Pernikahan mereka bukan karena cinta, tapi karena ultimatum. Namun malam pertama membuka rahasia yang tak pernah mereka duga—bahwa gairah bisa menyalakan bara yang tak bisa padam.
Alaric Alviero—dingin, arogan, pewaris sah kekaisaran bisnis yang seluruh dunia takuti—dipaksa menikah untuk mempertahankan tahtanya. Syaratnya? Istri dalam 7 hari.
Dan pilihannya jatuh pada wanita paling tak terduga: Aluna Valtieri, aktris kontroversial dengan tubuh menawan dan lidah setajam silet yang terkena skandal pembunuhan sang mantan.
Setiap sentuhan adalah medan perang.
Setiap tatapan adalah tantangan.
Dan setiap malam menjadi pelarian dari aturan yang mereka buat sendiri.
Tapi apa jadinya jika yang awalnya hanya urusan tubuh, mulai merasuk ke hati?
Hanya hati Aluna saja karena hati Alaric hanya untuk adik sepupunya, Renzo Alverio.
Bisakah Aluna mendapatkan hati Alaric atau malah jijik dengan pria itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jemput Alaric's Baby
Sinar matahari menembus tirai jendela besar. Di dapur, Alaric duduk santai di tepi ranjang, mengenakan setelan kasual rapi dengan kaos putih dan celana bahan hitam. Rambutnya masih agak lembap, aroma sabun khasnya samar tercium di udara.
Ia mengetuk-ngetukkan jari ke permukaan meja. “Sudah setengah jam. Jangan bilang kamu belajar dandan ala ibu menyusui?!”
Teriakan kecil dari dalam kamar mandi terdengar. “Ini ribet! Nggak semua perempuan bisa langsung tahu cara pakai breast pad, tahu!”
Alaric menyandarkan tubuhnya, menyilangkan kaki. “Itu makanya perempuan harus baca. Jangan cuma belajar akting! Lihat tuh perutmu masih kayak guling. Harus kurusin, nanti nggak laku di layar.”
Pintu kamar mandi terbuka perlahan. Aluna keluar dengan pakaian santai bernuansa nude pink, rambut setengah dikeringkan dan dikuncir tinggi. Di balik blouse longgar itu, dia sudah mengenakan breast pad pertamanya. Ekspresinya canggung, tapi juga bangga.
Alaric keluar kamar diikuti Aluna.
“Tadi sempat bocor lagi. Aku harus ganti dua kali. Padahal masih belum bisa nyusuin langsung…”
Alaric menatapnya sekilas lalu berdiri, mengambil jaket dari sandaran kursi dan menghampirinya. Dengan enteng, ia mengecup dahi Aluna singkat.
“Kamu hebat. Tapi jangan terlalu lama vakum dari dunia hiburan. Popularitas itu kayak saham, bisa naik tajam, bisa jatuh mendadak.”
Aluna menyipitkan mata, lalu mencubit perut Alaric. “Saham kamu aja naik terus. Istrinya juga harus, ya? Tunggu aku nyusuin langsung. Habis itu, aku siap syuting lagi.”
Alaric mengambil kunci mobil, lalu membuka pintu apartemen. “Sok kuat. Nanti liat pas kamu casting dan bayinya lagi rewel.”
Aluna berjalan menyusul, senyum semangat menghiasi wajahnya. “Aku ibu artis. Bisa kerja, bisa peluk bayi. Dan bisa bikin suaminya tetap senyum tiap pagi.”
Alaric hanya tertawa ringan.
Mereka pun keluar apartemen. Hari itu, mereka akan menjemput sang bayi—kembali ke rumah mereka.
...***...
Mobil Tesla hitam melaju pelan di jalan protokol kota yang relatif lengang.
Cahaya pagi memantul di permukaan jendela gedung-gedung, menandai bahwa ini hari libur nasional. Trotoar ramai oleh keluarga dan pasangan muda. Namun suasana di dalam mobil sebaliknya—hening.
Aluna duduk di kursi penumpang depan Tangannya sibuk merapikan selimut kecil yang dilipat rapi di pangkuannya, mata sesekali melirik Alaric yang fokus menyetir.
Mobil tidak masuk parkiran rumah sakit. Alaric malah berhenti di pinggir jalan. “Turun sini aja, biar cepat.”
Aluna mendongak cepat, sedikit bingung. Saat pintu dibuka dari luar, suara khas langsung terdengar.
“Kak Aluna! Gue pengin gendong baby-nya!” Senara melambai dengan senyum lebar, mengenakan kaos oversize dan celana jeans.
Aluna turun perlahan. Senara langsung meraih selimut kecil di tangannya. Tapi Aluna tidak langsung melangkah masuk. Ia menoleh ke belakang, ke arah jendela mobil yang masih terbuka.
“Kamu nggak ikut?”
Alaric menoleh, menahan napas sejenak lalu menjelaskan. “Renzo. Usus buntu. Masuk rumah sakit pagi tadi. Aku mau kesana dulu.”
Wajah Aluna langsung berubah. Kaget bercampur kecewa. “Kenapa nggak dibawa ke rumah sakit ini? Bukannya semua anggota keluarga Alverio kalo sakit dibawa kesini ya?”
Alaric menghela napas. “Dia kerja di hari libur. Pas kejadian, langsung dibawa ke rumah sakit terdekat. Waktunya mepet.”
Aluna mengangguk pelan. Tapi masih menatap Alaric dengan tatapan yang tidak bisa ia sembunyikan—ada kekecewaan yang tertahan. Tangannya mencengkram celananya sendiri.
“Tapi... hari ini, kamu bisa pulang bawa anakmu. Bukannya itu momen bersejarah?”
Alaric membalas tatapannya. Dengan suara lebih lembut, tapi tetap bernada tenang. “Dan dia... sendirian di ruang operasi. Aku nggak bisa nggak datang.”
Mereka saling tatap. Diam. Tak satupun bergerak untuk beberapa detik. Lalu Senara, yang mulai canggung berdiri di antara mereka, menepuk bahu Aluna.
“Kak Aluna, kita masuk dulu yuk. Aku udah siap jadi Tante keren.”
Aluna masih diam sesaat. Lalu akhirnya melangkah pergi. Tapi sebelum sepenuhnya menjauh, ia menoleh sebentar. “Setidaknya, kirim kabar. Aku juga khawatir.”
Alaric mengangguk. Tatapannya mengikuti langkah Aluna sampai istrinya itu masuk lobi rumah sakit bersama Senara. Baru setelah itu, mobil kembali melaju, menuju arah berbeda.
...***...
Alaric berjalan pelan di lorong putih rumah sakit. Langkah sepatunya menggema samar di lantai marmer. Matanya terlihat letih. Tablet di tangan kirinya menyala—berisi data laporan pemasaran—namun kini tidak penting. Ia menunggu kabar dari ruang operasi Renzo.
Telepon berdering. Nama di layar: Adelina—Mommy Renzo.
“Halo?”
Suara wanita lembut tapi terdengar khawatir.
“Alaric... Mommy minta maaf. Ini masih di pesawat. Ini sudah mau sampai sana. Mommy langsung ke rumah sakit. Renzo baik-baik aja, ‘kan?”
Alaric menurunkan nada suaranya, menyesuaikan agar tak terlalu terdengar di lorong. “Operasi usus buntu. Tapi katanya kondisi stabil. Masih di ruang operasi sekarang.”
“Syukurlah... Tolong dampingi dia dulu ya, Nak. Mommy benar-benar menyesal nggak bisa langsung hadir tadi pagi.”
“Aku ngerti. Hati-hati di jalan.”
Begitu telepon berakhir, belum sempat ia menyimpan tablet, dering lagi. Kali ini nama yang muncul membuat rahangnya mengeras: Vivianne—Mama Renzo. Dengan helaan napas pelan, ia mengangkat.
“Ya?”
Nada di seberang langsung tajam.
“Hebat. Kamu bener-bener bisa jadi pewaris, ya. Renzo aja sampai tumbang. Atau jangan-jangan kamu sengaja biarin dia kerja di hari libur? Biar bisa kamu singkirkan pelan-pelan?”
Alaric berdiri mematung di ujung lorong, pandangannya kosong menatap kaca besar di dekat ruang rawat.
“Kalau aku mau singkirin Renzo, gak perlu cara repot. Cukup satu perintah. Tapi aku gak serendah itu.”
“Kamu pikir aku percaya? Kamu anak kecil rakus yang selalu rebut apa pun yang Renzo punya. Jangan kira aku gak tahu. Kalau bukan karena aku...”
Kalimat Vivianne belum selesai, Alaric memutus sambungan. Jarinya mengepal kuat di sisi tubuh. Matanya menyipit, tapi ia menahan emosi.
Lalu suara lembut menyapa dari samping. Suara yang membuat bahunya menegang.
“Pak Alaric?”
Alaric menoleh—dan matanya menangkap sosok yang sudah sangat lama tidak ia lihat.
Nadhifa. Gadis muda berhijab, mengenakan blouse putih dan rok panjang abu, berdiri dengan ragu beberapa meter darinya.
Wajah polos itu terlihat bersalah namun hangat. Matanya yang teduh menatap Alaric dengan campuran canggung dan rindu.
“Kamu... ngapain di sini?”
Nadhifa tersenyum kecil. Menunduk sebentar. “Saya tahu Mas Renzo dirawat. Saya cuma... ingin lihat kondisinya. Meski mungkin nggak pantas.”
“Kamu... anak simpanan itu. Anak dari perempuan yang...” Alaric memijit pelipisnya karena merasa pusing.
Nadhifa menunduk lebih dalam. Ia tidak menyela.
Alaric terdiam sejenak. Matanya menatap lurus padanya, seakan menimbang. “Renzo nggak tahu kamu datang?”
“Tadi di perusahaan saya bantu dia bawa kesini. Hampir jatuh dari tangga karena sakit banget perutnya.”
“Kok tangga?”
“Liftnya ada trouble, Pak.”
Diam. Hening di antara mereka. Alaric akhirnya menggeser tubuhnya, memberi ruang di bangku lorong.
“Duduk. Tunggu di sini. Kalau Renzo bangun, terserah kamu mau jenguk atau pergi.”
Nadhifa tersenyum kecil. Lalu duduk pelan di sebelah Alaric.
Alaric duduk menyandar di kursi lorong. Wajahnya masih tegang, tapi mata tak lagi pada tablet kerja.
Kini terpaku pada smartphone di tangan. Sebuah notifikasi baru saja masuk dari Senara: satu foto.
Fotonya sederhana. Tapi berhasil menusuk bagian terdalam hati Alaric. Aluna sedang duduk di kursi rumah sakit. Rambut panjangnya diikat seadanya. Tapi senyumnya…
Senyum itu… menyatu dengan tangis bahagia.
Dalam pelukannya—bayi mungil yang akhirnya keluar dari inkubator. Selimut putih membungkus tubuh kecil itu. Hidung mungilnya terlihat mirip… mirip Alaric. Mata bayi itu tertutup, namun pipinya penuh. Sehat.
Foto itu membungkam Alaric. Ada gumpalan aneh di dadanya. Seolah segala hal di luar foto ini tak penting. Bising rumah sakit, tekanan investor, bahkan…
“Dia milikku…” Bisik Alaric lirih. Entah bicara soal bayi itu, atau Aluna. Mungkin keduanya.
Langkah kaki tergesa mendekat. Suara roda brankar mendekat dari arah lift.
Alaric berdiri cepat. Di ujung lorong, Renzo didorong keluar dari lift oleh dua suster. Wajahnya pucat, mata setengah terbuka. Masih lemas tapi sadar.
Nadhifa ada di sisi suster, ikut mendorong. Tangannya menahan selimut agar tidak tersingkap.
Alaric langsung menghampiri. Wajahnya kesal, bukan karena kondisi Renzo, tapi karena melihat Nadhifa terlalu dekat. “Kenapa kamu ikut dorong? Itu tugas suster, bukan kamu.”
Nada dingin Alaric membuat salah satu suster menoleh. Tapi Nadhifa hanya menunduk, tak membalas. Ia tidak mendorong tapi hanya mengikuti pelan ke arah kamar VVIP.
Renzo tersenyum samar. Suaranya pelan. “Bang… dia bantu dari tadi… jangan dimarahin…”
Tatapan Renzo pada Nadhifa hangat. Lembut. Seolah gadis itu satu-satunya tempat nyaman setelah badai.
Nadhifa tersenyum pelan, lalu menoleh pada Renzo. “Maaf kalau merepotkan, Mas…”
Alaric melangkah ke sisi Renzo, lalu mengambil alih pegangan ranjang dari suster. Tangannya kuat, menandai dominasi. “Lo istirahat aja. Jangan banyak omong! Lo nyaris buat perusahaan ambruk. Jangan buat gue tambah gila!”
Tapi nada itu mengandung kekhawatiran tersembunyi.
Nadhifa berjalan di belakang. Sosoknya kalem. Bahkan jika ditampar pun, mungkin ia hanya menunduk dan meminta maaf. Tapi justru itu yang membuat Alaric gerah.
Ia tidak suka wanita terlalu pasrah. Terlalu ‘baik’. Terlalu terlihat ‘suci’.
Sementara di saku celananya, layar smartphone masih menyala. Foto Aluna dengan sang bayi. Dunia lain yang ingin ia lindungi.
Setelah memastikan Renzo sudah di dalam kamar, Alaric melangkah keluar sejenak. Ia berdiri di dekat jendela lorong, menghembuskan napas panjang.
Smartphone bergetar. Nama Virgo—Sekretaris, muncul di layar.
“Pak Alaric, maaf mengganggu. Data lengkap calon penanam modal sudah masuk ke email Bapak. Nama, latar belakang, dan laporan keuangannya—semua bagus. Tapi yang menarik... lihat bagian nama pemiliknya.”
Alaric membuka E-mail di tablet dengan satu tangan, bersandar di tembok. Beberapa detik kemudian, alisnya naik.
“Kenzie Dirgantara?”
Alaric tertawa kecil, nada suaranya sinis dan geli. “Oh… ternyata dia sudah naik kelas. Bukan cuma jadi CEO agensi yang hampir bangkrut, sekarang mau jadi investor juga?”
Virgo di seberang telepon menahan tawa. “Reputasinya bagus, Pak. Banyak tokoh entertainment dan produser TV sudah bekerja sama dengannya.”
Alaric mengangguk pelan. Matanya menatap ke luar jendela. “Siapa sangka… Pria yang paling rajin kuliah bareng istri saya kini mau titip saham ke meja saya.”
Suara Alaric terdengar seperti gurauan, tapi tetap mengandung taji. “Oke. Jadwalkan pertemuan. Saya ingin lihat apakah dia hanya ingin untung... atau ingin yang lebih dari itu.”
Sambungan telepon berakhir. Alaric menyelipkan smartphone ke saku celana. Pandangan kembali lurus. Tapi senyuman kecil masih menggantung di bibirnya.