MAAF KARYA INI di REVISI. BARU SAMPAI BAB 6
Mauren adalah seorang putri dari keluarga kaya yang sedang tergila-gila menyukai adik dari seorang CEO berhati dingin dan tampan.
Suatu hari dia sengaja mengikuti adik sang CEO ke suatu night club. Maureen bertemu dengan Sean, sang CEO.
Mereka berdua beradu mulut, karena sang CEO tidak menyukai sikap Maureen kepada adiknya.
"Berhenti!" Maureen menghentikan seorang pelayan yang membawa dua gelas wine. "Kalo kamu bisa menghabiskan segelas wine ini, aku akan pergi dari sini tanpa mengganggu adikmu," tantang Maureen.
"Tapi, Nona. Wine ini milik-"
"Nanti saya ganti!"
Sang pelayan meneguk saliva-nya kasar. Tugasnya mengantarkan minuman yang berisi obat perangsang untuk seseorang gagal total.
Mau tau kelanjutan ceritanya? Yuk mampir dulu di cerita aku. Ini hasil karya original.
"CEO Posesif untuk Putri Agresif"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Riri__awrite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Datang dan Pergi
"Tahu begini, aku tidak akan datang," sungut Devan. Netranya menatap kesal Sean yang sedang memandanginya dari kursi seberang. Coba saja kakaknya tidak menyuruh untuk menemani Maureen malam ini, pasti dia tidak akan bernasib sial.
Lutut pria itu terluka dan berdarah. Dia nekat memanjat gerbang yang menjulang tinggi untuk menghindar dari kejaran anjing yang menurutnya mematikan.
"Gunanya mobil untuk apa?" tanya Sean sinis. Pria itu bisa saja bersembunyi di dalam mobil tanpa harus bermain drama kejar-kejaran dengan anjing kompleks.
Devan hanya bergeming, dia fokus mengobati lukanya sendiri. Sesekali meringis menahan perih saat alkohol menyentuh kulitnya.
"Kunci mobilku jatuh. Tidak ada cara lain selain masuk ke rumahmu dengan paksa."
Jangan lupakan lengan bajunya yang sobek karena tersangkut saat dia akan turun dari ketinggian tiga meter.
"Baju murahan! Begini saja sudah sobek," maki Devan. Seandainya lengan bajunya tidak tersangkut pasti dia akan mendarat dengan mulus. Tidak harus beratraksi di depan gerbang layaknya pembukaan sunatan.
Maureen hanya menatap adik-kakak itu. Miris sekali melihat Devan yang terluka, tapi dia tetap enggan menatap wajah adik iparnya itu.
"Setelah ini kamu langsung pulang." Sean merapikan obat-obatan setelah Devan menutupi luka itu dengan kapas.
"Setidaknya kamu memberikan orang malang ini makanan atau minuman gratis dulu! Masih syok, nih!" protes Devan.
Sean menatap malas pria itu. Ada sedikit rasa bersalah di dalam hatinya, namun langsung dia tepis begitu saja karena egonya yang terlalu tinggi.
"Jika nanti kamu meminta bantuan, aku sungguh akan langsung menolak mentah-mentah. Meskipun kamu mengancam nyawaku." Devan tidak tahan lagi dengan sikap Sean yang terus bodo amat dari tadi.
Devan menurunkan kakinya dari kursi lantas berjalan pincang menuju mobilnya.
"Tunggu. Ini untukmu." Sean menepuk pundak Devan dari belakang dan memberikan pria itu sebuah bakso hangat.
Sebenarnya saat perjalanan pulang tadi Maureen sempat melihat restoran yang menjual bakso. Perubahan hormon ibu hamil membuat dia tiba-tiba mengidamkan daging berbentuk bola itu.
Devan yang sudah terlanjur kesal dengan Sean hanya menatap lempeng bungkusan yang di ulurkan padanya. "Aku tidak butuh makanan sampah ini."
"Harganya seratusan, itu masih diskon karena awal buka resto," ucap Sean.
Devan menatap bakso yang senilai dengan satu lembar uang merah itu. Se enak itu kah? Satu detik kemudian tangannya terulur untuk menerima baksonya.
"Ikan hiu milik bi Asih. Terima kasih." Devan langsung melenggang pergi setelah bakso itu jatuh ke tangannya.
"Ha?" Maureen cengo menatap keduanya. Mengapa adik kakak ini sifatnya beda sekali?
"KAK, CUT VIDEO CCTV-NYA!" Devan berteriak dari luar. Pria itu menyadari kamera yang menyorotnya saat jatuh nyusruk dengan posisi tengkurap nyaris nungging.
"Jatuh secara elegan,"
Devan ingat perkataan satpam penjaga gerbang dari arah toilet sebelum memapahnya masuk ke dalam rumah. Pantas saja waktu itu tidak ada satpam ternyata sedang setor harian.
"Masuk ke kamarmu atau aku akan melahapmu sekarang." Sean mendekat kepada Maureen. Bibir pria itu berada tepat di samping telinga Maureen. Suara beratnya dengan sopan masuk ke dalam indra pendengaran.
"K-kenapa?" Maureen tergagap. Tiba-tiba jantungnya berdetak tidak karuan.
Sean berbisik kembali. "Aku masih mode on karena obat itu."
Wanita itu segera menjauhkan tubuhnya. Benar. Dia pernah membaca obat itu bahkan bisa bertahan hingga enam jam.
"Itu sebabnya kamu mengusir Devan?"
Pertanyaan Maureen langsung dijawab anggukan tegas oleh Sean.
"I-iya." Tidak menghiraukan respon Sean, Maureen langsung lari menuju kamarnya.
"Baksonya ketinggalan, eheheh." Maureen berjalan melewati Sean kembali yang hendak menaiki anak tangga. Pria itu hanya menatap lempeng, namun bibirnya berkedut menahan senyum.
...****************...
"Kamu mau, kan hubungan ini tetap berjalan?"
Dua manusia yang memegang janji untuk saling bersama itu akhirnya mulai muncul perasaan ragu di hati masing-masing.
"JAWAB SEAN!"
Yang dibentak hanya diam. Pikirannya mulai kacau. Memertahankan yang lama atau yang sudah pasti? Sean bingung.
"Jadi, perjuanganku selama bertahun-tahun ini sia-sia, karena kamu sudah mempunyai anak!"
Alice menatap gamang pria itu. Sean sudah membuktikan jika Alice memang tidak penting. Sean sudah membuktikan bahwa sekarang Maureen lah yang dia prioritaskan.
"Kamu berbohong tentang perjodohan ini! Pada faktanya wanita itu hamil di luar nikah. Dia mengandung anakmu! Ini yang kamu maksud komitmen?"
Sean diam membisu. Dia salah. Dia bohong kepada Alice tentang pernikahannya dengan Maureen.
"Mulai hari ini kewarganegaraanku akan pindah ke US. Jika kamu memang mencintaiku tinggalkan dia dan ikut bersamaku."
Pilihan yang mudah ditebak jawabannya. Sean jelas tidak mau pindah negara. Hidupnya ada di sini. Perusahaan, koneksi, dan ... keluarga kecilnya.
Danau yang membentang di hadapan mereka terlihat begitu tenang. Seakan mempunyai telinga mendengarkan perseteruan mereka berdua.
"Diam berarti iya." Alice berdiri dari duduknya. "Kita akhiri hubungan ini." Wanita itu melepaskan cincin yang melingkar manis di jarinya.
"Maafkan aku." Sean menatap manik mata Alice.
Dia tersenyum getir melihat cincin putih dengan permata indah itu dilepas oleh Alice. Seandainya wanita itu tahu, Sean butuh perjuangan untuk mendapatkannya.
Lima tahun yang lalu, cincin itu sempat terbang ke Singapura karena tertukar dengan cincin pelanggan lain. Sean dengan segala kesenangannya harus mendadak terbang ke Negeri Singa itu. Sedangkan acara tunangan tinggal beberapa jam lagi.
"People come and go. Aku benci kalimat itu, tapi akhirnya aku yang mengalaminya sendri," ucap Alice kemudian melangkahkan kakinya pergi jauh dari pandangan Sean.
Semudah itu memutuskan hubungan. Semua memang salahnya, tapi takdir tidak bisa diubah. Jodoh tidak ada yang tahu.
Sean meremat cincin itu. Dia memilih menyimpannya ke dalam saku celana bersama kenangannya.
Pria itu memilih masuk ke dalam mobil. Matanya menatap danau dengan pohon beringin di tepinya. Lagi-lagi pria itu tersenyum getir. Kenangan remajanya dengan Alice saat di bangku SMA dan kuliah melintas di kepalanya. Pohon beringin yang tetap sama menjadi saksi bisu awal kisah cinta mereka di mulai, begitupula kisah cinta mereka diakhiri.
Dering ponsel membuyarkan lamunan Sean. Matanya mengerjap beberapa kali berusaha mengembalikan kesadarannya.
Dahinya mengernyit heran karena layar ponselnya menampilkan nama Maureen.
Tumben?
"Halo-"
"Sean!"
Pria itu spontan menjauhkan benda pipih itu dari telinganya.
"Kamu ada di mana? Tolong cepat ke sini! Darurat!"
Kening Sean berkerut. "Ada apa?"
"Aku sudah sharelock."
"Sebentar-." Sean menatap layar ponselnya. Panggilan tiba-tiba diputus sepihak. Rasa sedih yang tadi singgah di hatinya berganti menjadi rasa khawatir.
...***************...
"Total belanjaannya enam juta tiga ratus ribu rupiah, Kak." Seorang pelayan toko dengan senyum ramahnya menyerahkan kantong belanjaan kepada Maureen.
Sontak Sean yang baru tiba menoleh cepat pada wanita yang berdiri tanpa wajah dosa itu.
"Beli apa saja?" tanya Sean heran seraya mengeluarkan black card-nya. Dia tidak keberatan jika Maureen membeli barang-barang mahal lainnya. Tapi yang membuat Sean heran, kantong belanjaan yang sekarang ditenteng Maureen terlihat kecil.
"Ini, Kak. Mbaknya beli satu paket masker muka dengan alatnya, moisturizer, dan bedak." ucap sang pelayan seraya menyerahkan struk belanja.
Maureen nyengir. "Ehehe, maskerku habis."
Sean sekarang berada di sebuah toko make up. Dia khawatir saat Maureen malah mengatakan dirinya dalam keadaan darurat. Apalagi panggilan tiba-tiba dimatikan sepihak. Nyatanya wanita itu malah keluyuran di toko ini.
"Lain kali diulangi lagi, ya. Berani-beraninya keluar bawa uang sepuluh ribu." Sean menggeleng tak habis pikir.
"Ehehe, tadi aku keluar nyari tukang cendol. Tapi malah ngacir ke sini." Maureen menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Ya sudah, aku kasih satu maskernya. Hitung-hitung amal jariyah supaya dosaku tidak terlalu menumpuk."
Sean menoleh cepat pada wanita itu. Mereka berdua sekarang berada di area parkir. "Tolong korek kuping saya," gumam Sean.
Secara istilah maupun harfiah, di sini yang membuat kebajikan adalah Sean. Dia yang membayar masker itu, jadi siapa yang mendapat dosa dan siapa yang mendapat pahala?
padahal aku udah sayang sama Sean 😭
hajarr aku dukung 😤
aku mampir lagi nih bawa like and subscribe 🤗