NovelToon NovelToon
Kacang Ijo

Kacang Ijo

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu / Kehidupan Tentara / Romansa / Dijodohkan Orang Tua / Trauma masa lalu
Popularitas:275.2k
Nilai: 4.8
Nama Author: Chika cha

Cover by me

Moza Reffilia Abraham—fotografer berparas bidadari, jatuh hati sejak pandangan pertama. Abrizam Putra Bimantara—tentara teguh yang baru menyandang pangkat Kapten, justru mengunci rapat hatinya.

Pernikahan mereka lahir dari perjodohan, bukan pilihan. Abri menolak, dibayangi luka lama—pernah ditinggal kekasih saat bertugas di perbatasan. Ia takut jatuh cinta, takut kehilangan untuk kedua kalinya.

Namun kisah ini tak semudah itu.
Sosok dari masa lalu kembali hadir—seorang bawahan di kesatuan yang sejak dulu hingga sekarang menjadi pesaing dalam cinta, mengaduk luka lama dan membangkitkan kegelisahan yang nyaris tak tertahan.

Di antara tugas negara dan gejolak rasa, sang Kapten harus memilih membuka hati, atau kembali kehilangan.


Lanjut baca langsung ya disini ya👇

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika cha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Data Diri dan Derita Hati

Ting!

Satu pesan masuk ke ponsel Abri. Dari Dico.

"Emm... Kamu masuk duluan nggak apa-apa, kan? Saya harus cek sesuatu dulu sebentar," ujar Abri, memasukkan kembali ponselnya ke saku celana setelah membaca pesan Dico yang menyuruhnya datang ke kantor sebentar untuk mengecek pekerjaan pria timur itu.

Moza hanya bisa mengangguk pasrah. Mau menahan pun dia segan—takutnya itu urusan penting.

Tanpa banyak kata, Abri langsung berbalik pergi. Moza menatap punggung pria itu dengan sendu. Entah perasaannya saja atau memang Abri tampak tidak begitu siap untuk menikah dengannya? Ia menghela napas panjang, mencoba menepis pikiran aneh yang mulai merayapi kepala, lalu melangkah masuk ke ruangan yang di bilang ramai, tidak sepi juga tidak.

tubuh Moza sedikit bergetar. selain trauma pada senjata api, Moza juga trauma akan keramaian karena bermula dari tempat keramaian lah yang membuat tragedi berdarah itu terjadi.

Moza mencoba menenangkan dirinya menarik nafas, membuangnya. berulang kali itu ia lakukan sampai dirinya benar-benar tenang.

Begitu tenang, Moza langsung merasa seperti alien. Di dalam sana, para wanita tampak sibuk membaca dan menghafal dokumen yang mereka pegang. Beberapa bahkan menutup mata sambil menggumam, seperti sedang menghadapi ujian masuk perguruan tinggi militer.

Moza mematung sejenak, keheranan. Lalu mencari tempat duduk kosong. Ia pun duduk di sebelah seorang gadis yang tampak serius membolak-balikkan kertas di pangkuannya, menghafal isi dokumen dengan konsentrasi tingkat dewa.

Moza kembali mengangkat kepala, menatap sekitar ruangan, beberapa tentara duduk mendampingi pasangan masing-masing. Mereka membantu memeriksa hafalan calon istri mereka—mengecek apakah nama, pangkat, dan jabatan mereka sudah diucapkan dengan tepat.

Untuk apa hafalan semua itu? Pikirnya kebingungan. Alis Moza terangkat bingung.

“Apa mau jadi calon istri tentara harus ujian segala?” batinnya, resah. “Papi nggak ngomong apa-apa, mami juga enggak kasih tau apa-apa. Sebenarnya ini acara apaan sih?!” Gumam Moza kebingungan sendiri.

Mau tanya, malu. Nggak nanya, makin keliatan bloon. Serba salah!

"Misi mbak. Boleh duduk sini? Masih kosong, kan?" sapa seorang gadis yang baru datang dengan seragam yang sama seperti Moza.

"Oh, Iya. Silahkan, masih kosong, kok," Jawab Moza dengan tersenyum ramah.

"Capersit juga mbak?" Tanya gadis itu setelah melirik kerah baju Moza yang tidak terdapat lencana.

Moza mengangguk pelan. Ia tau singkatan itu.

“Wah, sama! Saya juga. Kalau boleh tahu, siapa nama calon suaminya, Mbak?” Tanya gadis itu lagi penasaran, meletakkan tas juga dokumennya di atas paha.

Moza mengerutkan kening.

Nama ya? Jika di ingat ingat Moza belum tau nama kepanjangan pria itu. Bahkan nama pria itu yang ia takutkan cuma Abri, tidak lebih tidak kurang. Moza lantas mengingat name tag Abri yang tadi di pakai peria itu "Abrizam."

Gadis itu mengangguk, lalu prajurit yang mendampinginya menghampiri capersitnya begitu mendengar nama yang keluar dari bibir Moza “Dia calon istri atasan saya, dan anak dari Panglima Besar Jenderal Hamzah. Kamu harus hormat, Dek.” Katanya setengah berbisik. Sementara Moza sudah beralih Memperhatikan sekitar dengan perasaan bego. Sumpah, dia seperti orang tersesat di tengah parade militer.

"Izin Bu, saya gak tau kalau ibu calon istri kapten Abri dan anak dari panglima besar jenderal Hamzah."

Gadis tadi langsung berubah jadi super formal. Moza makin bingung "Ha?" Tanyanya bingung. Memangnya kenapa kalau dia calon istri Abri?

"Izin memperkenalkan Bu, nama saya Fujiani lestari. Calon istri Serka Herumanto. NRP–"

"Tunggu, maksudnya ini apa?" potong Moza cepat, panik. Karena gadis ini tiba tiba saja memperkenalkan dirinya juga calon suaminya yang saat ini tersenyum sungkan padanya.

Kenapa semua orang tiba-tiba formal kayak upacara bendera?

“Maaf, Bu. Kapten Abri atasan saya. Jadi, Ibu juga secara tidak langsung adalah atasan calon istri saya.”

Moza langsung terdiam.

Apakah ini... senioritas?

Baru juga jadi calon istri, udah dianggap atasan? Gila sih ini. Dia benci diperlakukan berlebihan. Jadi anak Hamzah aja udah cukup bikin dia mumet, apalagi ditambah beban sosial ala dunia militer.

“Dek, minta maaf ke calon Kapten Abri. Tadi kamu sudah bicara kurang sopan,” bisik Heru pada tunangannya, cukup keras hingga terdengar oleh Moza.

"Eh, eh, gak perlu. Emmm... dia tadi juga gak tau kan. Jadi gak papa. Udah gak perlu minta maaf." Sebelum gadis itu membuka mulutnya lebih dulu Moza yang menyela. Lagian gadis itu juga tidak salah kan tadi, bicara juga baik-baik dengannya.

Kedua pasangan itu malah permisi dan duduk menjauh darinya. Moza sih tidak ambil pusing ia kembali memperhatikan sekelilingnya. Ingatan Moza terputar ke masa beberapa tahun silam. Yang jelas saat saat kakaknya–Berlian sibuk mengurus pengajuan bersama Dwika.

Namun, kedua pasangan itu malah pamit dan duduk menjauh. Moza sih nggak ambil pusing, tapi ia kembali memperhatikan ruangan. Otaknya mendadak memutar ulang kenangan masa lalu—saat kakaknya Berlian mengurus pengajuan bersama Dwika.

Ia ingat betul betapa ribetnya proses itu. Dari RT/RW, Koramil, Korem, batalyon, Kodam, KUA, sampai menghadap Danyonif. Sekarang? Moza cuma duduk doang, udah sampai di tahap akhir. Semua seperti jalur jalur tol berkat tangan ajaib Hamzah dan mungkin juga keluarga Abri.

Dan yang masih jadi masalah Moza dan jadi pertanyaannya sejak tadi adalah berkas apa yang para gadis itu hafal. Kenapa semua capersit lain punya berkas hafalan, dan dia tidak?!

Abri pun kenapa belum datang juga sampai sekarang? Moza makin gelisah. Mau tanya, malu. Tapi kalau terus diam, bisa jadi dia masuk daftar capersit terbodoh tahun ini.

Akhirnya, rasa penasaran mengalahkan rasa malu.

Moza pun bertanya pada gadis di depannya yang masih sibuk menghafal. “Maaf, saya mau tanya...” bisiknya pelan sambil menepuk pundak gadis di depannya. “Itu isinya apa ya? Kok saya nggak dapet. Harus hafal apa sih?" Bodo amat sama malu, ketimbang kayak kambing cengo.

Gadis di depannya mengernyit heran, lalu melihat Moza yang tidak seribet dirinya yang lain. Bahkan selembar kertas pun tidak ada gadis itu pegang "Loh, kamu gak tau isi berkas ini?" Moza menggelengkan kepalanya dengan wajah polos.

"Ini bukan dari panitia pengajuan. Tapi ini persiapan kita sendiri, isinya data diri calon suami kita masing-masing. Dan setiap capersit harus mengetahuinya dan hafal luar kepala."

Duar!

Tanpa berkata apa-apa, Moza langsung bangkit dan keluar ruangan. Tak peduli semua mata memandangnya heran melihat kelakuan Moza, ia berlari panik. Nama lengkap Abri aja dia nyaris nggak tahu. Pangkatnya pun baru tahu barusan. Sekarang disuruh hafal data diri pria itu luar kepala tanpa berkas? Gila kali!

Di luar, Moza lantas mengambil ponselnya dari dalam tas hitam yang ia bawa. Ini kali pertama ia membawa ponsel lagi setelah insiden berdarah itu. Tentunya karena pernah sekali kejadian Moza di teror oleh penyandera. Membuat Hamzah menahan ponsel anaknya beberapa waktu dan menggantinya dengan yang baru.

Moza buru-buru membuka ponselnya. Ia menelepon Clara. Tak diangkat. Hamzah? Sama. Abri? Masih lenyap. Panik, dia jadi bingung harus bertanya pada siapa kalau begini ini. Ia benar-benar gelisah sekarang dan mencoba menghubungi satu kontak yang tersisa.

"Halo, kak..." Sapanya memelas begitu sambungan tersambung.

“Eh, dek! Kamu udah sampai kesatuan? Papi bilang kamu pengajuan hari ini!” Suara Berlian langsung ceria, seperti biasa.

“Kakaaaak...” bukannya menjawab Moza malah merengek.

"Kakak..." Tapi bukannya menjawab Moza malah merengek manja.

"Loh, loh kenapa sih? Ada apa? Jangan bilang Abri kabur ya!" Terdengar suara Berlian yang sudah kesal dan akan segera meledak. Ia tau betul sahabat suaminya itu segalon apa dan kenapa tak kunjung menikah bahkan sampai di langkahi adik bungsunya. Jangan bilang ya, jangan bilang! Akan Berlian jadikan target utama di lapangan tembak jika sampai itu terjadi.

"Enggak, bang Abri gak kabur kok. Tapi... Oza harus gimana ini? Papi sama mami gak ada bilang apa apa." Ujarnya gelisah sudah mau menangis.

"Kenapa sih za? To the point deh, jangan buat Kakak pusing dek!" sergah Berlian.

“Semua di sini lagi hafalin data diri calon mereka. Cuma Oza aja yang nggak. Mana nggak punya dokumennya juga! Papi mami nggak ngomong apa-apa!” Katanya dengan suara bergetar, air matanya sudah luruh sangking takutnya. Moza cuma tidak ingin membuat malu papa dan juga Abri nantinya.

Sunyi. Lalu...

Tawa Berlian pecah di seberang sana.

"Hahaha! Lucu banget si kamu,Za!" katanya di selah tawa yang membuat otak Moza kian muter-muter kebingungan. Memangnya apa yang lucu darinya?

"Apa yang lucu si kak?!" Tanya Moza mulai kesal.

"Kamu yang lucu dek." Sahut Berlian masih dengan tawanya.

"Udah deh kalau kak lili cuma bisanya ngetawain nasib Oza. Udah! Kakak bukannya bantu adeknya yang lagi kesusahan malah asyik mentertawakan nasib Oza! Kakak apaan kayak gitu!"

Tawa Berlian langsung berhenti kala mendengar suara Sang adik yang sudah kesal sepertinya juga sudah menangis, paham Berlian terdiam meredakan tawanya baru ia kembali bersuara "kamu anak siap za?" Ia malah bertanya random yang membuat Moza kian kesal. Masak ia kakaknya itu masih nanya dia anak siapa?

"Anak papi Hamzah, kakak juga." Jawab Moza.

"Papinya kerja apa adek?" Tanya Berlian lagi.

"Tentara lah." Gak mungkinkan Berlian lupa pekerjaan papi mereka.

"Pangkatnya apa adek?"

"Buat apa nanya begitu si kak? Gak ada sangkut pautnya sama kegiatan Moza hari ini ya!" Ia malah makin kesal karena Berlian malah bertanya hal yang buka bisa memecahkan masalahnya hari ini.

"Jawab aja apa susahnya sih!" sembur Berlian di seberang sana jadi ikut kesal.

Moza berdecak "Jenderal." Jawab Moza tak minat.

"Nah, itu. Bapakmu itu kepala prajurit se-Indonesia Moza. Kenapa masih goyang heh?"

"Bukannya bapak Oza juga bapak kak lili ya? Tapi tunggu maksudnya apa sih kak?" Moza mengerutkan kening.

"Semua udah di urus papi Oza..." Gemas Berlian karena adiknya kelewat lemot.

"Di urus gimana sih kak? Nanti kalau Oza di marahi gimana ini karena gak hafal data diri bang Abri." Gadis cantik itu masih belum mengerti juga maksud Berlian, air matanya bahkan sudah kembali luruh membayangkan ia di bentak-bentak oleh danyonif nanti karena tak mengetahui apapun tentang Abri.

"Heh! Siapa yang berani marahin anaknya bapak jenderal dodol!" Lama lama gemas juga Belian pingin mencongkel otak kyut adik cantiknya itu.

Moza terdiam sebentar "kak, Oza udah nangis ini loh," akunya.

"Nangis aja, papi bakalan turunin Alusista turun buat nyerbu ini kesatuan kalau tau anak kesayangannya nangis di sana." Kata Berlian enteng, ia tau papinya itu sesayang apa pada dirinya dan juga pada Moza. Satu saja air mata putrinya jatuh. Jangan harap akan ada ketentraman di dunia ini bagi pelakunya.

Dwika saja tidak bisa berkutik.

Terdengar helaan nafas dari Berlian, mengingat masa lalunya yang sama persis dengan sang adik "kakak dulu juga gitu za, cuma paling enggak kakak hafal tu nama lengkap sama NRP mas mu. Sisanya ya papi yang urus. Dia tu gak mau anak anaknya ribet dek. Coba deh, kamu tanya sama Abri jati dirinya gimana kalau perlu masa lalu yang dia punya itu kelamnya kayak apa. Soalnya hawa masa lalunya serem banget. Sampai pengen Kakak santet."

"Mana berani Oza kak, apa lagi ngorek sampai masa lalunya. Gila aja!"

"Heh! Kan kamu calon istrinya bodoh!"

"Walaupun calon istri. Tau gak privasi? Masa lalu nya mungkin sebagian privasi kak." Mana mungkin lah Moza berani sejauh itu bertanya. Mungkin cukup dengan nama lengkap dan NRP pria itu, karena itu yang di butuhkan disini.

"Cih, apanya yang privasi, masa lalunya malah udah jadi konsumsi publik dek. Nanti deh kalau kamu udah tinggal di sini pasti tau cerita ngenes dia di masa lalu kayak gimana. Pasti rasanya kamu pengen congkel ginjal, hati dan mata masa lalunya itu sangking geramnya." Kompor Berlian. "Udah deh ah, malah makin jauh sih ceritanya. Jangan drama. Pokoknya kamu duduk diam manis ya cantik. Inget kamu anak jendral Hamzah, kamu aman. Pulang pengajuan mampir ke tempat Kakak oke. Jasmine kangen, juga ada berita baik yang mau kakak bagi sama kamu. Assalamualaikum."

Tut!

Belum sempat Moza menjawab salam dari Berlian, wanita itu sudah lebih dulu menutupnya. "Waalaikumsalam..." Jawab Moza pada sambungan panggilan yang sudah mati.

“Huhuhu... Apa aku kabur aja ya? Atau pulang pura-pura salah jadwal...?” Gumamnya agak nekat tak nekat. Dangan wajah sudah merah dan mata berkaca-kaca karena sempat menangis yang ia takutkan sekarang adalah nama baik Hamzah juga Abri kalau sampai ia tak hafal data diri pria itu. Dan entah mengapa di situasi terjepit begini otaknya malah baru kepikiran dengan perkataan sang Kakak tadi tentang masa lalu calon suaminya.

"Yang di maksud kak lili itu apa sih? Cerita ngenes? Memangnya bang Abri itu jones?" Tanyanya pada diri sendiri masih bingung.

"Jones? Siapa yang jones?"

1
Elizabeth Zulfa
hrusnya Moza msih ngambek tadi tpi ini mlah lngsng udah luluh aja
Elizabeth Zulfa
gak mungkin kn jendral panglima Hamzah gak tau sedikitpun hal zh trjadi dengan Moza... meski ia merasa Moza aman di lingkungan batalyon tpi pling enggk kn dia tetap ngasih mata2/ pengawal bayangan untuk ngawasin putri tersayangnya...
Elizabeth Zulfa
knpa sih negatif thinking melulu.. heran dech ma nich abang2an 😠😠😠
dewi_nie
saknoe Rania😥..kbr anaknya piye ka'thor??penasaran.
'Nchie
🥰
Elizabeth Zulfa
bijak kali kau dico tpi stlah kau nasehati dia sprti itu dan blm sadar juga.. itu artinya dia goblok tingkat dewa ..kesel juga liat kelakuan ABRI...sok jdi korban pdahl Aia pelaku...sok pling menderita disini tpi nyatanya ada tuh zg lbih menderita lagi krna sikapnya itu 😡😡😡
Elizabeth Zulfa
dengan kelakuan ABRI kek gini... kok aq jadi brharap ada adegan Moza kembali diculik tpi ABRI dan pasukannya justru gagal nyelamatin dia... seru kali keknya klo kek gitu
Elizabeth Zulfa
dpet mertua & clon istri lewat jalur tak terduga juga msih gak brsyukur... mlah meremehkan Moza... bener kta aji.. abri gak pntes buat moza..
kmren2 aq dukung ABRI mski msih galon ma masa lalunya tpi krna kjdian ini kok jdi agak ilfeel aq... trusan meremehkan bnget
Elizabeth Zulfa
bener kta jendral Hamzah.... prajurit elit gak mungkin cuma ada mreka berlima tpi knpa sang mayor malah ngasih tugas ke ABRI zg jelas2 mreka tau klo 2hri lagi dia bakal merid dngn anak jendral besar pula... apa mereka merupakan fakta itu🤨🤨🤨
Peni Sayekti
kasian juga Rania. tp pelajaran bwt dia. coba dia terus terang ke abri,pasti bisa dicari solusinya
💗 AR Althafunisa 💗
Nga nyangka ya, berakhir seperti itu 😮‍💨
Tysa Nuarista
bener juga kata abri. KLO Rania bukan mantannya abri mungkin GK akan keseret dlm masalah ini.
tp juga bukan sepenuhnya salah abri. . .
kn yg jdi incaran jendral Hamzah...
penjahatnya aja yg bikin mereka semua terlibat.
semoga kedepannya mereka ber 3 dpt hidup jauh lebih baik...
Aan Azzam
kereeeeeenn.......
dalam banget Thor 👍🏻👍🏻👍🏻
Arieee
👍👍👍👍👍👍👍👍
Aan_erje
makasih thor..ttap semangat y utk up cerita nya😍
iniRila
ikut iba juga sama nasib si rania,sedih thorrr🥺
Anonymous
??
Elizabeth Zulfa
kan tdi pas udah selesai pengajuan ktnya disuruh mmpir krmh berlian dwika kok jdi lngsung pulang krmh Abraham toh
💗 AR Althafunisa 💗
Satu sisi mengerti karna untuk menyelamatkan anaknya, tapi kenapa ga kasih tahu aja ke Abri. Hehe .. ga semudah itu ya, kasihan sih kalau karna alasan anak berakhir penjara 😌 tapi pas bagian ulahnya itu jadi geram tapi kalau ingat anaknya, ah... taulah 😆 Lanjut ka 🙏🥰
Elizabeth Zulfa
🤣🤣🤣🤣 mertua edaaaaann
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!