Elang Langit Perkasa, sifat yang dimiliki Elang sangat sesuai dengan namanya. Bebas, kuat dan juga pantang terkalahkan. Dan yang membuatnya semakin brutal karena terlahir di keluarga Mafia.
Dari sekian banyak wanita yang mendekatinya, hanya seseorang yang bisa mencuri hati Elang, Raysa Putri Ayu. Wanita yang dia temui di waktu yang salah, wanita yang menyelamatkan nyawanya. Tapi untuk mendapatkan Raysa tidak semudah membalikkan telapak tangan, butuh perjuangan ekstra dan juga air mata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MJ.Rrn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ketakutan Lestari
Kring..Kring..
Ponsel Elang beberapa kali berdering sehingga membuat Raysa terbangun dari tidurnya.
Raysa segera membuka mata dan melihat ke arah jam kecil yang terletak di atas meja disebelahnya, jam menunjukkan pukul 4 dini hari.
Ponsel Elang kembali berdering, Raysa pun akhirnya membangunkan Elang, padahal pria itu terlihat sangat lelap dalam tidurnya.
“Kak, bangun. Ponsel kamu berdering terus.” Ucap Raysa menggoyangkan lengan Elang.
“Hmmm…iya.” Balas Elang, pria itu meraih ponselnya dengan mata yang masih terpejam.
“Hallo.”
“Tuan.”
“Iya Heru, ada apa?” Tanya Elang perlahan membuka matanya dan tersenyum ke arah Raysa sebelum mendudukan tubuhnya
“Suara kakak dipelankan ya, nanti kedengaran sama mama dan papa.” Ucap Raysa mengingatkan, Elang menganggukkan kepala.
“Tuan, anak buah Deriek membuat masalah di sekitaran jembatan pati. Mereka menghadang pengguna jalan dan kalau ada yang melawan, maka mereka tidak segan-segan menyakiti. Bahkan ada beberapa orang yang kendaraannya di ambil paksa.” Jawab Heru melapor, Elang mengepalkan tangan marah mendengarnya.
“Brengxxx, mau apa lagi mereka. Kita bahas masalah ini nanti di markas. Sekarang kamu jemput saya” Ucap Elang geram.
“Baik bos.” Jawab Heru segera mengakhiri pembicaraan mereka.
Elang meletakkan ponsel nya dan kembali melihat ke arah Raysa yang juga sudah duduk di sampingnya, Elang mengulurkan tangan membelai wajah Raysa.
“Aku pulang sekarang, ada masalah yang harus aku selesaikan.” Ucap Elang.
“Sepagi ini?” Tanya Raysa heran.
“Iya, bukannya kamu takut ketahuan sama mama dan papa. Makanya kakak keluar pagi ini.” Jawab Elang, Raysa membenarkan perkataan Elang. Kalau nanti Elang keluar di saat langit sudah mulai terang, pasti akan ketahuan sama mamanya, karena mamanya pasti sudah bangun.
“Baiklah.a22” Ucap Raysa, Elang tersenyum segera beranjak ke kamar mandi untuk mencuci wajahnya.
“Beberapa hari ini kita tidak akan bertemu, nanti setelah urusanku selesai aku akan menghubungi kamu.” Ucap Elang sembari memasang jaketnya, Raysa menganggukkan kepala.
“Kamu hati-hati ya bekerja, apapun yang dikatakan Vanya tidak usah dipikirkan.” Sambung Elang, pria itu memeluk Raysa dan juga menyatukan singkat bibir mereka.
“Aku antar ke bawah.” Ucap Raysa, Elang menggelengkan kepala.
“Tidak usah.” Jawab pria itu, Elang kembali mencium kening Raysa sebelum melangkahkan menuju jendela kamar dan membukanya.
Elang tanpa rasa takut melompat ke bawah dan mendarat dengan tepat, Heru juga sudah sampai di luar. Elang bahkan juga melompati pagar Raysa untuk sampai keluar.
Raysa melambaikan tangannya dari jendela kamar, Elang sudah berada di bawah bersama dengan Heru. Elang tersenyum membalas lambaian Raysa sebelum masuk kedalam mobil dan pergi meninggalkan tempat itu.
Setelah mobil Elang tidak terlihat lagi, Raysa segera menutup jendela dan kembali berbaring. Masih ada waktu dua jam lagi untuk tidur, sebelum dia memulai aktivitasnya.
Selama perjalanan menuju markas, Elang dan Heru menyusun strategi untuk menyerang kelompok milik Deriek. Deriek merupakan pemimpin sebuah organisasi yang saat ini sedang berseteru dengan organisasi milik Elang, kedua organisasi itu sedang memperjuangan perbatasan yang sama-sama diKlaim milik mereka.
“Nanti malam kita langsung bergerak.” Ucap Elang menyandarkan tubuhnya, Heru menganggukkan kepala.
“Baik tuan, sebelum banyak korban jiwa yang tidak bersalah.” Balas Heru, Elang juga menganggukkan kepala setuju.
…..
Suara Alarm membangunkan Raysa, wanita itu kembali membuka mata. Jam menunjukkan pukul 6 pagi dan suasana di luar pun sudah terang. Raysa segera bangkit dari ranjangnya, dia bergegas ke kamar mandi karena tidak mau telat sampai di rumah sakit.
“Pagi mama, papa.” Sapa Raysa mendudukan tubuhnya di kursi meja makan.
“Pagi juga sayang, kamu buruan sarapan nanti terlambat.” Balas sang mama, tapi papanya masih dingin dan tidak menatapnya.
Raysa tersenyum tipis, dia paham kalau sang papa masih kecewa kepada dirinya.
“Pa.” Panggil Lestari, Fajar langsung menoleh.
“Apa ma?”
“Pa tadi pagi itu mama mendengar suara aneh di luar, suara orang melangkah dan juga melompat. Mama jadi takut, jangan-jangan ada maling sedang mengintai rumah kita.” Jawab Lestari, Raysa tersenyum tipis nyaris tak terlihat mendengarnya, pasti yang di maksud sang mama adalah Elang.
“Halusinasi mama saja itu, karena mama kecapean dan juga banyak pikiran.” Balas Fajar membantah perkataan istrinya.
“Tapi bisa jadi lo pa, kan dua hari yang lewat rumah buk Broto kemalingan. Semenjak pak Bakri meninggal, tingkat keamanan di komplek kita mulai renggang.” Balas Lestari, Fajar terdiam mendengarnya.
Perkataan istrinya benar juga, semenjak satpam kompleks mereka meninggal sebulan yang lalu, sampai saat ini belum ada yang menggantikan beliau.
“Mama kan selalu sendirian kalau siang pa, papa dan Ray pulang sore. Makanya mama takut.” Ucap Lestari, Fajar menganggukkan kepala paham.
“Ya sudah nanti papa minta teknisi untuk memasang CCTV, jadi papa bisa memantau dari kantor.” Ujar Fajar, Lestari bernafas lega mendengarnya, tapi berbeda dengan Raysa, dia terkejut dengan perkataan sang papa.
Selama ini kompleks rumah Raysa aman sentosa di bawah pengawasan Bakri, satpam di kompleks itu. Dia sangat teliti, tidak ada yang boleh masuk tanpa keterangan yang jelas. Bahkan Bakri akan menghubungi dulu rumah yang akan didatangi oleh tamu itu. Makanya Fajar tidak terpikir untuk memasang CCTV di rumahnya.
“Ma, pa. Ray berangkat dulu.” Ucap Raysa berdiri mencium tangan mama dan papanya, walau Fajar masih marah tapi dia tetap menyambut uluran tangan sang anak.
Selama perjalanan ke rumah sakit, Raysa kepikiran dengan ide sang papa yang ingin memasang CCTV. Kalau ternyata semua itu terlaksana, maka dipastikan Elang tidak akan bisa lagi keluar masuk rumahnya. Raysa hanya bisa menghela nafas pasrah, semua ini juga gara-gara Elang yang keluar dini hari tadi. Kalau saja pria itu keluar baik-baik tanpa melompat, pasti mamanya tidak akan menyadari.
“Raysa.” Sapa Bastian, mereka bertemu di parkiran karena kebetulan mobil mereka saling berdampingan.
“Pagi Dok, tugasnya sudah selesai dok?” Tanya Raysa membalas sapaan Bastian, mereka berjalan beriringan masuk kedalam.
“Sudah, tapi saya lagi pusing.” Jawab Bastian, Raysa menatap heran..
“Pusing kenapa?”
“Itu si Elang meminta saya untuk memindahkan Vanya, dia tidak suka kalau Vanya disini dan mengganggu kamu.” Jawab Bastian, Raysa terkejut mendengarnya.
“Memangnya mau dipindahkan kemana Dok?”
“Saya juga tidak tahu, makanya saya pusing. Kata Elang pindahkan saja ke Surabaya, ke cabang rumah sakit disana. Tapi saya yakin Vanya menolak.” Jawab Bastian lirih.
“Dok, memangnya Dokter punya kuasa untuk memindahkan seseorang?” Tanya Raysa lagi, dia penasaran.
“Memangnya kamu tidak mengetahui kalau rumah sakit ini milik keluarga Elang?” Tanya Bastian membalikkan pertanyaan, Raysa menggelengkan kepalanya.
“Beneran dok?”
“Iya Ray, rumah sakit ini milik Opa Elang. Dan Elang pewarisnya, makanya dia dengan mudah berkata seperti itu. Padahal itu bukan hal yang mudah saya lakukan, terutama Vanya. Dia itu juga dokter senior dan di butuhkan disini dan juga papa Vanya punya saham disini, walau tidak terlalu banyak. Sebenarnya Elang bisa dengan mudah mengakuisisi saham papa Vanya, tapi saya tidak enak hati saja.” Jawab Bastian, Raysa terdiam mendengarnya.
Perasaan Raysa juga tidak enak, dia merasa bersalah. Elang bertindak seperti itu pasti karena dirinya, Raysa menyesal karena suka mengadukan sikap Vanya kepada Elang.
“Jangan Dok, tidak usah dokter penuhi permintaan Elang. Nanti biar saya yang bicara dengan Elang.” Ujar Raysa, Bastian tersenyum menganggukkan kepala tapi perasaan belum sepenuhnya lega.
“Dokter tenang saja, Elang pasti akan menuruti keinginan saya.” Sambung Raysa menghibur Bastian.
“Terima kasih ya Ray.” Balas Bastian, Raysa membalas dengan senyuman tipisnya.