Pertemuan jiwa tanpa raga seorang laki-laki berusia 17 tahun dengan gadis SMP yang beranjak lulus.
Rizki Alvaro dan Laisa Faza. Keduanya dipertemukan dalam kondisi yang berbeda. Rizki dengan jiwanya dan hanya Faza yang dapat melihat dan merasakannya.
Lalu, apakah dengan ketidaksempurnaan itu akan menghalangi cinta antara keduanya?
Apa yang akan terjadi dengan keduanya?
Ikutin ya ceritanya 🤩
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Biru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26. Kencan di Lapangan
Di suatu siang yang panas, terdapat sepasang kekasih yang duduk di tengah lapangan, padahal saat itu menunjukkan pukul dua belas tepat. Mereka tepat di bawah mentari. Entah untuk apa mereka duduk di tengah lapangan, yang hanya berisi rumput liar.
Busyetttt, ini lapangan apa gurun sahara, panas banget, gerah. Begitu kira pikir sepasang kekasih ini. Lagian, pacaran kok di tengah lapangan, ada-ada saja tingkah anak muda jaman sekarang!
"Na, jalan yuk! Aku udah ga betah nih, di sini!" kata Devan.
"Lagian, kamu ngajak kok ke lapangan. Ngirit sih boleh, tapi ga gini juga kali," kata Una sambil cemberut.
"Ya udah, makan yuk!" ajak Devan.
"Enggak mau," kata Una dengan manja.
"Kok ga mau, ya udah. Aku tinggal nih, kamu di sini aja, sendirian. Mainan tuh, sama rumput-rumput," kata Devan.
"Ya udah, aku ikut," ucapnya dengan bibir manyun.
"Kok gitu mukanya? Jangan gitu dong, senyumnya mana?" kata Devan. Una tersenyum.
"Gitu dong, itu baru cewe gua," kata Devan.
Devan melingkarkan tangannya ke leher Una, mereka berjalan ke rumah makan kecil di pojok jalan.
"Bang, bakso dua mangkuk," kata Devan memesan.
"Siap!" kata abangnya.
Pesanan datang, Devan mulai makan sedangkan Una hanya memainkan baksonya
"Dimakan dong!" kata Devan.
Una hanya melihat Devan sebentar dan langsung kembali ke aktivitas semula. Devan menghela nafas panjang lalu meletakkan mangkuk baksonya yang belum habis itu.
Dia ngelihatin Una. "Kamu masih mikirin Putra, ya? Kamu jujur sama aku, aku nga papa kalo kamu masih cinta sama Putra. Aku tahu, Putra memang pacar kamu yang paling bisa bikin kamu bahagia, nga kayak aku. Kamu kalo jalan sama Putra mesti banyak ketawa, kalo sama aku pasti banyak manyunnya," kata Devan.
Una ngelihat Devan, dia menarik nafas panjang dan meletakkan mangkuk baksonya.
"Enggak, Van. Kamu salah, sekarang aku udah jadi cewe kamu, jadi nga mungkin dong kalo aku masih cinta sama Putra," kata Una membela diri sambil meraih tangan Devan dan menggenggamnya.
"Kamu jangan coba bohongin perasaan kamu sendiri. Dari awal kita udah buat kesepakatan, kalo kita bakal jujur dengan satu sama lain. Kenapa kamu ga jujur?" tanya Devan.
Una menarik nafas kembali. "Aku ga bisa, kalo aku jujur, berarti aku ga bisa ngertiin perasaan kamu. Iya kan?" kata Una.
Devan melepas genggaman Una lalu tersenyum kemudian memeluk Una dari samping. Una juga tersenyum ke Devan.
"Kita lanjut makan, ya!" kata Devan sambil melepaskan pelukan. Una mengangguk, mereka lanjut makan.
Keesokan harinya setelah pulang dari sekolah, Devan mengajak Una ke taman. Mereka ngobrol-ngobrol berdua, ga tau yang diomongin apa. Tiba-tiba Putra datang, dia minta izin sama Devan selaku pacar Una, buat ngomong bentar sama Una. Devan mengizinkan mereka ngomong. Putra dan Una menjauh dari Devan.
"Lo yakin dengan keputusan yang lo buat?" tanya Putra.
"Gue yakin, gue pasti bisa ngejalanin hidup gue yang sekarang!" kata Una.
"Kalo emang lo udah yakin, beneran yakin, ya udah, gue ga bisa ngalangin lo. Semoga lo bahagia. Gue siap kok, jadi tempat curhat buat lo, seumpama di dalam hubungan lo nanti ada kendala. Gue ga doain yang buruk, tapi gue minta lo hati-hati. Tapi, lo masih mau kan jadi temen gue?" kata Putra.
"Iya. Ya udah, gue balik lagi ya ke Devan, gue ga enak sama dia," kata Una.
"Ok. Gue juga balik kalo gitu," kata Putra. Akhirnya mereka berdua kembali ke alam masing-masing. Gg.
"Kenapa?" tanya Devan.
"Ga kenapa-napa kok" jawab Una dengan senyum. Mereka melanjutkan obrolan mereka, setelah hari mulai sore, mereka pulang. Devan mengantar Una pulang.
...****...
Bel pulang sekolah berbunyi, Una berjalan menuju gerbang, sedangkan Devan lagi nungguin Una di depan gerbang. Saat di perjalanan, Una ga sengaja kepleset dan ditolongin sama Arga, sahabat Devan. Soalnya waktu itu yang ada disekitar Una cuma Arga.
Keesokan harinya saat di sekolah, Devan mendapati sebuah surat tepat di atas meja Una, Devan mengambil dan membaca surat itu. Selesai membaca, Devan langsung marah dan bergegas pergi menuju lantai dua. Dia langsung menarik seorang cowok ke dalam kelas, ga salah lagi, itu pasti Alvin.
Alvin memang sudah lama naksir sama Una, tapi dia ga pernah bisa dapetin Una. Tanpa berpikir lagi, Devan yang cemburu berat langsung nonjok Alvin. Tetapi Alvin tidak diam begitu saja, dia langsung balas menonjok Devan.
Akhirnya aksi mereka berdua terendus oleh guru BP, mereka dibawa ke ruang BP dan di interogasi. Sesampainya di ruang BP, mereka adu mulut, guru BP kebingungan, akhirnya dia nyuruh Devan buat manggilin Una. Devan pun pergi meninggalkan ruang BP dan menghampiri Una yang berada di depan kelas bersama dengan Intan.
"Na, ikut aku yuk!"
"Ke mana?"
"Ke BP!"
"Hahhhhh? Mau ngapain?"
"Udah ikut aja," Devan membentak Una,
akhirnya Una mengikuti Devan ke BP.
Sesampainya di sana, Una disuruh memilih antara Devan sama Alvin. Una milih Devan, setelah itu dia disuruh keluar.
"Nah Alvin, udah jelas kan Una milih siapa?" Bu Rina menatap salah satu muridnya yang tadi saling tonjok.
"Iya, Bu." Alvin menunduk.
"Ya sudah, sekarang kamu kembali ke kelasmu!"
"Baik, Bu. Maaf, permisi."
Alvin meninggal ruang BP, setelah diluar Alvin ketemu Una, dia ngelihatin Una, terus pergi.
"Dan untuk kamu Devan, kamu boleh cemburu tapi jangan sampai berantem, awas jangan diulangi lagi! Ya sudah, kamu bisa pergi!" kata guru BP
Devan keluar dari ruang BP.
"Ayuk balik. Sorry ya, aku tadi bentak kamu," kata Devan
"Ga papa kok, kamu jangan gitu lagi ya, aku takut dan khawatir kalo kamu kenapa-napa," kata Una
"Udahlah, kamu lupain aja. Aku hanya ga mau kehilangan kamu. Aku juga ga ada maksud apa-apa sama Alvin," kata Devan.
"Iya-iya, aku percaya sama kamu. Jadi tolong, kamu jangan berantem," kata Una.
Devan tersenyum dan mengantarkan Una kembali ke kelas.