Ketidaksengajaan serta pengorbanan dalam sebuah kecelakaan membuat Alena langsung meninggal dan malah mengantarkan nyawa gadis itu dengan bertransmigrasi ke dalam salah satu novel favoritnya. Alena hanya menjadi adik dari salah satu teman protagonis pria—figuran. Dia hanya seorang siswi sekolah biasa, tanpa keterlibatan novel, dan tanpa peran.
Tapi, plotnya hancur karena suatu alasan, hidupnya tidak semulus yang dia bayangkan. Dia membantu masalah semua tokoh, namun di tengah itu, hidupnya tidak aman, ada orang yang selalu ingin mencelakainya.
____
"Aku memang bukan siapa-siapa di sini, tapi bukan berarti aku akan membiarkan mereka menderita seperti alurnya."—Alena.
~•~
note:
- author 'I Am A Nobody' di wp dan di sini sama
- Tokoh utama cerita ini menye-menye, lebay, dan letoy. Jadi, ga disarankan dibaca oleh org yg suka karakter kuat dan ga disarankan untuk org dewasa 20+ membacanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Febbfbrynt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah Audrey
Waktu yang ditunggu telah tiba. Sebelumnya mereka pulang ke rumah masing- masing terlebih dahulu, dan pada pukul 19.00 malam saat ini, mereka semua sudah berkumpul di rumah Audrey.
Rumah besar bernuansa emas dan putih itu yang biasanya selalu sepi dan kosong, kini ramai berisi suara tertawa, mengobrol, dan teriakan.
Audrey tidak memberi tahu orang tuanya tentang teman-temannya yang akan datang ke rumah. Pembantu juga tidak ada yang berani berbicara apapun.
Mereka berada di ruang tamu, ada yang mabar game, mengobrol, menyemil, menonton dan hanya diam pun juga hadir.
Ke empat gadis yang berniat kerja kelompok juga tidak jadi, mereka menundanya. Apalagi melihat keadaan ke enam lelaki yang terlihat bersenang-senang, masa mereka malah susah-susah ngerjain tugas? Hari esok masih ada, kan? Jadi pada akhirnya, sekarang mereka malah menonton drakor sembari memakan cemilan.
Namun, pengganggu di belakang mereka membuat salah satu gadis itu tidak senang.
"Radhit! Cemilan gue!" teriak kesal Dhita saat Radhit dengan sengaja mengambil cemilan di pangkuannya. Lalu cowok itu memakannya dengan santai.
"Dhita ... jangan cuekin gue, dong. Gue butuh perhatian nih ...," ucapnya dengan sedih, malah membuat Dhita mual.
"Lo ngeganggu gue, tau gak?!" pekiknya jengkel.
Radhit menyengir membuat Dhita semakin jengkel. Radhit beranjak dan berlari menjauh ketika Dhita bersiap menerkamnya dengan wajah garang.
Jadilah mereka kejar-kejaran.
Alena, Audrey, dan Risha, tidak terganggu dengan kedua orang itu. Matanya tetap menonton lurus ke arah film drakor.
Namun, itu tidak bertahan lama. Ke lima remaja yang mulai bosan itu menghampiri ketiga gadis yang asik menonton di sofa panjang.
Rafka duduk di samping kanan Alena, Andreas dengan santai duduk di antara Audrey dan Alena membuat mereka terpisah, Ravael di samping Rafka, Deva duduk lesehan di bawah di depan Alena. Lalu, Alvin di samping kiri Risha.
Ketiga gadis itu jelas terganggu dengan kedatangan mereka, mimik muka mereka juga terlihat kesal. Apalagi Audrey yang di pisahkan dari Alena, dia menatap tajam Andreas yang santai.
"Lo! Apa-apaan sih?!"
Andreas menoleh sekilas, mengabaikannya.
"Awas! Gue mau di samping Alena!"
Audrey menarik lengan Andreas untuk bangun, namun cowok itu sangat berat dan keras, sehingga tarikan Audrey tidak menggerakkan Andreas sedikit pun.
"Andreas! Cepet bangun. Gue mau di samping Alena!" Nada Audrey terdengar kesal dengan sedikit rengekan.
Dengan sekuat tenaga Audrey menarik tangan Andreas, membuat Andreas yang tidak siap dengan tarikan kuatnya.
Brugh!
Andreas tertarik ke depan, dan terjatuh ke depan menimpa Audrey.
"Ah!"
Untung tidak ada meja apa-apa, dan hanya karpet berbulu, sehingga Audrey tidak merasa sakit. Hanya saja, tubuh kekar Andreas sangat berat membuatnya pengap.
Posisi mereka benar-benar terlihat seperti Andres memeluk Audrey sambil tiduran.
Audrey tertegun kaget, wajah dinginnya lantas memerah tersipu. Andreas tidak kalah terkejut, jantungnya yang sudah lama tenang, kini seolah diserbu badai hingga berdegup kencang
Mereka yang menyaksikan sampai keduanya terjatuh, bukannya menolong, malah tertawa dan menggoda. Kecuali Alena yang sangat khawatir tentunya.
"Ekhem, terus aja gitu nyampe pagi," goda Ravael melihat keduanya masih linglung dengan posisi yang masih sama.
Mereka berdua tersadar. Dengan wajah sama-sama memerah, Audrey dan Andreas langsung bangun.
"Audrey! Kamu gak pa-pa, kan?!"
Alena yang akan bangun menolong Audrey, langsung ditarik Rafka membuatnya terduduk kembali. Deva berdiri dan duduk di samping kanan Alena, tempat sebelumnya sempat Andreas duduki.
"Ihh! Kamu kenapa tarik aku?! Audrey-nya jatuh, tuh ... kasihan. Wajahnya juga keliatan merah. Pasti sakit, ya?" ucap Alena polos seraya merenggut.
"Dia gak pa-pa. Wajahnya yang merah bukan karena sakit, tapi malu." Deva menjawab.
Alena menoleh ke arah Deva dengan bingung. "Malu?"
Deva mengangguk santai.
Alena menatap Audrey lagi dengan heran. "Malu kenapa?"
Mereka sungguh gemas sekali dengan pertanyaan Alena. Sudah tahukan dia melihat bagaimana posisi jatuh kedua orang itu di depannya. Kenapa di pertanyakan?
Audrey semakin memerah dengan ucapan Alena yang polos. Ia berusaha menormalkan kembali ekspresinya dan merapikan bajunya yang sempat kusut. Lalu menatap Alena tersenyum malu. "G-ue ... gue gak pa-pa kok, Le."
Andreas tidak jauh berbeda, jantungnya masih belum normal. Karena tidak ingin berdebat lagi perkara tempat duduk, dia duduk di samping kanan Alvin.
Audrey baru sadar tempat yang seharusnya ia duduki, sudah ditempati Deva, ia merasa jengkel. Namun, mengingat kejadian memalukan beberapa detik lalu, dia duduk di tempat lain
Keadaan menjadi normal kembali. Mereka menonton drakor dalam diam.
"Ck. Gak seru banget liat film ginian," celetuk Alvin menggerutu.
Risha menoleh menatapnya tajam. "Terus, lo pada ngapain kesini?! Ganggu aja!"
Alvin menatapnya lembut seraya tersenyum manis. "Gue pengen ke lo."
Risha langsung memerah memalingkan muka. Mereka memutar bola matanya malas menyaksikan itu. Selain Dhita dan Radhit, mereka sudah terbiasa dengan pasangan bucin ini. Namun, status mereka belum pasti.
Lalu, pasangan yang kejar-kejaran, akhirnya kembali yang sebelumnya entah kemana.
"Awas, ya! Lo gak boleh deketin gue lagi!"
Mereka berdebat seperti pasangan yang bertengkar. Orang-orang di sofa akhirnya menonton drama nyata, dan mengabaikan drama palsu yang di tayangkan di layar.
"Jangan gitu, dong. Maaf, ya? Lain kali gue beliin deh cemilan yang banyak," bujuk Radhit.
Senyum Dhita mengembang. Matanya berbinar menatap Radhit. "Beneran?!"
Radhit mengangguk arogan, lalu dia tersenyum jenaka. "Tapi ...."
"Tapi?" Dhita menatap Radhit serius
"... boong!!"
Radhit tertawa terbahak-bahak. Dia semakin terbahak melihat wajah Dhita yang memerah karena kesal dan marah. Radhit berlari lagi dari kejaran singa betina yang mengamuk.
"Radhit!!" Dhita berteriak geram.
Mereka hanya tertawa kecil melihat pasangan sejoli itu.
"Wah ... rame banget. Ternyata kita kedatangan banyak tamu, Pah."
Suara lembut seorang wanita dari pintu masuk, membuat semua orang langsung menoleh. Radhit dan Dhita yang tengah kejar-kejaran, berhenti.
Di sana, terdapat dua pasangan suami-istri yang berpakaian formal. Ekspresi keduanya terlihat antusias menatap mereka.
"Nak? kamu kenapa gak bilang ke Papah dan mamah kalo kamu mau bawa teman-teman kamu kesini? Kalo kamu ngasih tau, mamah pasti ngambil cuti kerja, dan mamah juga bakal belanja, masak, dan buat banyak makanan buat kalian." Celotehan lembut wanita itu mengalun di keheningan yang dingin berasal dari Audrey.
"Gak usah. Ini bukan urusan kalian," balas dingin Audrey tanpa menoleh.
Ucapan dingin putri mereka sama sekali tidak melenturkan senyuman kedua orang itu. Ibu Audrey tersenyum hangat dengan ketidakberdayaan di matanya. "Urusan kita dong, Sayang. Kita Tuan rumah di sini, masa tamu-tamunya di biarin?"
Audrey berdiri menatap mereka sedingin es. "Urusan kalian cuma kerja! Kerja! Dan kerja! Ngapain ngurusin tamu Audrey?!"
Nada suaranya mengandung banyak kesedihan dan kemarahan, lalu dia berlari menaiki tangga.
Kedua orang tua Audrey tersentak dengan rasa sakit menghimpit hati mereka, penyesalan kembali menyerang. Menahan nafas sesak, mereka menghela nafas lelah. Ayah Audrey memijit pelipisnya. Ibu Audrey menahan diri untuk tidak menangis.
Sedangkan, orang-orang di sofa hanya diam termangu, tidak ingin ikut campur. Ketegangan suasana, membuat mereka ikut menegang tanpa sadar.