Dara sebagai pelatih Taekwondo yang hidupnya sial karena selalu diteror rentenir ulah Ayahnya yang selalu ngutang. Tiba-tiba Dara Akan berpindah jiwa raga ke Tubuh Gadis Remaja yang menjatuhkan dirinya di Atas Jembatan Jalan Raya dan menimpa Dara yang berusaha menyelamatkan Gadis itu dari bawah.
Bagaimana Kelanjutannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amanda Ricarlo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertemu dengan Zane
Akhirnya bel sekolah berbunyi nyaring, menandakan jam pelajaran telah usai. Lesham langsung menghela napas lega, seolah beban berat yang menekan kepalanya selama berjam-jam tadi akhirnya terangkat. Matanya sempat menerawang kosong, otaknya seakan mau pecah setelah dipaksa mencerna pelajaran yang paling ia benci seumur hidupnya yaitu Sains. Baginya, angka, rumus, dan penjelasan panjang itu hanyalah deretan racauan tanpa arti.
Tanpa pikir panjang, ia segera merapikan buku-buku yang berserakan di mejanya, menyelipkan alat tulis ke dalam tas dengan gerakan cepat, berharap bisa segera meninggalkan kelas yang terasa begitu menyesakkan. Saat hendak berdiri, ponselnya tiba-tiba bergetar keras di meja. Layar menyala menampilkan nama yang sudah tidak asing lagi yaitu Kai, sahabatnya sejak lama.
Lesham melirik sekilas, lalu menekan tombol hijau, menempelkan ponsel ke telinga.
“Kau di mana?” tanyanya akrab, seperti biasa penuh antusias.
“Aku sedang di kafe Sams Strawberry. Cepatlah kemari, aku akan mentraktirmu seperti biasa” ucap Kai di balik telepon, terdengar jelas riang dan tanpa beban.
Lesham terkekeh pelan sambil bangkit dari kursi. “Kau memang tidak pernah berubah. Dompetmu itu seolah tidak ada habisnya,” ujarnya setengah bercanda sambil melangkah keluar kelas.
“Kau sudah pulang sekolah?” tanya Kai, terdengar santai.
“Hm, sudah. Oke, aku akan—” kata-kata Lesham tiba-tiba menggantung. Suaranya terhenti mendadak, seperti ada sesuatu yang menekan dadanya, membuat kalimat itu tak mampu keluar.
“Dar? Dara? Kau masih di sana?” Kai mulai panik di seberang.
Namun tidak ada suara lagi. Sambungan telepon justru tiba-tiba terputus, membuat Kai langsung gelisah. Ia bangkit dari kursi kafe dengan wajah tegang, mengambil kunci mobil serta tas kecilnya. “Astaga, apa yang terjadi padanya? Aku harus segera ke sekolahnya” gumamnya terburu-buru.
Sementara itu, di ruang kelas, Lesham berdiri mematung. Wajahnya tampak datar, tanpa tanda-tanda kepanikan, tetapi tatapannya tajam, risih, seperti sedang menghadapi sesuatu yang tidak ingin ia lihat.
“Apa aku berutang sesuatu padamu?” ucap Lesham dingin, menaikkan sebelah alisnya.
Di hadapannya berdiri seorang pria tinggi, tampan, dengan aura yang membuat sebagian besar murid di sekolah terpikat. Dialah Zane, pria yang dahulu menolak Lesham mentah-mentah, hingga membuat mental dan fisiknya jatuh. Kini, ia justru berdiri di depan Lesham dengan tatapan penuh selidik.
“Apa kau benar Lesham?” tanya Zane pelan, suaranya rendah namun menusuk, seakan sedang mencari celah pada wajah Lesham yang kini mengerutkan alisnya.
Lesham mendecak pelan. “Apa maksudmu? Kau jelas melihatku dengan kedua matamu itu. Kau masih tidak percaya kalau aku adalah Lesham yang dulu? Ah, aku mengerti. Di kepalamu, aku hanyalah Lesham yang lugu, culun, dan tidak berharga bagimu?. Sayangnya, itu hanya ada di matamu, bukan diriku. Awas, aku mau pergi.”
Saat Lesham ingin melangkah pergi, Zane justru melangkah maju, mendekat, membuat Lesham refleks mundur beberapa langkah.
“Apa yang kau lakukan? Kau masih tidak percaya aku Lesham? Mau aku buktikan kalau aku memang Lesham yang selama ini kau rendahkan?” suara Lesham meninggi, ada nada gugup yang terselip, meskipun ia berusaha menutupinya.
Zane menundukkan wajahnya, jaraknya semakin dekat hingga Lesham terpaksa menahan napas. “Buktikan,” ucapnya pelan, nyaris seperti desakan, seakan ia ingin jawaban yang tak terbantahkan.
Lesham memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang. Ia lalu menegakkan tubuhnya, mendorong dada Zane agar menjauh. Tatapannya beralih menjadi tajam, sarat emosi yang ia tahan selama ini.
“Kenapa kau begitu penasaran, hah? Memangnya siapa dirimu, sampai aku harus menjelaskan apa pun padamu? Bukankah kau sendiri yang dulu terang-terangan menolak kehadiranku? Kau bahkan membuang hadiah yang kuberikan ke tempat sampah, seakan aku ini tidak ada artinya. Dari situlah aku belajar menghapus namamu dari dalam pikiranku. Jadi, untuk apa sekarang kau bertanya-tanya?” suara Lesham penuh tekanan, matanya berkilat menahan marah.
Raut wajah Zane mengeras, kaku, tidak mampu membalas.
“Hah, sudahlah, Zane. Apa kau tidak punya kesibukan lain selain menemuiku seperti ini? Jangan lupa, sekarang kau punya kekasih, kan? Siapa ya namanya... ah ya, Evelyn. Jadi, lebih baik aku pergi. Ada seseorang yang jauh lebih penting daripada dirimu yang harus kutemui,” ucap Lesham dingin, melangkah menuju pintu kelas.
Namun saat ia menuruni tangga, sebuah tangan kuat mencengkeram pergelangan tangannya. Lesham menoleh cepat, wajahnya memerah karena kesal.
“Apa yang kau lakukan? Lepaskan! Kau mau apa lagi, hah?” teriaknya sambil berusaha menarik tangannya, meski tenaga Zane jauh lebih kuat.
“Siapa orang penting itu? Apa dia orang yang kulihat bersamamu waktu itu, di depan sekolah?” tanya Zane dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.
“Kenapa kau begitu ingin tahu siapa yang kutemui? Lepas! Kau tidak berhak ikut campur dalam urusanku. Kalau pun aku akan bertemu dengan kekasihku, memangnya siapa dirimu?” suara Lesham dengan nada rendah, tetapi penuh ketegasan. Begitu genggaman Zane melemah, ia langsung menarik tangannya dan berjalan cepat meninggalkan tempat itu.
Zane terdiam, tetapi dalam hatinya rasa penasaran justru semakin kuat. Dulu, ia tidak pernah peduli pada Lesham yang selalu mengejarnya. Namun kini, Lesham yang berbeda saat ini begitu tegas, dingin, dan tak ingin dekat dengannya yang membuatnya merasa terganggu.
Di halaman depan sekolah, Kai berlari tergesa dengan napas terengah. Wajahnya diliputi cemas.
“Kau kenapa? Bukannya aku sudah bilang aku akan ke sana?” tanya Lesham bingung, mengerutkan dahi melihat sahabatnya seperti orang panik.
“Ish! Kau ini, tahu tidak betapa paniknya aku? Tadi sambungan teleponmu tiba-tiba mati. Aku kira terjadi sesuatu padamu!” sahut Kai dengan nada separuh mengomel.
Lesham mendengus kecil, lalu tersenyum miring, mengingat kejadian barusan.
Kai yang berjalan di sampingnya semakin curiga. “Apa tadi ada sesuatu di dalam? Wajahmu terlihat kesal sekali.”
“Tidak ada. Hanya saja aku bertemu seseorang yang membuatku malas melihat wajahnya,” jawab Lesham singkat, melanjutkan langkahnya.
Kai mengangkat alis, penasaran siapa orang yang dimaksud.
Di sisi lain, dari lantai atas gedung sekolah, sepasang mata memperhatikan keduanya. Zane berdiri bersandar di jendela, kedua tangannya terlipat di dada dengan wajahnya yang datar, tetapi matanya mengikuti tiap gerak Lesham dan Kai.
“Ah, jadi dia kekasih Lesham? Tampangnya sangat biasa, jauh dibandingkan diriku. Apa seleranya sekarang benar-benar menurun?” gumam Zane pelan, seolah sedang menertawakan sesuatu, meski dalam hatinya mulai muncul rasa yang tidak ia pahami sendiri.
^^\/^^
Suasana kafe malam itu terasa hangat. Lampu-lampu gantung kecil yang berderet di langit-langit memantulkan cahaya kekuningan lembut, menjadikan ruangan seakan dipenuhi nuansa nyaman dan tenang. Dari balik kaca besar, terlihat lalu lintas jalan yang masih ramai meski malam sudah semakin larut, cahaya lampu kendaraan memantul samar, memberi kesan bahwa kehidupan di luar sana belum sepenuhnya berhenti.
Lesham menyandarkan tubuhnya ke kursi, memainkan sedotan milkshake yang sudah setengah habis dengan gerakan asal. Dari luar ia tampak tenang, tetapi Kai cukup peka membaca tanda-tanda kecil yang tidak bisa disembunyikan, tatapan mata yang terlalu sering menghindar, napas yang sesekali berat, dan jemari yang mengetuk pelan permukaan meja tanpa sadar.
Kai meletakkan garpu di atas piringnya, kemudian menatap Lesham agak lama. Suaranya pelan namun serius ketika ia berkata, “Dara, aku tidak ingin memaksa kau untuk jujur kepadaku, tetapi aku sudah terlalu lama mengenalmu. Aku bisa merasakan ada sesuatu yang kau sembunyikan.”
Lesham menanggapi dengan senyum tipis, seakan berusaha menepis keresahan itu. “Kau ini terlalu peka, Kai. Aku hanya lelah dengan rutinitas sekolah yang membosankan. Tidak ada yang lebih dari itu.”
Kai menghela napas, lalu menggeleng perlahan. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, menyilangkan tangan di dada, dan menatap penuh selidik. “Kalau hanya sekadar bosan, kau tidak akan tiba-tiba memutus sambungan telepon begitu saja sampai membuatku panik. Kau lupa? Aku jelas mendengar suaramu mendadak menggantung, seolah ada sesuatu yang membuatmu terhenti di tengah kalimat.”
Lesham terdiam cukup lama. Pandangannya hanya jatuh pada gelas milkshake di depannya, lalu ia menghela napas sambil mendengus pelan. Dengan suara rendah ia berkata, “Aku berbicara dengan seseorang… seseorang yang anak ini benci.”
Kai langsung mengernyit, alisnya berkerut rapat. “Maksudmu… Zane? Kenapa dia tiba-tiba menemuimu?” Nada suaranya terdengar campuran antara heran dan khawatir.
Lesham mengangkat bahu dengan lelah. “Entahlah. Sepertinya Zane mulai curiga padaku. Dia menatapku seolah aku masih Lesham yang dulu. Lesham yang lugu, polos, dan culun. Seolah aku tidak berubah sedikit pun.”
Kai mencondongkan tubuh ke depan, penasaran. “Lalu kau bilang apa padanya?”
“Aku hanya mengatakan bahwa aku bukan lagi Lesham yang dulu. Aku juga mengingatkan tentang hadiah yang pernah anak ini berikan kepadanya, hadiah yang dengan mudah ia buang tanpa peduli sedikit pun. Saat aku tahu hadiah itu sudah tidak berarti baginya, aku memutuskan untuk menghapus nama pria brengsek itu sepenuhnya dari pikiranku, bahkan dari ingatan anak ini.” Lesham tersenyum miring, meski jelas ada getir di balik ucapannya.
Kai mengangkat alis, lalu tertawa kecil, mencoba meredakan suasana. “Wah, jadi kau benar-benar menegaskan sikapmu, Hebat juga. Aku harap setelah itu dia tidak mencoba mengatakan atau melakukan sesuatu lagi padamu.”
Lesham hanya mengangguk singkat, tanpa menjawab panjang.
Namun Kai belum puas. Dengan nada sedikit menekan, ia kembali bertanya, “Tapi, bagaimana kalau pria itu tahu… kalau kau bukan Lesham yang sesungguhnya?”
Kali ini Lesham menoleh cepat, menatap Kai dengan mata yang tampak lelah sekaligus bingung. Ia menarik napas panjang sebelum menjawab lirih, “Aku tidak tahu, Bahkan sampai sekarang aku merasa penasaran… mengapa aku sendiri tidak bisa berbicara dan bertemu langsung dengan jiwa anak ini?"