Marsha Calloway terjebak dalam pernikahan yang seharusnya bukan miliknya—menggantikan kakaknya yang kabur demi menyelamatkan keluarga. Sean Harris, suaminya, pria kaya penuh misteri, memilihnya tanpa alasan yang jelas.
Namun, saat benih cinta mulai tumbuh, rahasia kelam terungkap. Dendam masa lalu, persaingan bisnis yang brutal, dan ancaman yang mengintai di setiap sudut menjadikan pernikahan mereka lebih berbahaya dari dugaan.
Siapa sebenarnya Sean? Dan apakah cinta cukup untuk bertahan ketika nyawa menjadi taruhan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayyun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Antara Cemas dan Harapan
Malam kian larut, dan bayangan Sean masih belum juga muncul di ambang pintu. Marsha berusaha meyakinkan dirinya bahwa pria itu baik-baik saja—bahwa ia hanya terlambat pulang seperti biasanya. Namun, semakin detik berdetak, kegelisahan merambat naik ke dadanya, menciptakan debar tak menentu.
Jam di dinding menunjukkan pukul sebelas lewat tiga puluh menit.
Marsha menghela napas panjang. "Setengah jam lagi," gumamnya dalam hati. "Kalau masih belum pulang, aku akan menghubunginya."
Ia mencoba mengalihkan perhatian dengan membaca buku, tetapi pikirannya terus melayang pada sosok Sean. Entah mengapa, malam ini terasa begitu sepi, lebih sepi dari biasanya.
Setengah jam berlalu, dan Sean masih belum pulang. Tanpa berpikir panjang lagi, Marsha meraih ponselnya dan menelepon Sean.
Nada sambung berulang-ulang, menggema di telinganya seperti ketukan tak berjawab. Jantung Marsha berdegup semakin cepat. Ia mencoba sekali lagi, kali ini menggenggam ponsel lebih erat, seolah bisa memanggil Sean hanya dengan kekuatan pikirannya. Tapi tetap tak ada jawaban—hanya sunyi yang menjawab panggilannya.
Jantungnya mulai berdebar kencang. Ia menatap layar ponselnya dengan gelisah, mencoba mencari opsi lain. Jika Sean tidak bisa dihubungi, maka satu-satunya cara adalah menghubungi asistennya.
Baru saja ia hendak menelepon asisten Sean, ponselnya tiba-tiba bergetar. Sebuah panggilan masuk. Dari asisten Sean.
Marsha segera mengangkatnya. "Halo?"
"Bu Marsha..." Suara pria di seberang sana terdengar tergesa-gesa dan panik.
Marsha merasakan sesuatu yang dingin menjalar di punggungnya. "Ada apa?"
"Pak Sean mengalami kecelakaan."
Dunia seolah berhenti berputar. Marsha kini berdiri di depan ruang gawat darurat dengan jantung berdebar kencang.
Tangannya terkepal di sisi tubuhnya, berusaha menahan diri agar tidak menangis. Asisten Sean sudah menjelaskan bahwa kecelakaan itu terjadi saat Sean dalam perjalanan pulang. Sebuah mobil lain melaju dengan kecepatan tinggi dan menabrak mobil Sean dari samping, menyebabkan kendaraannya terguling beberapa kali sebelum akhirnya berhenti.
Saat ambulans tiba, Sean masih sadar, tetapi kondisinya tidak bisa dianggap ringan. Ada luka di kepala dan beberapa bagian tubuhnya mengalami benturan cukup keras.
Marsha mengigit bibirnya, berusaha menahan isakan. Ia masih belum bisa mempercayai semua ini.
Baru beberapa kemarin, mereka masih berbicara seperti biasa. Dan kini, Sean berada di dalam ruang gawat darurat, berjuang melawan rasa sakit yang mungkin ia rasakan. Tiba-tiba, seseorang menepuk bahunya pelan.
"Bu Marsha."
Ia menoleh dan mendapati dokter berdiri di hadapannya.
"Bagaimana keadaannya, Dok?" tanyanya dengan suara bergetar.
"Pak Sean mengalami cedera di bagian kepala akibat benturan, serta beberapa luka di tubuhnya. Kami akan terus memantau kondisinya selama beberapa jam ke depan untuk memastikan tidak ada komplikasi yang serius. Untuk saat ini, beliau sudah dipindahkan ke ruang perawatan."
Marsha merasa sedikit lega, meskipun hatinya masih dipenuhi kekhawatiran.
"Aku boleh menemuinya?"
Dokter itu tersenyum tipis. "Tentu. Tapi mohon jangan terlalu lama. Pak Sean masih butuh istirahat."
Marsha mengangguk, lalu segera melangkah ke ruang perawatan Sean. Ketika ia memasuki ruangan itu, Marsha merasa hatinya mencelos melihat Sean yang terbaring di ranjang dengan perban melingkar di kepalanya. Beberapa alat medis terpasang di tubuhnya, memastikan kondisinya tetap stabil.
Ia melangkah perlahan mendekatinya. Wajah pria itu tampak pucat, tetapi masih terlihat tenang meskipun matanya terpejam. Tanpa sadar, air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh juga. Ia duduk di sisi ranjang, menatap wajah Sean dengan perasaan yang bercampur aduk.
"Kenapa kamu selalu seperti ini..." gumamnya lirih.
Ia menggenggam tangan Sean, merasakan kehangatannya.
"Kenapa kamu selalu buat aku khawatir..."
Seolah mendengar suaranya, jari-jari Sean sedikit bergerak. Marsha terkejut, lalu menatapnya dengan penuh harap. Perlahan, kelopak mata Sean terbuka. Tatapannya masih tampak buram, tetapi ketika matanya menangkap sosok Marsha, bibirnya sedikit melengkung.
"Marsha..." Suaranya serak dan lemah.
Marsha buru-buru menghapus air matanya. "Aku di sini."
Sean menatapnya dalam, seolah ingin memastikan bahwa ia tidak sedang bermimpi.
"Kamu nangis?" tanyanya dengan suara lirih.
Marsha menggeleng cepat. "Enggak."
Sean tersenyum tipis. "Kamu bohong."
Marsha mengerucutkan bibirnya, tidak tahu harus berkata apa. Sean mencoba menggerakkan tangannya, lalu menggenggam tangan Marsha dengan lemah.
"Aku baik-baik aja," katanya pelan.
Marsha menatapnya dengan kesal. "Kamu kecelakaan, kepala kamu terluka, dan kamu bilang baik-baik saja?"
Sean tertawa kecil, meskipun itu jelas membuatnya sedikit meringis. "Setidaknya aku masih bisa lihat kamu."
Marsha terdiam.
"Aku sempat mikir... kamu nggak akan peduli," suara Sean lemah, nyaris seperti bisikan. Matanya menatap Marsha seolah mencari kepastian.
Marsha menunduk. "Aku... aku memang coba untuk nggak peduli. Tapi ternyata aku nggak bisa."
Sean menatapnya dalam, lalu menggenggam tangannya lebih erat.
"Jangan pernah coba untuk nggak peduli, Marsha," bisiknya. "Karena aku nggak mau kamu jauh dari aku."
Marsha merasakan dadanya menghangat. Ia tahu bahwa ia masih menyimpan luka. Ia tahu bahwa perasaan kecewanya belum sepenuhnya hilang. Tetapi saat ini, melihat Sean terluka seperti ini, ia menyadari satu hal—ia tidak ingin kehilangan pria itu.
Marsha menggenggam tangan Sean lebih erat, tanpa mengatakan apa-apa. Namun, tanpa kata-kata pun, Sean sudah mengerti. Ia tersenyum tipis, lalu memejamkan matanya kembali.
Marsha menatap jemari mereka yang saling bertaut, merasakan hangatnya genggaman Sean meski lemah. Ia belum tahu ke mana jalan ini akan membawa mereka. Tapi satu hal yang pasti—untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa hatinya tidak lagi berusaha lari dari pria itu.
...***...