Bagi Raka, menikah dengan Aluna itu bencana, seperti Gempa dengan kekuatan 10 SR. Dan sialnya, dia tidak bisa mengelak karena perjodohan konyol orang tuanya.
Dan, bagi Aluna, menikah dengan Raka adalah ajang balas dendam, karena Raka yang selalu menghukumnya di sekolah.
Tapi ternyata, ada satu hal yang mereka lupa, bahwa waktu bisa merubah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bintang Selatan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24
Raka bodoh, Raka sialan.
Bu Sinting berdecak pinggang, lalu mengibaskan tangannya di wajahnya sebai kipas, wajar ini lapangan. Panas.
"udah nyoret dinding toilet nya? " tanyanya
Aku mengangguk sambil tersenyum.
Senyum di sengaja tentunya.
Sial banget, sewaktu berangkat sekolah aku tuh kebelet pipis dan lari ke toilet kelas satu, sampai-sampai aku malah nabrak bahu cewek yang lagi sibuk menggosip di pagi hari. Nggak pagi juga sih, ini tuh udah jam setengah delapan, baru aja di ceramahi oleh bu Sinting pasal telat datang, lagi.
"Elah kak Luna kek berasa lomba lari ae!" Gerutu cewek berambut sebahu itu. Aku nggak tahu namanya, tapi dia tahu saya maklum, saya tuh idola di sekolah, haha.
Aku membalikan badan sambil berucap maaf, lalu langsung masuk ke toilet sambil menggebrakan pintu.
Selesai pipis aku berpuh lega dan bersender di dinding toilet, capek habis lari-lari.
Aku berdiri tegak lagi, lalu kulihat ada tulisan laknat yang membawa-bawa namaku, aku tahu, itu perbuatan Andri.
Aku segera membuka resleting tasku dan menyoret kata-kata itu dengan tip-x.
Dan disinilah awal mula aku di ceramah lagi dengan Bu Sinting.
Lihat saja penampilannya, udah mirip banget kayak buk polisi yanh bagian introgasi. Aneh nggak sih, guru senyebelin ini banyak yang suka.
"Kalau mau jadi seniman itu nyoret nya di kanvas, bukan di dinding."katanya lagi.
"Udah dateng telat, lagi di omongin main kabur lari-lari,terus nyoret-nyoret dinding lagi. Kamu tahu, make up saya luntur cuma gara-gara ngejar kamu lari." Dia mengomel lagi ingin sekali ku foto terus ku viralkan di sosmed mulut komat-kamit nya.
"Udah bu, buruan. Hukuman apa elah. Panas gini." Omelku, dia makin menatapku tajam. Lalu memanggil Ummi yang kebetulan sedang jaga , ini hanya mungkin yah...
"Ummi, tolong antar Luna ke lantai tiga, dan lihatin dia." Kata bu Sinting.
"Dan kamu Luna." Tunjuknya.
"Bersihkan toilet perempuan kelas tiga!" Serunya.
Aku menuju lantai tiga, disana para senior sudah menatapku dengan tatapan aneh. Saya kurang akrab dengan kelas tiga, apalagi kelas satu. Saya juga nggak mau kenal sama mereka apalagi dekat.
"Yang bener nyikatnya." Kata Ummi saat aku mulai jongkok untuk menyikat lantai.
"Lun, itu di pinggirnya masih kotor." Ummi mulai menyebalkan.
"Lo bisa nggak cuma diem, kalau nggak bisa diem bantuin kenapa." Amukku sambil menyemprotkan air di roknya
Dia teriak kencang sekali, sampai beberapa ada yang menghampiri untuk sekedar mau tahu apa yang terjadi.
"Apa lo liat-liat!" Teriakku pada cewek-cewek ber make up tebal.
"Eh gila, biasa aja dong!" Kata perempuan dengan tinggi sebahuku dengan wajah songongnya.
Aku keluar kamar mandi dan menyemprotkan air ke lantai kamar mandi.
Ummi menatapku kesal, dan aku tidak perduli. Hei memangnya dia siapa berani menyuruhku. Selain orangtua dan guru nggak ada yang boleh menyuruh-nyuruhku, nggak ada yang boleh. Titik!
"Kalian udah kelas tiga malah ngerumpi di toilet!" Kataku sewot sama lima orang perempuan yang tadi menyaksikan kejadian.
Aku kembali ke kelas, lalu menatap Pak Gunawan dan bersaliman padanya. Dia hanya menggelenhkan kepala, sudah memaklumi.
"Telat karena pelukan?" Tanya Indra mentapku sebal.
Eh?
"Nggak." Cicitku, lalu membuka buku.
"Halah.lo pelukan, tepatnya Raka meluk lo. Kan udah gue bilang, jangan sekali-kali melakukan hal konyol kayak gitu." Omelnya.
Aku menatap matanya, penuh amarah. Lalu ku genggam kedua tangan besarnya.
"Gue tahu lo perduli." Ucapku
"Tapi, lo juga harus tahu kalau gue nggak akan melampaui batas." Lanjutku.
"Dan, indra.
Aku menarik nafas pelan. "Gue tahu sesuatu yang orang lain nggak tahu tentang Raka, dan itu alasan gue mau di peluk Raka." Kataku lantang, tentunya sambil berbisik, nggak mau orang lain tahu tentang apa yang terjadi.
Tatapan Indra berubah, kini jadi sedikit lebih lembut.
"Gue nggak mau lo kenapa-kenapa lagi, gue sayang sama lo Lun. Dan gue nggak mau kejadian yang dulu keulang lagi, dengan orang yang sama." Katanya.
Dia mengelus-elus punggung tanganku. Lalu menghembuskan nafas kasar.
"Berat buat gue ngandelin Raka buat jaga lo. Tapi gimanapun dia suami lo, orang yang bakal selalu ada di samping lo." Ujarnya.
"Gue akan belajar buat percaya sama dia." Katanya. Lalu mengembalikan remote rumah.
Iya, di rumahku tuh nggak make kunci tapi remote. Ukurannya kecil kayak hape nokia Xpress music. Terus ada monitor yang sudah di pasang cctv di bagian tertentu. Kayak di gerbang luar, pintu depan, pintu belakang dan halaman belakang.
Jadi, kalau misal ada yang menekan bel rumah, tinggal lihat di monitor siapa dan menekan tombol, langsung otomatis gerbang terbuka. Tapi emang agak sedikit ribet, karena layarnya kecil dan ada beberapa tombol disana.
Saya dan Indra hanya diam-diaman saja berikutnya, hanya melihat papan tulis melihat pak Gunawan ngomong dengan mulutnya yang maju-mundur, tidak niat mendengarkan, apalagi mencatat. Lalu berikutnya suara pintu kelas di ketuk dengan suara salam menyertai.
Pak Gunawan membukakan pintu dan disana sudah ada Raka, dia bersaliman dengan Pak Gunawan, lalu seperti sedang berbisik dan tiba-tiba menatap ke arahku dengan tatapan super ngeselin.
"Aluna, sini. " kata Pak Gunawan.
Saya berdiri, lalu berjalan pelan ke depan. Jangan tanya orang-orang di kelas, ada yang kepo, sudah biasa atau malah ada yang taruhan, aku pasti bakal kena hukuman lagi.
"Kamu menyiram air ke pakaiannya Ummi, kenapa?" tanya Pak Gunawan, intonasi nya masih lembut.
"Iya, saya menyiramnya. Tapi saya nggak salah pak. " ujarku.
" Nggak salah gimana!" intonasi nya sedikit naik.
"Dia dulu yang mulai. " kataku tegas.
" Gimana bisa dia dulu, kamu itu selalu buat masalah di sekolah, kalau ada masalah pasti ada kamu. Dan kamu itu pematik, jadi ini pasti ulah kamu lebih dulu kan. "
" Jadi saya harus ngehukum apa buat kamu."
"Pulang kan saya aja pak."
"Nggak! Itu mau kamu. Sekarang, kamu lari lima belas kali di lapangan. SEKARANG! " omel nya sambil menekan kata sekarang.
Aku keluar kelas sambil sengaja menabrak lengan bawah Raka, dia tampak mengaduh, padahal nggak sakit, alay banget dia.
"Kamu nggak bisa selalu kayak gini, Luna..." kata Raka yang berusaha mensejajarkan langkahku.
"kayak gini gimana. "
" Ya, buat ulah, di hukum lagi, buat ulah di hukum lagi. Apa dengan cara kamu di hukum kamu akan senang? Nggak malu jadi bahan omongan orang-orang?" katanya, dia itu cerewet banget!
"Buat apa malu. " ucapku.
"Kalau kamu kayak gini, kamu nggak akan bisa meraih cita-cita kamu. Aku nggak mau punya temen yang nggak punya cita-cita." ucap Raka, kami sudah sampai di bawah dan beberapa langkah lagi sampai di lapangan.
"Gue juga nggak mau punya temen yang ngatur-ngatur hidup gue!" kataku tajam, lalu mendorongnya pelan dan aku berlari menuju lapangan.
Aku berlari mengelilingi lapangan.
Satu putaran
Dua putaran
Tiga putaran
Empat putaran
Lima putaran
Dan, sudah. Kakiku sakit. Memar birunya makin sakit.
"Kenapa berhenti. " kata Raka mendekatiku.
"Udah lima belas."
"Bohong aja." katanya sewot.
"Kaki gue sakit." aku duduk di lapangan, padahal ini panasnya Naudzubillah.
Lalu membuka sepatuku dan kaos kaki bagian kanan.
Di telapan kakiku memar biru dengan ada tonjolan seperti darah beku.
Aku mengibas-ngibaskan tanganku di bagian memarnya. Aku nggak tahu buat apa, tapi siapa tahu langsung hilang kan. Hehehe.
"Yang kemaren bilang 'Yaelah cuma gini doang kali.' itu siapa?" Raka menirukan ucapanku kemarin. Sialan banget.
Tahu nggak sih, tadi pagi itu dia ninggalin aku. Ternyata dia sudah solat subuh lebih dulu dan pas aku selesai mandi dia udah berangkat kesekolah. Sialan nggak sih.
"Pakai kaos sepatunya dan lari lagi. Ayo, masih ada sepuluh putaran lagi." kata Raka.
Aku melempar sepatuku di hadapannya, iya cuma di hadapannya nggak niat tepat di wajahnya, kok.
Aku memakai kaos kakiku, lalu sepatu. Berdiri dan mulai lari lagi.
Enam putaran
Tujuh putaran
Delapan putaran
Sial, ini kaki makin nyut-nyutan. Aku diam sesaat sambil mengatur nafas.
"Kenapa lagi." katanya
Aku jatuh dan langsung dia tangkap, ternyata reflek dia cepat juga.
Mataku, ku pejamkan. Sengaja kok.
"Bangun nggak, aku tahu Istriku nggak selemah itu." ucapnya.
Istri?
Istri yah...
"Satu... Hitungan tiga kujatohkan badanmu di lepangan!" ucapnya tajam.
Aku membuka mataku, lalu mengerjapkan mataku beberapa kali, silau ternyata.
Tanganku ku rangkulkan di lehernya, lalu berdiri dan melepas rangkulanku.
"Katanya temen, tapi kok ngehukum. Katanya temen tapi kok ninggalin. Lo itu sialan Raka!" kataku tajam.
"Aku nggak bilang gitu." katanya sambil mengedikan bahunya.
"Iya kemaren bilang gitu. "
" Nggak. " dia terus ber-alibi.
"Itu buktinya kamu ngomong pake 'aku'." ucapku sewot.
"Kamu juga ngomonya pake 'Kamu'. " ucap dia, lalu menyeringai.
"Sial!"
"Cepet selesaikan hukumanmu dan istirahat." katanya.
Aku berlari lagi, sambil berteriak
"RAKA BODOH! RAKA KURANG AJAR!" makiku. Sedangkan dia cuma senyum-senyum penuh kemenangan.
*CUPLIKAN EPISODE SELANJUTNYA*
"Tunggu aku selesai rapat kita pulang bareng yah..."
Itu kata Raka saat bel istirahat tadi, padahal aku bawa mobil dia bawa motor tapi kenapa pulak mau pulang bareng, terserah lah.
"Mi, gue tahu lo kan yang nyuruh Gaga mutusin gue. Lo itu emang licik." samar-samar aku denger seseorang dari balik pintu kamar mandi.
Reflek, aku memperjelas pendengaranku dengan cara menempelkan tubuhku di dinding samping toilet.