Nadia ayu, seorang gadis yang bisa melihat 'mereka'
mereka yang biasa kalian sebut hantu, setan, jin, mahluk halus atau lain sebagai nya.
suara dari mereka, sentuhan bahkan hembusan nafas mereka, bisa di rasakan dengan jelas. Sejak mengalami kecelakaan itu, mengubah cara pandangannya terhadap dunia..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lia Ap, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26. Pindah
Setelah makan malam, kami semua pindah ke ruang keluarga. Lampu ruangan dibiarkan redup, hanya menyisakan cahaya hangat dari lampu sudut. Wita dan Gilang duduk bersebelahan di sofa, saling berbisik sambil sesekali tertawa kecil. Aku bisa melihat, meski mereka berdua pura-pura santai, keduanya sebenarnya lebih tenang saat bersama.
Aku duduk di karpet, bersandar pada kaki Kak Joan yang duduk di kursi panjang. Dia sibuk membaca sesuatu di laptop, tapi satu tangannya tetap mengelus pelan rambutku, seolah memastikan aku masih di sini, masih hangat.
Rumah terasa hening, tapi bukan hening yang mencekam—hening yang nyaman. Dari luar hanya terdengar suara jangkrik dan angin menyapu pepohonan. Tidak ada bisikan aneh, tidak ada bayangan yang mendekat.
Untuk pertama kalinya sejak kemarin, aku bisa bernapas lega.
Aku menatap ke arah jendela, tirainya tertutup rapat. Di balik sana… aku tahu pagar gaib yang Ningsih ajarkan masih bekerja. Entah sampai kapan, tapi setidaknya malam ini, rumah ini benar-benar terasa aman.
“Kamu ngantuk?” suara Kak Joan terdengar pelan dari atas kepalaku.
Aku mengangguk kecil. “Sedikit… tapi nggak mau tidur dulu. Takut mimpi aneh lagi.”
Dia menatapku sebentar, lalu mematikan laptopnya. “Kalau kamu nggak mau tidur, aku temenin. Tapi kalau kamu tidur pun, aku bakal ada di sini. Jadi nggak usah takut.”
Aku tersenyum tipis, menatap matanya sebentar. “Jangan sampai kamu yang malah ketiduran duluan, ya.”
Dia tersenyum, mengusap punggungku pelan. “Kita lihat nanti.”
Malam itu, tidak ada teriakan, tidak ada suara aneh, tidak ada makhluk yang mendekat. Hanya kehangatan yang jarang kami dapat sejak semua kejadian ini dimulai. Dan meski aku tahu besok mungkin tidak akan sebaik ini… setidaknya malam ini kami bisa beristirahat tanpa rasa takut.
Aku akhirnya tertidur, dengan kepala bersandar di pangkuan Kak Joan. Untuk pertama kalinya, tidurku benar-benar terasa damai.
\=\=
suasana rumah mendadak terasa berat. Papah dan Mamah baru saja tiba setelah semalaman pergi memeriksa restoran. Tapi kali ini, raut wajah mereka bukan lelah biasa—melainkan campuran frustrasi dan kegelisahan.
Aku, Wita, Kak Joan, dan Gilang sudah berkumpul di ruang keluarga ketika Papah memanggil. Dia duduk di kursi utama, sementara Mamah berdiri di sampingnya, kedua tangannya saling menggenggam erat.
Papah menarik napas panjang sebelum bicara. “Kita… harus ngomong serius. Kakek dan Nenek di Jawa Tengah kondisinya makin parah. Papah sama Mamah nggak bisa tinggal di sini terus. Kita harus pindah sementara ke rumah mereka.”
Aku spontan menatapnya. “Pindah? Papah… terus aku gimana? Kerjaanku nggak bisa aku tinggalin. Aku nggak mungkin ikut ke sana.”
Papah menatapku, matanya tajam tapi ada sedikit keraguan. “Makanya kita harus cari solusi. Papah nggak mau kamu tinggal sendirian di rumah ini. Keadaan belakangan ini… nggak aman.”
Aku tahu maksudnya bukan cuma soal pencuri atau bahaya biasa. Papah mungkin tidak sepenuhnya tahu detailnya, tapi dia tahu ada sesuatu yang aneh terjadi sejak beberapa minggu ini.
Wita yang duduk di sebelahku tiba-tiba angkat bicara. “Kalau gitu, aku aja yang tinggal sama Nadia. Aku kan juga kerja di kantor yang sama, jadi gampang ngurusnya. Biar rumah ini nggak terlalu sepi.”
Mamah menoleh ke Wita, ekspresinya lega. “Kamu yakin, Nak? Ini bisa aja berbahaya, loh.”
Wita mengangguk mantap. “Nggak apa-apa, Mah. Aku lebih tenang kalau bisa jagain Nadia bareng.”
Mamah mengangguk kecil. “Nanti Mamah bicara sama Mia, Ibu kamu. Mamah yakin dia setuju, apalagi ini demi kebaikan kalian berdua.”
Papah kemudian menoleh ke Kak Joan dan Gilang yang sejak tadi diam memperhatikan. “Kalian berdua juga… Papah titip Nadia ke kalian. Kalau ada apa-apa, kalian yang harus pertama tahu. Jangan biarin dia sendirian di situasi aneh.”
Joan menatap Papah dengan tenang, tapi nadanya serius. “Saya janji, Pak. Selama saya ada, Nadia nggak akan dibiarkan sendirian. Kami bakal jagain dia.”
Gilang ikut mengangguk. “Iya, Pak. Jangan khawatir, kami ada.”
Papah menatapku lagi, nadanya sedikit melunak. “Nad… mulai besok, kamu nggak boleh pulang sendirian, nggak boleh jalan sendiri. Papah nggak mau ada kejadian yang… nggak bisa kita kendaliin.”
Aku hanya bisa mengangguk. Dalam hatiku, aku tahu ini bukan cuma soal rasa khawatir orangtua. Ada sesuatu yang mereka rasakan juga, meski nggak bisa dijelaskan.
Sementara itu, Wita meraih tanganku pelan di bawah meja, menatapku dengan senyum tipis. “Santai aja, Nad. Gue bakal nemenin lo, jadi lo nggak bakal kesepian… atau ketakutan.”
Aku balas tersenyum kecil. “Makasih, Ta…”
___
Siang itu, rumah terasa sedikit lebih ramai ketika Wita datang membawa dua koper dan beberapa kardus kecil. Ia resmi pindah, setidaknya sampai Papah dan Mamah kembali dari Jawa Tengah.
“Aku nggak nyangka bakal beneran pindah ke sini,” Wita tertawa kecil saat meletakkan kopernya di kamar tamu lantai dua. “Tapi ya sudahlah, setidaknya gue nggak harus bolak-balik kalau mau ngejagain lo.”
Aku tersenyum samar. “Lo yakin nggak bakal nyesel? Rumah ini… nggak selalu tenang.”
Dia mengedikkan bahu, seolah tidak terlalu memikirkan. “Gue lebih tenang kalau bisa deket lo. Daripada gue denger kabar lo kenapa-kenapa dari jauh.”
Siang itu terasa normal. Kami berdua membereskan barang Wita, sementara Kak Joan dan Gilang berangkat kerja ke rumah sakit. Tidak ada suara aneh, tidak ada bayangan asing. Seolah rumah ini benar-benar kembali jadi rumah biasa.
Namun, saat sore menjelang, aku mulai merasakannya lagi.
Aku sedang duduk di teras, menikmati udara sore sambil menyeruput teh, ketika suara itu terdengar samar. Sebuah bisikan… atau mungkin nyanyian, datang dari arah kebun belakang. Tidak jelas kata-katanya, tapi nadanya seperti memanggil.
Aku menoleh perlahan. Tidak ada siapa pun di sana, hanya ranting pohon yang bergoyang ditiup angin. Tapi suara itu terus berulang, meski samar. Rasanya seperti menarikku untuk mendekat.
“Nad?” Wita keluar sambil membawa dua potong roti bakar. “Lo kenapa diem aja?”
Aku cepat-cepat menggeleng. “Nggak, cuma… denger suara aneh aja.”
Wita mendesah, meletakkan roti di meja. “Lagi? Gue kira sejak ada pagar gaib itu, rumah ini aman.”
Aku menatapnya sebentar. “Aman, tapi… suara ini nggak datang dari luar pagar. Kayaknya… langsung nyasar ke telinga gue.”
Wita terdiam, wajahnya tegang. “Lo yakin?”
Aku mengangguk pelan, tapi tidak menambahkan apa-apa lagi. Aku nggak mau bikin dia tambah panik.
Malamnya, kami semua kembali berkumpul. Kak Joan dan Gilang sudah pulang dari rumah sakit, dan suasana rumah awalnya tenang. Kami makan malam bersama, mencoba bercanda agar suasana tidak terasa mencekam.
Tapi menjelang tengah malam, udara mendadak berubah. Angin berhembus kencang, jendela bergetar meski terkunci rapat. Lampu ruang tamu berkedip dua kali, lalu normal kembali.
Aku bisa merasakannya—bukan hanya bisikan, tapi kehadiran. Sesuatu mendekat. Banyak.
Di luar, terdengar suara langkah berat di halaman, seperti kaki binatang besar. Disusul suara erangan panjang, rendah, seperti berasal dari sesuatu yang bukan manusia.
Kak Joan menoleh cepat, matanya menyapu sekeliling ruangan. “Kamu ngerasain itu juga, kan?”
Aku mengangguk perlahan, jantungku mulai berdegup lebih cepat. “Iya… dan mereka nggak cuma satu.”
Wita dan Gilang menatap kami berdua dengan wajah tegang. Gilang berdiri, memeriksa pintu depan. “Mereka bisa masuk?”
Aku menarik napas dalam, mencoba merasakan batas pagar gaib yang kupelajari dari Ningsih. “Belum… selama pagar gaibnya masih kuat, mereka cuma bisa… menunggu di luar.”
Suara erangan itu terdengar lagi, lebih keras. Kali ini, diikuti suara cakaran di pagar besi rumah. Mereka mencoba mencari celah.
Aku menggenggam tangan Kak Joan erat. “Malam ini… kita nggak boleh lengah. Mereka bukan cuma mengintimidasi. Mereka… lagi nguji pertahanan kita.”