Setelah dua tahun menikah, Laras tidak juga dicintai Erik. Apapun dia lakukan untuk mendapatkan cinta suaminya tapi semua sia-sia. Laras mulai lelah, cinta Erik hanya untuk Diana. Hatinya semakin sakit, saat melihat suaminya bermesraan dengan Dewi, sahabat yang telah dia tolong.
Pengkhianatan itu membuat hatinya hancur, ditambah hinaan ibu mertuanya yang menuduhnya mandul. Laras tidak lagi bersikap manja, dia mulai merencanakan pembalasan. Semua berjalan dengan baik, sikap dinginnya mulai menarik perhatian Erik tapi ketika Diana kembali, Erik kembali menghancurkan hatinya.
Saat itu juga, dia mulai merencanakan perceraian yang Elegan, dibantu oleh Briant, pria yang diam-diam mencintainya. Akankah rencananya berhasil sedangkan Erik tidak mau menceraikannya karena sudah ada perasaan dihatinya untuk Laras?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reni Juli, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26. Memang Tidak Percaya
Lagi-lagi, Briant tidak bisa memalingkan pandangan dari wanita cantik yang duduk anggun di hadapannya. Laras tampak menawan dengan pakaian kasual sederhana yang ia kenakan, ditambah kacamata yang terpasang rapi di wajahnya, membuat sosoknya terlihat semakin berkelas.
Briant tidak langsung menghampirinya. Ia membiarkan dirinya menikmati pemandangan itu sedikit lebih lama. Namun, ketika Laras yang sedang sibuk menunduk mendongak tanpa sengaja, tatapan mereka beradu.
“Hmm,” Brian berdehem kecil, pura-pura memperbaiki dasinya. Ia pun segera melangkah mendekat. Ia tahu, jika ia berdiri memandangi wanita itu terlalu lama, akan terlihat aneh.
“Pak Nugraha,” sapa Laras dengan senyum basa-basi, “aku hampir mengira Anda manekin yang dipajang di restoran ini.”
Brian terkekeh kecil. “Anda pandai bercanda, Bu Laras. Tapi melihat wanita cantik tepat di depan mata… rasanya semua pria akan bereaksi sama sepertiku.”
Laras menatapnya dingin. “Apa Anda sedang bercanda, atau justru mencoba menggoda saya?”
“Tolong jangan salah paham,” Briant menarik kursi lalu duduk. “Itu hanya lelucon. Jika menyinggung, saya minta maaf.”
Laras menghela napas panjang. “Saya sudah menikah. Jadi saya tidak suka ada yang mencoba menggoda saya.”
Briant menatapnya dalam, seolah mencoba menembus dinding yang Laras pasang. “Oh, saya yakin Anda pasti istri yang setia. Sayangnya…” ia berhenti sejenak, suaranya merendah, “Wanita seperti Anda justru menikah dengan Erik Wijaya, pria yang terkenal suka bermain wanita.”
Kalimat itu membuat Laras terdiam. Senyum pahit menghiasi wajahnya. “Ya. Saya memang istri setia. Setia sampai membuatku begitu bodoh.”
“Apa maksud Anda?” Briant bersandar, ekspresinya penuh rasa ingin tahu.
“Tidak. Aku tidak bisa menceritakannya.”
“Bu Laras, tolong jangan membuat seorang pria penasaran.” Senyum tipis muncul di wajah Briant. “Bagaimana kalau makan malam bersama? Saya yang traktir. Anggap saja kesempatan Anda untuk melampiaskan semua keluh kesah. Dan anggap saya… pendengar yang baik.”
Laras menatapnya tanpa ekspresi, lalu tersenyum tipis. Dalam hati berkata, mungkin Erik ingin memperbaiki hubungan mereka hanya karena rasa penasaran. Menyadari itu saja sudah cukup membuat hatinya sakit.
“Karena Bu Laras tidak menolak, saya anggap itu sebagai persetujuan,” kata Briant cepat.
“Oh, tidak. Jangan salah. Saya tidak bisa sekarang.”
“Itu berarti suatu hari nanti Anda bersedia?”
“Aku tidak berjanji,” jawab Laras datar, "Dan tolong jangan terlalu formal."
Briant tersenyum, “Baiklah. Aku akan menganggapnya sebagai hutang. Dan aku akan menantikannya.”
“Baiklah, hampir lupa.” Laras menambahkan dingin, “Jika makan malam denganmu, aku. akan membawa suamiku serta.”
Brian terdiam, lalu tertawa canggung. “Oh, benar. Kita memang sudah merencanakannya kemarin.”
“Setelah Pak Nugraha menandatangani proposal ini, kami yang akan mengundangmu makan malam. Anggap saja bentuk penghargaan atas kerja sama ini.”
“Baiklah,” Brian tersenyum menawan. “Aku menantikannya.”
Percakapan kembali bergeser ke pembahasan proposal. Sesekali, Briant masih mencuri pandang. Wajah Laras, aroma parfumnya yang manis, semuanya membuat pria itu semakin sulit mengalihkan pandangan.
Beberapa saat kemudian, mereka sampai pada halaman terakhir. Proposal itu hampir sempurna, hanya sedikit revisi kecil yang tersisa.
“Sekarang proposal ini sudah sempurna,” ucap Briant. “Kerja sama kita sebentar lagi akan resmi terjalin.”
Laras mengangguk. “Aku sangat senang. Terima kasih sudah membantuku memperbaikinya. Aku jadi merasa berhutang, Pak Nugraha.”
“Tidak perlu dipikirkan. Aku hanya membantu sedikit. Tapi kalau kau ingin membalas budi, mungkin suatu hari aku akan mempertimbangkannya,” jawab Brian dengan senyum samar.
“Terima kasih. Aku akan segera menyiapkan surat kontraknya dan menghubungimu nanti.”
“Aku tunggu,” balas Brian singkat.
Saat Laras membereskan berkas-berkas, Brian menambahkan, “Maaf kalau aku lancang. Aku dengar Pak Wijaya sedang keluar kota. Apakah beliau bisa menandatangani kontrak ini dalam waktu dekat?”
“Untungnya, dia sudah kembali,” jawab Laras cepat. “Jadi kau tak perlu cemas. Dialah yang akan menandatangani kesepakatan ini, bukan aku.”
Brian mengangguk. “Aku hanya memastikan, jangan salah paham.”
“Aku tahu.” Laras berdiri, membungkuk singkat. “Sekali lagi, terima kasih.”
Ia pun pamit pergi, Briant memandangi kepergiannya. Dia tak bisa memalingkan pandangan dari wanita itu. Seharusnya tak boleh dia lakukan, tapi dia tidak bisa menghentikan dirinya sendiri.
Laras kembali ke kantor untuk menyiapkan surat kontrak. Namun belum lama ia duduk, teleponnya berdering. Itu dari orang yang ia tugaskan untuk mengikuti Dewi.
“Bagaimana? Apa Dewi berhasil mendapat kerja sama dengan Pak Roby?” tanya Laras cepat.
“Sepertinya belum. Pak Roby tidak ada di tempat. Tapi… Dewi diminta datang ke suatu tempat nanti malam.”
Senyum tipis terbit di wajah Laras. Tepat seperti yang ia duga. Pak Roby hanya menginginkan satu hal.
“Baik. Ikuti dia. Cari tahu apa yang terjadi, dan pastikan aku mendapat semua yang kuinginkan. Jangan sampai dia tahu. Tidak seorang pun boleh tahu.”
“Baik, Nyonya.”
Laras meletakkan gagang telepon. Senyum licik merekah. Semua berjalan sesuai rencana. Sebentar lagi, Dewi akan terjebak dan jatuh seperti pengemis. Dan setelah itu, ia tak perlu lagi melihat wajah si pengkhianat itu.
Ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya. “Laras,” suara Erik terdengar di balik pintu.
Ia membuka, dan mendapati suaminya berdiri dengan wajah penuh gelisah. Namun senyum Erik cepat terkembang begitu melihatnya.
“Ada apa?” tanya Laras dingin. “Kalau kau menanyakan soal Dewi, aku tidak tahu apa-apa.”
“Bukan itu.” Erik menggeleng. “Aku yakin dia sudah mendapat kerja sama itu. Aku hanya ingin tahu… kenapa kau begitu lama bertemu dengan Briant Nugraha? Apa proposalnya belum selesai?”
“Proposalnya sudah selesai,” jawab Laras tanpa menatapnya. “Aku hanya mempersiapkan surat kontrak. Aku ingin kau meluangkan waktu untuk bertemu dengannya. Aku berencana menjamunya makan malam. Di sana kau bisa menandatangani kontrak.”
Erik menarik napas lega. Terus terang, ia tak suka Laras berlama-lama dengan pria itu. “Kau benar-benar bisa diandalkan. Baiklah, aturlah tempatnya. Kita akan menjamunya agar dia senang.”
Laras hanya mengangguk singkat, berharap suaminya segera keluar. Namun Erik masih berdiri, bahkan melangkah mendekat.
“Apa lagi?” Laras menatapnya sinis. “Kalau kau ingin menemui selingkuhanmu, pergilah. Jangan ganggu aku.”
“Laras…” suara Erik merendah. “Aku hanya ingin mengajakmu makan siang. Kenapa kau begitu dingin padaku?”
“Aku sudah makan bersama Pak Nugraha. Pergi saja sendiri. Atau carilah selingkuhan barumu.”
Erik memijit pelipis, frustrasi. Ia tahu, Laras tak pernah berhenti menyinggung soal perselingkuhannya.
“Laras, apa kau tidak percaya aku sungguh ingin memperbaiki hubungan kita?”
“Maaf. Aku memang tidak percaya.” Tatapannya dingin menusuk. “Dan tolong jangan ganggu aku lagi. Jika tidak, aku tak akan menyiapkan surat kontrak itu. Semua ini tergantung dirimu, Erik.”
Erik terdiam, lalu menghela napas panjang. “Baiklah. Aku tidak akan mengganggumu. Tapi nanti malam, kita harus pulang bersama… dan kau harus mau makan malam denganku.”
Ia pun berbalik meninggalkan ruangan.
Laras hanya menghela napas, menatap pintu yang kembali tertutup. Ia tahu Erik sedang berusaha, tapi ia tidak yakin dan tidak peduli seberapa lama pria itu akan bertahan.
hayuu Erik n Ratna cemuuuunguut utk tujuan kalian yg bersebrangan 🤣🤣
semangat utk mendapat luka Erik 🤣
hayuuu Briant gaskeun 😁
buat Erik kebakaran jenggot 🤣🤣