Aruna pernah memiliki segalanya — cinta, sahabat, dan kehidupan yang ia kira sempurna.
Namun segalanya hancur pada malam ketika Andrian, pria yang ia cintai sepenuh hati, menusukkan pisau ke dadanya… sementara Naya, sahabat yang ia percaya, hanya tersenyum puas di balik pengkhianatan itu.
Kematian seharusnya menjadi akhir. Tapi ketika Aruna membuka mata, ia justru terbangun tiga tahun sebelum kematiannya — di saat semuanya belum terjadi. Dunia yang sama, orang-orang yang sama, tapi kali ini hatinya berbeda.
Ia bersumpah: tidak akan jatuh cinta lagi. Tidak akan mempercayai siapa pun lagi.
Namun takdir mempermainkannya ketika ia diminta menjadi istri seorang pria yang sedang koma — Leo Adikara, pewaris keluarga ternama yang hidupnya menggantung di antara hidup dan mati
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Novia na1806, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 25 -- malam setelah badai
Udara di ruang bawah tanah itu beraroma logam dingin dan antiseptik. Di atas ranjang putih sederhana, Aruna masih terbaring tak sadarkan diri, napasnya teratur tapi berat. Cahaya biru pucat dari lampu di langit-langit menyoroti wajahnya yang tampak lembut dan tenang—kontras dengan dinginnya ruangan.
Di dekatnya, berdiri seorang pria bertopeng hitam dengan corak emas yang menutupi sebelah mata hingga dagu. Hanya satu mata kirinya yang terlihat, tajam, tenang, namun penuh sesuatu yang sulit didefinisikan—antara perhitungan dan rasa.
Leo Adikara.
Ia tidak bicara apa-apa, hanya menatap Aruna lama sekali. Setiap detik keheningan terasa panjang dan berat, seolah waktu berhenti di antara napasnya sendiri.
“Darren,” ucapnya akhirnya.
Suara elektronik menyala dari dinding kaca di belakangnya. “Ya, Tuan?”
“Persiapkan kamar tamu di sayap barat. Pastikan keamanannya. Tak ada kamera, tak ada alat pemantau, dan—” suaranya menurun sedikit, “—tak ada yang boleh menginjakkan kaki ke sana kecuali aku.”
“Segera, Tuan.”
Leo menatap Aruna lagi. “Dia tidak boleh sadar di tempat seperti ini.”
Tangannya terulur, menyentuh pelipis Aruna dengan ujung jari. Sentuhannya ringan, tapi cukup untuk menghapus keringat dingin di kulit wanita itu. Ia menunduk sebentar, seolah ingin mengatakan sesuatu—namun sebelum satu kata pun sempat keluar, suara ledakan kecil mengguncang dinding.
Suara itu datang dari atas.
Leo mendongak cepat. Seketika, ekspresi tenangnya berubah menjadi tajam dan mematikan.
“Darren,” katanya datar namun tegas. “Laporan situasi.”
Suara Darren terdengar dari earpiece. “Tuan—ada penyerangan di lantai utama! Empat orang bersenjata menembus gerbang depan dan taman timur. Sistem keamanan lumpuh sebagian—sabotase internal kemungkinan besar.”
Leo diam sesaat, lalu menatap Aruna sekali lagi. “Kunci ruangan bawah tanah ini. Tak seorang pun boleh menyentuhnya.”
“Tapi Tuan—”
“Laksanakan.”
Suaranya tak meninggi, tapi mengandung kekuatan yang mematikan. Dalam satu langkah panjang, ia berbalik, mantel panjangnya berayun lembut mengikuti gerakan tubuhnya yang tenang namun berisi ancaman.
Pintu logam berat terbuka otomatis, dan Leo melangkah keluar. Begitu pintu tertutup di belakangnya, cahaya biru di ruangan itu kembali sunyi—meninggalkan Aruna yang masih tak sadar.
Lorong menuju permukaan bergetar lembut akibat hentakan dari atas. Sesampainya di aula utama, aroma mesiu langsung menyambut. Lampu kristal besar di tengah ruangan berayun karena gelombang getar dari ledakan berikutnya.
Pecahan kaca berhamburan di lantai marmer. Vas bunga besar di sisi kanan pecah berkeping-keping, sementara potret keluarga Adikara yang tergantung di dinding jatuh miring dengan retakan kaca di tengah wajah Tuan besar keluarga adikara.
Empat pria berseragam hitam dengan emblem Adikara berusaha menahan serangan dari arah taman depan. Tembakan bergema, memantul di dinding tinggi aula.
Leo berjalan dengan langkah tenang di tengah kekacauan itu.
“Tuan, mohon jangan di sini! Area belum aman!” teriak salah satu penjaga sambil menembak ke arah pintu besar yang setengah hancur.
Leo tak menjawab. Ia hanya mengangkat tangannya pelan, dan dari balik mantel hitamnya, senjata kecil hitam matte meluncur keluar dari sarung magnetis di pinggang.
Dua langkah kemudian, suara letusan singkat terdengar. Dua penyerang yang menerobos masuk jatuh bersamaan, tepat di antara alis mereka.
Keheningan sejenak menyelimuti ruangan.
“Perkuat perimeter barat,” ucap Leo tenang. “Dan panggil Darren ke sini. Sekarang.”
Beberapa detik kemudian, Darren muncul dari sisi kanan aula, wajahnya tegang. “Sistem keamanan berhasil saya hidupkan kembali sebagian, Tuan. Tapi—”
“—pengkhianatnya?” potong Leo cepat.
“Kami mendeteksi dua staf lama bagian keamanan yang membuka akses tamu luar tanpa izin.”
Leo menatapnya datar. “Tangkap hidup-hidup.”
“Baik, Tuan.”
Tembakan kembali terdengar dari arah taman belakang. Leo menoleh cepat. “Darren, jaga perimeter dalam. Aku akan urus sisi luar.”
“Tu—Tuan, biarkan tim tempur yang—”
Leo sudah melangkah sebelum Darren sempat menyelesaikan kalimatnya. Langkahnya ringan, tapi penuh tekanan. Tak ada suara dari sepatu kulitnya yang menjejak lantai—seperti bayangan yang hidup.
Taman belakang porak-poranda. Beberapa mobil keamanan terbakar di sisi pagar, dan suara peluru bersahutan di udara.
Tiga orang bersenjata mengenakan pakaian gelap berkamuflase sedang menembaki penjaga yang berlindung di balik tembok rendah.
Namun suasana berubah seketika ketika sosok bertopeng emas itu muncul dari balik asap.
Leo tidak berbicara apa pun. Ia hanya mengangkat pistolnya—gerakan cepat, tenang, efisien. Setiap peluru yang keluar seolah memiliki mata sendiri. Satu demi satu musuh jatuh tanpa sempat menjerit.
Dalam waktu tak sampai satu menit, hanya tersisa satu penyerang yang berusaha kabur melewati semak. Leo melangkah pelan, suara langkahnya nyaris tak terdengar di tanah berpasir.
“Beritahu siapa yang mengirimmu,” katanya datar.
Pria itu terdiam, menatap ketakutan ke arah wajah yang tertutup topeng setengah itu. “A-aku… keluarga A-andersson…”
Sebelum kalimat itu selesai, Leo men*embak tepat ke tanah di dekat kaki pria itu—cukup untuk membuatnya jatuh tersungkur.
“Lain kali, pilih perintahmu dengan lebih cerdas,” ucapnya dingin. “Kau takkan dapat kesempatan kedua.”
Ia menoleh ke arah dua anak buah yang muncul dari sisi kanan. “Bersihkan area. Pastikan tidak ada satu pun yang hidup selain saksi yang kuperintahkan.”
“Siap, Tuan.”
Leo menatap taman itu sekali lagi. Bunga-bunga rusak, tanah tercabik, dan kolam kecil memantulkan bayangan dirinya yang berlumur percikan darah musuh.
Ia mengembuskan napas perlahan, lalu berjalan kembali ke dalam rumah.
Aula utama kini benar-benar seperti medan perang. Beberapa kursi terbalik, dinding berjejak peluru, dan debu tebal mengambang di udara. Salah satu foto besar keluarga Adikara di dinding samping patah menjadi dua, menyisakan separuh wajah Ny. Clarissa yang retak.
“Darren,” suara Leo datar, namun menggema kuat di antara debu.
Darren segera muncul dari balik reruntuhan rak kaca, wajahnya penuh keringat. “Semua penyerang sudah dilumpuhkan, Tuan. Tapi kerusakan cukup parah. Pintu utama, koridor timur, dan ruang makan—”
“Bersihkan semuanya sebelum fajar,” potong Leo cepat. “Tidak boleh ada satu jejak pun yang tersisa.”
“Baik, Tuan.”
Leo berjalan melewati puing-puing itu. Sepatunya menginjak pecahan kaca tanpa ragu, meninggalkan suara renyah yang anehnya terdengar sangat tenang di tengah kekacauan.
Ia berhenti di depan meja besar yang terbalik. Di atasnya, masih ada gelas air yang tergeletak miring—setetes air terakhir jatuh ke lantai, membentuk lingkaran kecil.
Leo menatapnya lama, lalu berkata pelan, “Hapus semua rekaman kamera dua jam terakhir. Gunakan protokol bayangan. Tidak boleh ada yang tahu malam ini terjadi.”
“Dimengerti, Tuan.”
Leo menatap jam di pergelangan tangannya. Jarum menunjuk pukul dua lewat tiga belas menit.
Suaranya turun, nyaris seperti bisikan, “Kita hanya punya waktu kurang dari dua jam.”
Darren menunduk dalam. “Saya akan panggil tim pembersih tambahan.”
Leo mengangguk kecil, lalu berjalan menuju tangga bawah tanah. “Aku akan ke bawah. Pastikan semuanya selesai sebelum aku kembali.”
Ruang bawah tanah itu kini sunyi seperti semula, hanya lampu biru pucat yang bergetar samar di langit-langit.
Aruna masih di posisi yang sama, napasnya stabil namun berat. Namun kini, ada debu halus yang jatuh dari langit-langit—sisa getaran dari ledakan di atas.
Leo mendekat perlahan, menatapnya. Untuk sesaat, matanya yang biasanya tajam berubah lembut.
“Seandainya kau sadar…” gumamnya pelan. “Kau pasti marah karena rumah ini porak-poranda.”
Ia menunduk sedikit, mengangkat tubuh Aruna dengan hati-hati dalam gendongannya. Meski mantel dan sarung tangannya berlumur debu dan noda, ia memastikan tidak satu pun menyentuh kulit wanita itu.
Langkahnya pelan tapi pasti, menapaki tangga yang baru saja hancur sebagian akibat getaran. Setiap langkahnya terdengar berat namun terkendali.
Dua pengawal berseragam hitam yang berjaga di atas segera menunduk dalam ketika melihat siapa yang muncul. Mereka nyaris menahan napas ketika Leo lewat sambil membawa Aruna di pelukannya.
Begitu ia sampai di lantai utama, pemandangan kerusakan tampak jelas: dinding retak, lantai marmer penuh pecahan, tirai koyak, dan lampu gantung utama yang miring.
Darren mendekat cepat. “Tuan, semua sudah dalam penanganan. Tapi… rumah ini butuh perbaikan besar.”
Leo tidak menjawab. Ia hanya berkata pelan, “Pastikan tak ada satu pun pekerja luar yang masuk ke sini. Semua perbaikan dilakukan internal, orang-orang yang benar-benar kita percayai.”
“Baik, Tuan.”
Tanpa menunggu, Leo melangkah ke arah sayap barat. Lorong panjang di sana masih utuh—tenang, sunyi, jauh dari sisa pertempuran. Lampu-lampu otomatis menyala lembut saat langkahnya mendekat.
Pintu terakhir di ujung koridor terbuka otomatis. Kamar tamu luas itu bernuansa putih gading dan krem muda, tenang seperti tidak tersentuh oleh malam kelam di luar sana.
Leo menurunkan Aruna di ranjang besar yang berselimut lembut. Cahaya bulan menembus tirai tipis, jatuh di wajah wanita itu yang damai seolah tidak pernah ada kekacauan di dunia.
Leo berdiri diam di sisi ranjang, memandangi wajah itu lama sekali.
Ia mengangkat tangan, menyibak rambut hitam yang menutupi pipinya. Gerakan kecil, tapi di balik topeng dinginnya, tersimpan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan—perasaan yang terlalu berbahaya untuk diakui.
“Tidurlah…” ucapnya lirih. “Aku pastikan tak ada yang tersisa dari malam ini saat kau bangun.”
Beberapa jam berikutnya berjalan dalam kesunyian. Di luar kamar, para pekerja membersihkan taman dan aula tanpa suara. Bau cairan disinfektan samar menyusup ke udara.
Pukul tiga lewat lima puluh, Darren mengetuk pelan dari luar. “Tuan. Semua area sudah dibersihkan. Tak ada jejak tersisa. Tim cadangan siap berjaga sampai matahari terbit.”
Leo menjawab tanpa menoleh, “Ganti seluruh personel pagi. Tak boleh ada wajah yang sama dua kali dalam satu hari.”
“Dipahami, Tuan.”
Ketika langkah Darren menjauh, kamar kembali tenggelam dalam keheningan.
Leo duduk di kursi di sisi ranjang, menatap Aruna yang masih tertidur dengan tenang. Hanya detak jam di dinding yang terdengar, berdetak pelan menandai sisa waktu sebelum fajar.
Ia bersandar ke kursi, menatap langit-langit. Dalam pantulan cahaya bulan, topeng emasnya berkilau lembut.
Tiba-tiba Aruna bergumam pelan, nyaris seperti bisikan. “Leo…”
Tubuh Leo menegang sesaat. Ia menatapnya lagi — mata Aruna masih terpejam, tapi bibirnya sedikit bergerak.
Leo mengembuskan napas panjang, lalu menunduk sedikit, berbisik, “Aku di sini, Aruna. Selalu.”
Dan malam itu—di antara reruntuhan, darah yang telah dibersihkan, dan dunia yang masih gelap—rumah besar keluarga Adikara kembali sunyi.
Namun bagi Leo, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama… sunyi itu terasa tenang.
Bukan dingin, bukan ancaman—melainkan kelegaan aneh yang hanya muncul ketika ia tahu seseorang yang berharga masih bernapas di bawah penjagaannya.
Dan di luar sana, langit perlahan berubah warna, menandai datangnya fajar.
Udara dini hari membawa aroma besi dan kayu terbakar. Lampu-lampu lorong sudah diredupkan, menyisakan cahaya kekuningan yang jatuh lembut di wajah Aruna yang masih terlelap. Leo berdiri di ambang pintu kamar tamu, diam tanpa suara.
Ia seolah menimbang sesuatu. Jari-jarinya yang dingin menggenggam gagang pintu terlalu lama sebelum akhirnya ia berbalik pergi. Namun langkahnya terhenti lagi di tengah lorong.
Darren muncul dari ujung koridor dengan setelan hitam yang berdebu dan robek di bagian lengan. “Semua sudah diamankan, Tuan,” lapornya pelan. “Tapi ada satu hal yang perlu Anda lihat. Kami menemukan simbol yang sama seperti yang muncul di kasus gudang bulan lalu.”
Mata Leo menyipit. “Simbol?”
Darren mengangguk, menyerahkan potongan logam kecil yang berlumur darah — bentuknya seperti huruf asing yang terukir kasar. Leo menatapnya lama, ekspresinya datar namun bahunya menegang.
“Bersihkan semuanya sebelum Aruna bangun,” ujarnya dingin. “Dia tidak boleh tahu tentang ini. Belum saatnya.”
Darren menunduk. “Baik, Tuan.”
Ia melangkah pergi, meninggalkan Leo yang masih memandangi potongan logam itu di telapak tangannya.
Cahaya lampu temaram memantulkan warna keemasan dari topeng di meja dekatnya — topeng yang baru saja ia lepaskan beberapa jam lalu, topeng yang selalu ia kenakan untuk menyembunyikan identitasnya di setiap misi kelam.
Leo menatapnya sejenak, lalu menyapu pandang ke arah pintu kamar tempat Aruna berada.
“Jika mereka berani datang ke rumah ini,” gumamnya pelan, “berarti seseorang di dalam mulai bergerak terlalu cepat.”
Langit di luar mulai memucat, memberi garis tipis warna jingga di cakrawala. Burung-burung pertama berkicau dari taman belakang, seolah dunia mencoba pura-pura normal kembali. Namun di dalam rumah Adikara, ketenangan itu terasa seperti benang halus yang siap putus kapan saja.
Leo melangkah perlahan kembali ke kamar. Ia berhenti di sisi ranjang, menatap wajah Aruna yang kini tampak lebih tenang.
Tangan kanannya terulur, hampir menyentuh pipi Aruna — namun berhenti tepat sebelum kulitnya menyentuh kulit gadis itu.
“Kalau kau tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi, Aruna…” suaranya nyaris tak terdengar, “…mungkin kau akan membenciku lebih dulu sebelum sempat berterima kasih.”
Ia menegakkan tubuhnya kembali, memasang kembali ekspresi dingin yang menjadi topeng sejatinya. Dalam hitungan menit, semua emosi itu lenyap. Hanya sosok Leo Adikara — pemimpin yang tak tersentuh — yang tersisa.
Ketika ia keluar dari kamar, cahaya matahari pertama menembus kaca jendela besar di ujung lorong, mengenai punggungnya dan membentuk siluet panjang di lantai marmer.
Dan untuk sesaat, seolah ada bayangan lain berjalan di belakangnya — bayangan seseorang yang diam-diam memandangi punggungnya dari dalam kamar, matanya setengah terbuka, bibirnya bergetar lirih memanggil satu nama.
“…Leo.”
Suara itu begitu lembut, hampir tertelan oleh suara angin pagi.
Leo berhenti sejenak, tapi tak menoleh. Ia hanya tersenyum tipis — senyum yang nyaris tak terlihat — sebelum akhirnya berjalan pergi.
Di luar, matahari telah sepenuhnya terbit, menyinari reruntuhan taman dan dinding yang retak. Tapi bagi keluarga Adikara… fajar itu bukan pertanda damai. Melainkan, awal dari badai yang lebih besar.
..kok bisa menggerakkan orang2...