu dalam hidupnya. Dengan restu sang suami dan pamannya yang menjadi kepala rumah sakit, serta setelah memastikan bahwa ia tidak memiliki keluarga lagi, si kecil akhirnya resmi diadopsi oleh keluarga Bagaskara—keluarga terpandang namun tetap rendah hati.
Saat dewasa ia akan di kejar oleh brondong yang begitu mencintainya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Pagi itu suasana rumah keluarga Bagaskara kembali riuh. Bukan karena pertengkaran kecil atau gurauan, melainkan karena rencana perjalanan keluarga di akhir pekan. Arini sibuk menyiapkan bekal di dapur, sementara Bagas memeriksa jadwal perjalanan. Celin baru saja pulang larut malam dari rapat perusahaan, namun tetap bangun lebih awal. Ia duduk di meja makan sambil meneguk teh hangat.
Arka datang dengan rambut acak-acakan, masih setengah ngantuk. “Kak Celin, kamu nggak tidur? Semalam kan rapat sampai jam berapa?”
Celin tersenyum tipis. “Baru jam dua. Ada revisi laporan.”
Aksa yang menyusul masuk langsung mengerutkan kening. “Kak, itu nggak sehat. Kalau kamu terus-terusan begitu, nanti sakit. Apa nggak bisa sekali-sekali serahkan ke tim lain?”
Celin menunduk, seakan merasa bersalah. “Aku hanya ingin memberi yang terbaik untuk Papa, untuk perusahaan. Lagipula, aku memang harus belajar banyak.”
Arka duduk di sebelahnya, menepuk bahu kakaknya. “Kak, Mama pernah bilang ke kami, kalau kamu itu cahaya. Tapi cahaya juga butuh istirahat. Kalau nggak, bisa meredup.”
Celin menoleh pada adiknya, hatinya menghangat. Sejak percakapan malam itu—saat Arini menasehati kembar—sikap mereka memang berbeda. Arka yang dulu suka jahil, kini lebih sering menjaga kata-kata. Aksa yang tenang, makin terlihat dewasa.
“Baiklah,” kata Celin akhirnya. “Hari ini aku janji nggak akan buka laptop, nggak akan bahas bisnis. Hari ini cuma untuk kita.”
Arka bersorak kecil, lalu melirik Aksa. “Tuh kan, berhasil juga misi kita bikin Kak Celin libur.”
Aksa hanya tersenyum kecil. “Begitu lebih baik.”
---
Hari itu mereka berangkat bersama ke sebuah vila di tepi danau, milik keluarga besar Bagaskara. Udara sejuk, pepohonan rindang, danau berkilau diterpa cahaya matahari. Celin berdiri di tepi dermaga kayu, rambut panjangnya ditiup angin.
Arka menghampiri sambil membawa pancing. “Kak, ayo mancing bareng. Siapa tahu kita bisa bakar ikan nanti malam.”
Celin tertawa kecil. “Aku nggak pernah mancing, Ka.”
“Justru itu. Biar aku yang ajarin,” jawab Arka semangat.
Tak lama, Aksa datang dengan kamera DSLR menggantung di leher. “Aku jadi fotografer hari ini. Kak Celin harus punya kenangan selain laporan keuangan.”
Mereka bertiga tertawa bersama. Seharian itu, Celin melupakan dunia bisnis. Ia tertawa ketika kail Arka tersangkut di celananya sendiri. Ia tersipu ketika Aksa memotret candid dirinya yang sedang menatap danau.
Saat senja tiba, mereka duduk di teras vila, memandangi langit oranye. Bagas dan Arini menatap ketiga anak mereka dari kejauhan dengan mata berbinar.
“Lihatlah, Pak,” bisik Arini. “Mereka benar-benar tumbuh menjadi keluarga yang saling menjaga.”
Bagas mengangguk. “Aku tenang. Apa pun yang terjadi nanti, mereka akan tetap bersatu.”
---
Malam itu, setelah makan malam, Arka dan Aksa sudah tertidur. Celin masih duduk di balkon, memandangi bulan. Arini datang membawa selimut, lalu duduk di sampingnya.
“Celin, Mama ingin bicara sebentar.”
Celin menoleh. “Ada apa, Ma?”
Arini menggenggam tangan putrinya. “Nak, Mama tahu kamu kuat. Kamu selalu berusaha menjadi cahaya bagi kami semua. Tapi ingat, kamu juga berhak bahagia sebagai dirimu sendiri. Jangan hanya jadi kakak, anak, atau calon penerus perusahaan. Kamu juga seorang gadis muda.”
Celin terdiam, merasakan suara hatinya disentuh. Ia menghela napas. “Kadang aku iri, Ma. Teman-teman seusiaku bisa bebas main, bisa jatuh cinta, bisa salah dan belajar. Sementara aku… harus selalu benar.”
Arini mengelus kepalanya lembut. “Itu karena takdirmu berbeda. Tapi jangan khawatir, Nak. Mama percaya suatu saat akan ada seseorang yang melihatmu bukan sebagai pewaris Bagaskara, bukan sebagai cahaya, tapi hanya sebagai Celin. Dan ketika itu tiba, izinkan dirimu untuk bahagia.”
Air mata Celin jatuh pelan. Ia memeluk ibunya erat. “Terima kasih, Ma.”
---
Beberapa minggu setelah perjalanan itu, Celin kembali pada rutinitas. Namun ada perubahan: ia mulai memberi ruang untuk dirinya.
Di kampus, ia menerima ajakan teman-teman untuk bergabung dalam komunitas debat bisnis. Awalnya ia ragu, takut waktunya tersita. Tapi kemudian ia sadar, inilah cara untuk menyeimbangkan hidup.
Celin tampil dalam lomba debat antar-universitas. Ia memimpin timnya dengan argumen tajam, namun tetap rendah hati. Hasilnya? Mereka juara pertama. Sorak-sorai penonton bergema, nama Celin makin dikenal.
Sepulang lomba, ia mendapati kembar menunggunya di gerbang kampus. “Selamat juara, Kak!” teriak Arka sambil membawa papan karton bertuliskan “Cahaya Bagaskara No.1”.
Aksa yang lebih kalem hanya mengacungkan kamera. “Aku dokumentasiin semua. Papa sama Mama bakal bangga lihat ini.”
Celin tertawa sampai matanya berkaca-kaca. “Kalian memang adik terbaik di dunia.”
---
Suatu malam, Arka dan Aksa mengajak Celin naik ke rooftop rumah. Mereka membawa tikar, bantal, dan teleskop kecil.
“Ada apa kalian bawa-bawa aku ke sini?” tanya Celin sambil tersenyum heran.
“Ini malam spesial, Kak,” jawab Aksa. “Hujan meteor.”
Mereka bertiga berbaring menatap langit. Bintang-bintang jatuh melintas sesekali, meninggalkan jejak cahaya singkat.
Arka berbisik, “Kak, tahu nggak? Setiap meteor itu kayak doa. Aku doa supaya Kak Celin selalu bahagia.”
Aksa menambahkan, “Aku doa supaya Kak Celin nggak pernah merasa sendirian lagi.”
Celin menutup matanya, menahan air mata yang hampir jatuh. “Kalau begitu, aku doa supaya kita bertiga selalu bersama, sampai kapan pun.”
Tangan mereka bertaut. Tiga bintang Bagaskara, berjanji lagi di bawah langit penuh cahaya.
---
Waktu berjalan. Celin semakin matang, semakin dikenal di kampus dan perusahaan. Namun ia tidak lagi kesepian. Arka dan Aksa tumbuh menjadi remaja lelaki yang dewasa, protektif terhadap kakaknya.
Suatu ketika, ada seorang mahasiswa senior yang mencoba mendekati Celin. Tidak dengan niat buruk, hanya sekadar mengajak berkenalan lebih dekat. Namun sebelum ia sempat berbicara banyak, Arka muncul dengan wajah tegas.
“Maaf, Kak Celin ada urusan. Jangan macam-macam ya.”
Celin hanya bisa tertawa kecil. “Ka, kamu itu berlebihan.”
“Tugas kami menjaga cahaya, Kak,” jawab Arka mantap.
Di sisi lain, Aksa lebih bijak. Ia tidak langsung menolak siapa pun yang mendekati Celin, tapi selalu mengingatkan dengan tenang. “Kak, kalau ada yang bikin kamu nggak nyaman, bilang ke kami. Kamu nggak sendirian.”
Celin tersenyum hangat pada mereka. “Kalian benar-benar tumbuh dewasa.”
---
Suatu malam, Celin kembali menulis di buku hariannya:
“Dulu aku merasa sepi. Tapi sekarang aku punya dua sahabat sejati: adik-adikku sendiri. Arka yang jahil tapi selalu ada, Aksa yang tenang tapi penuh perhatian. Mereka bukan hanya adik, tapi pelindung, teman, dan keluarga yang membuatku merasa lengkap. Jika cahaya ini bisa terus bersinar, itu karena ada dua bintang yang selalu menjaganya.”
Ia menutup buku itu dengan senyum.
---
Pagi kembali datang. Celin bersiap kuliah, Arka dan Aksa bersiap ke sekolah. Sebelum berangkat, mereka bertiga berkumpul sebentar di ruang tamu.
Arka menggenggam tangan kakaknya. “Kak, apapun yang terjadi, jangan pernah merasa sendirian.”
Aksa menambahkan, “Kita tiga bintang Bagaskara. Dan cahaya utama akan selalu terlindungi.”
Celin menatap mereka berdua, lalu memeluk erat. “Ya. Selamanya.”
Di luar, matahari terbit perlahan, seakan memberi restu pada janji itu.
Bersambung…
cakra msti lbih crdik dong....ga cma mlindungi celin,tp jg nyri tau spa juan sbnrnya....mskpn s kmbar udu nyri tau jg sih....
nmanya jg cnta.....ttp brjuang cakra,kl jdoh ga bkln kmna ko....
kjar celine mskpn cma dgn prhtian kcil,ykin bgt kl klian brjdoh suatu saat nnti.....
ga pa2 sih mskpn beda usia,yg pnting tlus....spa tau bnrn jdoh....
nongol jg nih clon pwangnya celine.....
msih pnggil kk sih,tp bntr lg pnggil ayang....🤭🤭🤭