Emma tak pernah menyangka akan mengalami transmigrasi dan terjebak dalam tubuh istri yang tak diinginkan. Pernikahannya dengan Sergey hanya berlandaskan bisnis, hubungan mereka terasa dingin dan hampa.
Tak ingin terus terpuruk, Emma memutuskan untuk menjalani hidupnya sendiri tanpa berharap pada suaminya. Namun, saat ia mulai bersinar dan menarik perhatian banyak orang, Sergey justru mulai terusik.
Apakah Emma akan memilih bertahan atau melangkah pergi dari pernikahan tanpa cinta ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eka zeya257, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Kepulan asap menguar dari mulut Eleanor, wanita itu menatap kosong pada langit malam yang berwarna gelap. Udara dingin menusuk kulit, namun ia tak menggubrisnya.
Jemarinya yang lentik menggenggam sebatang rokok yang nyaris habis, abu di ujungnya jatuh begitu saja, terbawa angin.
Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan nikotin meresap ke dalam paru-parunya sebelum kembali menghembuskannya dengan lambat.
Matanya yang sayu menyiratkan kelelahan, bukan hanya fisik, tetapi juga batin. Seakan langit yang kelam itu adalah refleksi dari pikirannya yang tak kalah gelap.
Di kejauhan, suara kendaraan yang melintas samar terdengar, bercampur dengan alunan musik dari sebuah bar yang masih buka di sudut jalan.
Namun, bagi Eleanor, semua itu hanyalah latar belakang yang tak berarti. Pikirannya melayang ke masa lalu, pada kenangan-kenangan yang berusaha ia kubur namun selalu muncul di saat-saat seperti ini.
Sebuah suara memecah lamunannya. "Eleanor, kamu baik-baik saja?"
Wanita itu menoleh perlahan, menatap sosok yang berdiri tak jauh darinya. Mata mereka bertemu, dan untuk sesaat, Eleanor ragu apakah ia ingin menjawab atau hanya kembali tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Sergey berjalan mendekati Eleanor yamg tengah berdiri di balkon kamarnya, pria itu melihat tatapan istrinya yang tidak seperti biasanya.
"Apa kamu sedang ada masalah?" tanya Sergey begitu sampai di samping Eleanor.
"Banyak." Eleanor mengalihkan pandangan kembali ke arah langit. "Kenapa kamu datang ke kamarku?"
Sergey menyandarkan tubuhnya pada pagar balkon, menatap wajah Eleanor yang diterangi cahaya bulan. Matanya mencoba mencari sesuatu di raut istrinya, sesuatu yang bisa memberinya petunjuk tentang apa yang sedang terjadi.
"Aku mencarimu," jawabnya pelan. "Kamu menghilang begitu saja setelah makan malam. Aku khawatir."
Eleanor tersenyum tipis, tapi senyum itu lebih terasa seperti kepahitan daripada kebahagiaan. "Khawatir?"
Ia mengembuskan napas panjang, kepulan asap kembali melayang di udara. "Aku rasa itu pertama kalinya kamu mengatakan hal ini padaku."
Sergey mengernyit, merasakan ketidakpuasan dalam nada suara Eleanor. Ia tahu pernikahan mereka tidak selalu berjalan mulus, tapi ada sesuatu yang berbeda malam ini. Sesuatu yang asing dan hampa.
"Aku tahu aku bukan suami terbaik," Sergey mengakui dengan suara rendah. "Tapi aku tetap peduli padamu."
Eleanor menoleh, menatap pria itu dengan mata yang sulit diartikan. "Kalau begitu, kenapa aku selalu merasa sendirian, Sergey?"
Hening.
Angin malam berembus lebih dingin, membawa keheningan yang berat di antara mereka.
Sergey terdiam. Kata-kata Eleanor menusuknya lebih dalam dari yang ia kira. Ia ingin menyangkal, ingin mengatakan bahwa Eleanor tidak benar-benar sendirian, tapi di lubuk hatinya, ia tahu istrinya tidak berbohong.
Angin malam berembus, menerbangkan helaian rambut Eleanor yang tergerai. Ia masih menatap langit, seolah mencari jawaban di antara bintang-bintang yang berpendar redup.
Sergey, yang biasanya tak pernah kehabisan kata-kata, kini hanya bisa mengamati wajah istrinya wajah yang dulu penuh cahaya, kini tampak lebih letih dan jauh.
"Apa yang bisa kulakukan?" tanya Sergey akhirnya, suaranya nyaris tenggelam dalam desiran angin.
Eleanor menghela napas pelan, menurunkan rokok yang nyaris habis dari bibirnya. Ia menoleh, menatap Sergey dengan mata yang lelah namun tetap tajam.
"Mungkin kamu harus mulai mendengarkan, bukan hanya bertanya."
Sergey menelan ludah, merasa dadanya sedikit sesak. Ia tahu Eleanor benar. Selama ini, ia terlalu sering bertanya tanpa benar-benar mendengar jawabannya.
"Baiklah, aku ingin mendengar," katanya, lebih serius kali ini. "Katakan padaku, Eleanor. Apa yang membuatmu merasa seperti ini?"
Wanita itu menatapnya sejenak, seakan menimbang apakah kata-kata Sergey bisa dipercaya.
Lalu, dengan suara lirih, ia berbisik, "Apakah sikapmu selama ini karena sosok wanita bernama Aria yang belum bisa kamu lupakan?"
Sergey terpaku. Nama itu, nama yang sudah lama berusaha ia kubur kini melayang kembali di antara mereka, seperti hantu yang tak pernah benar-benar pergi.
Keheningan menyelimuti mereka. Mata Eleanor tetap terarah pada Sergey, mencari kebenaran di balik ekspresi wajahnya. Sementara itu, Sergey merasa dadanya sesak, seakan udara malam yang dingin tiba-tiba menjadi terlalu berat untuk dihirup.
Melihat Sergey diam, Eleanor menyesap kembali rokoknya. "Tidak perlu di jawab jika itu sulit, Sergey. Aku hanya penasaran."
Sergey akhirnya mengalihkan pandangannya, menatap jauh ke jalanan yang sepi di bawah sana. Pertanyaan Eleanor menggema di kepalanya, menelanjangi sesuatu yang selama ini ia coba abaikan.
"Aku tidak tahu harus menjawab apa," ucapnya pelan. "Bukan karena aku ingin berbohong, tapi karena aku sendiri tidak yakin dengan jawabannya."
Eleanor tersenyum tipis, senyum yang penuh kepahitan. "Itu sudah cukup menjawab semuanya."
Sergey menoleh, matanya dipenuhi sesuatu yang sulit diartikan, penyesalan, kebingungan, atau mungkin keduanya. "Eleanor, aku..."
"Aku masih punya satu pertanyaan lagi." Eleanor memotongnya, suaranya kini lebih dingin. Ia menatap Sergey lurus-lurus, seolah berusaha menembus pertahanan pria itu.
Sergey mengernyit. "Apa?"
Eleanor menghela napas panjang sebelum akhirnya bertanya, "Apa kamu ada hubungannya dengan mafia The Black Revenants?"
Sergey membeku. Dalam sepersekian detik, matanya memancarkan keterkejutan, kewaspadaan, atau bahkan rasa takut. Namun, seperti biasa, ia dengan cepat menyembunyikannya di balik ekspresi dinginnya.
"Lea, dari mana kamu mendapatkan nama itu?" tanyanya, suaranya lebih dalam dari sebelumnya.
Eleanor tertawa kecil, tapi tawanya tanpa humor. "Jadi kamu memang mengenalnya."
Ia menggelengkan kepala, seolah menemukan kepingan teka-teki yang selama ini hilang. "Aku bertanya, Sergey. Apa kamu ada hubungannya dengan mereka?"
Sergey tidak langsung menjawab. Ia menggeser tubuhnya sedikit, seolah mencoba mencari kata-kata yang tepat. Namun, dalam diamnya, Eleanor sudah mendapatkan jawaban yang ia cari.
"Kamu tidak perlu menjawab," lanjutnya dengan suara lirih. "Diam saja sudah cukup bagiku."
Hening.
Untuk pertama kalinya malam itu, Sergey merasa dinginnya angin malam menusuk lebih tajam dari biasanya.
Eleanor membuang puntung rokoknya ke dalam asbak yang berada di sebelahnya, tanpa menoleh Eleanor kembali berucap. "Ayo kita bercerai, Sergey."
Sergey merasakan jantungnya seakan berhenti berdetak sejenak. Kata-kata itu jatuh begitu saja dari bibir istrinya dengan tenang, tanpa emosi yang meledak-ledak, tetapi justru karena itulah dampaknya terasa jauh lebih dalam.
"Apa?" Sergey akhirnya bersuara, suaranya serak, nyaris tidak terdengar.
Eleanor masih tidak menoleh, tatapannya tetap terpaku pada pemandangan malam yang gelap di depannya.
"Kita berdua sudah lelah, bukan?" katanya pelan. "Aku dengan kesendirianku, dan kamu dengan rahasia yang terus kamu sembunyikan."
Sergey mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya. Ini bukan percakapan yang ia harapkan malam ini. Ia datang untuk mencari Eleanor, untuk memahami kegelisahan istrinya bukan untuk mendengar permintaan cerai.
"Apa ini karena Aria?" Sergey akhirnya bertanya. "Atau karena The Black Revenants?"
Eleanor tersenyum miris. "Keduanya," jawabnya jujur. "Dan juga karena aku akhirnya sadar bahwa aku hanya bagian kecil dari hidupmu, Sergey. Bagian yang bisa kamu abaikan selamanya."
Sergey mengembuskan napas berat, mencoba mencari cara untuk membantahnya, tetapi ia tahu Eleanor benar.
"Eleanor..."
"Aku sudah memutuskan," potong Eleanor, akhirnya menoleh ke arahnya.
Tatapan matanya kali ini berbeda, tidak lagi penuh dengan harapan, tidak lagi menunggu Sergey untuk berubah. "Aku ingin berpisah dengan tenang. Jadi, jangan buat ini menjadi lebih sulit."
Sergey tidak segera menjawab. Ia hanya berdiri di sana, membiarkan kenyataan itu tenggelam di dalam pikirannya.
Soo.... jangan lupa up tiap hari.. tiap waktu yaa Thor 👍😘😁😍😍