Calon suami Rania direbut oleh adik kandungnya sendiri. Apa Rania akan diam saja dan merelakan calon suaminya? Tentu saja tidak! Rania membalaskan dendamnya dengan cara yang lebih sakit, meski harus merelakan dirinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sweetiemiliky, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 : Pohon cabai dan rindu
Tadi setelah menyelesaikan sarapan, Bumi sengaja tidak langsung pergi ke rumah Anton. Kurang lebih setengah jam Bumi berdiam diri didalam kamar, menenangkan diri dan memastikan penampilannya sudah lebih baik. Ia tidak mau Mina dan Anton curiga saat melihat penampilannya yang buruk.
Mobil hitam yang dikendarai oleh Bumi terparkir dihalaman rumah Anton. Ia mematikan mesin, lalu turun dari mobil dan mengetuk pintu beberapa kali saat sudah berdiri diteras.
"Eh, nak Bumi. Kenapa kemarin tidak pulang? Apakah banyak pekerjaan?"
Tersenyum tipis. "Iya. Kemarin setelah pulang bekerja saya menginap dirumah teman," Bohongnya.
Kepala Mina mengangguk-angguk. Sebenarnya masih penasaran dan ingin bertanya lebih banyak, tapi karena sungkan, Mina malah membahas hal lain.
"Oh iya. Setelah ibu dan ayah membujuk Ambar semalam, dia mau pindah dan ikut bersama nak Bumi. Bahkan baju-baju Ambar sudah ibu kemas, kalian bisa pindah hari ini."
"Kalau begitu, bisa saya dan Ambar langsung pergi saja? Kebetulan rumah yang ingin saya tempati belum dibersihkan."
Alasan tentu saja. Sebetulnya, Bumi hanya tidak ingin Rania melihat keberadaan Ambar dan dirinya lebih lama. Yang pasti, Bumi adalah orang yang paling tidak sanggup melihat kesedihan Rania.
Namun saat sedang menunggu kedatangan Ambar dan Mina, iseng-iseng pandanganya menyapu sekitar guna mengalihkan rasa bosan, justru Bumi malah menemukan sosok Rania yang sedang berjongkok dihalaman samping rumah.
Sepertinya Rania sedang menanam pohon cabai, Bumi ingat Rania pernah bercerita padanya tentang niat menanam pohon cabai agar tidak perlu membeli cabai di pasar lagi katanya.
Mengingat lagi tentang percakapan random mereka waktu itu, tanpa sadar bibir Bumi membentuk sebuah senyuman tipis.
Yang tadinya memiliki niat menghindari Rania, kini malah gerak langkah Bumi mulai mendekati sang empu tanpa dia sadari. Ia turut senang karena Rania mulai membuka diri dan keluar dari kamar.
Tanpa sepatah kata, Bumi langsung berjongkok tepat didepan Rania, perempuan itu langsung mendongak melihat siapa yang berjongkok dihadapannya.
Begitu tahu pelakunya adalah Bumi, Rania sudah bersiap beranjak sebetulnya. Tapi pergerakan Bumi menahan Rania tenyata lebih cepat.
Bumi mengulum bibirnya saat melihat mata bengkak Rania. Nyatanya, dibalik sikap keras Rania, Bumi tidak tahu seberapa banyak air mata yang keluar dari mata indah sang kekasih.
"Jangan pergi, lanjutkan saja apa yang sedang kamu lakukan. Aku tidak akan lama disini, dan aku tidak akan menganggu kenyamanan kamu," Bumi tersenyum tipis saat tidak mendapat balasan.
Tapi meski begitu, Rania kembali melanjutkan gerakannya memindahkan pohon cabai ke pot yang lebih besar dan mengabaikan keberadaan Bumi.
"Apa kau serius tentang tidak ingin membeli cabai lagi di pasar?"
Tidak ada jawaban yang terdengar meski Bumi yakin kalau sebenarnya rania mendengar jelas semua ucapannya. Apakah Bumi akan menyerah sampai sini? Tentu saja tidak. Ia kembali bersuara tak lama kemudian.
''Ternyata kamu pintar menanam cabai. Aku rasa semua pohon cabai yang kamu tanam akan berbuah banyak, aku akan mencurinya nanti saat akan membuat mie rebus,'' Jeda sejenak karena Bumi kembali melempar senyuman. ''Kamu harus—,''
Belah bibir Bumi spontan terkatup rapat saat tiba-tiba Rania menoleh ke arahnya disertai decakan dengan raut wajah datar. Bumi tahu kalimat apa yang akan dia dengar setelah ini.
''Kamu terlalu banyak bicara dan sangat menganggu.''
Kan, benar dugaan Bumi. Dulu juga saat mereka terlibat perselisihan dan Rania sedang marah, pasti kalimat itu akan Bumi dengar. Hanya saja nada bicara Rania tidak setajam sekarang, masih diselingi candaan yang berakhir membuat mereka tertawa.
''Aku hanya ingin mengobrol denganmu sebentar saja—,''
''Tapi aku tidak mau!'' Suara Rania sedikit tertahan, ia bisa saja berteriak karena menahan rasa kesal. Dadanya naik turun seperti orang yang baru saja berlari, padahal, Rania hanya berucap beberapa kata saja.
''Aku tidak akan menganggu, aku hanya ingin mengobrol ringan saja. Aku ... Hanya rindu padamu.''
Rania mengabaikan tiga kalimat terakhir. ''Kamu bilang tidak menganggu, tapi melihatmu saja aku sudah merasa terganggu.''
''Aku minta maaf.''
Mendengar kalimat tersebut, tanpa sadar Rania menghentikan pergerakannya. Entah sudah berapa kali Rania mendengar kalimat yang sama dari Bumi. Pandangannya bergulir ke sembarang arah dan mulai termenung. Tak lama, suara Bumi kembali terdengar melanjutkan kalimatnya.
''Aku benar-benar menyesal, Ra. Jika saja waktu itu aku menuruti apa yang kamu katakan, sudah pasti semua tidak akan terjadi. Jika ditanya apa aku masih mencintai kamu atau tidak, tentu saja jawabannya masih, dan aku rasa akan tetap seperti itu. Selamanya.''
Omong kosong! Batin Rania menjerit dalam hati. Kalau benar Bumi masih mencintai dirinya, tidak mungkin Bumi lebih memilih Ambar dan bayinya. Bumi pasti akan memilih melenyapkan bayi itu dan kembali padanya.
Tapi kenyatannya apa? Bumi memilih untuk meninggalkannya dan mempertahankan bayi itu. Semua yang dikatakan oleh Bumi hanya omong kosong dan kebohongan semata. Pasti mereka sudah lama berselingkuh.
''Aku tidak berbohong padamu, aku serius. Jika kamu masih meragukan aku karena aku mempertahankan bayi itu, aku tidak tahu harus menjelaskan bagaimana lagi.''
Rania tertawa hambar sambil melanjutkan lagi kegiatannya yang sempat tertunda. ''Tentu saja kamu tidak akan bisa memberikan alasan tentang hal itu,'' Mengangkat wajah guna memandang Bumi, mata mereka bertemu dan saling melempar pandangan. ''Karena alasan yang sebenarnya adalah kamu memang menyukai adikku sendiri. Iya, 'kan?''
Kepala Bumi menggeleng lirih. Ingin menyangkal jika semua itu tidak benar, tapi mulutnya seperti dikunci rapat dan berakhir tidak mengatakan apapun sebagai sangkalan.
Hanya mendapatkan respon seperti itu, Rania kembali merasakan kecewa. Lagi dan lagi Bumi tidak berusaha membela dirinya sendiri. Yang mana Rania menyimpulkan bahwa semua dugaannya adakah benar.
Merasa muak, Rania melempar sekop kecil ditangannya, lalu berdiri. Dengan tergesa-gesa Rania melepaskan sarung tangan di ke-dua tangannya dan dibuang ke sembarang arah.
Melihat hal itu, spontan Bumi mengikuti pergerakan Rania.
''Rania,'' Bumi mencoba meraih salah satu tangan Rania saat perempuan itu hendak bergerak pergi. Namun hasilnya sia-sia karena Rania mampu menepis tangannya dan berhasil menjauhi Bumi.
Bumi yang ditinggalkan pun menghela napas pasrah. Tak lama, ia mengusak kasar rambutnya disertai erangan frustasi.
''Nak Bumi? Ada apa?''
Bumi menoleh ke arah teras, ternyata, disana sudah ada Mina dan Ambar. Lantas Bumi membawa langkahnya mendekat.
''Tidak apa-apa, bu,'' Memperhatikan dua koper yang ada di ke-dua sisi Mina. Sudah bisa ditebak pasti itu milik Ambar. ''Hanya membawa dua koper saja?''
Mina menoleh ke arah putri bungsunya sekilas. ''Iya. Kata Ambar, dia tidak ingin semua bajunya dibawa agar ada baju ganti jika akan menginap disini.''
Atas penjelasan Mina, Bumi respon dengan anggukan. Tanpa kata ia mengambil alih dua koper disisi Mina untuk dipindahkan ke bagasi terlebih dahulu. Hanya membutuhkan waktu singkat untuk Bumi berjalan ke teras lagi.
''Kamu harus bersikap baik pada Bumi, layani dia dengan baik karena dia adalah suamimu sekarang. Belajar menjadi orang yang mandiri.''
Entah kenapa mendengar kalimat tersebut, Bumi merasa seperti ada yang meremas dadanya sampai terasa sesak. Bumi berdehem singkat untuk menghilangkan perasaan tersebut. Tidak enak juga karena masih ada Mina disini.
Dalam pelukan sang ibu, kepala Ambar mengangguk-angguk. Kali ini ia tidak berbohong, rasanya sangat sedih karena akan berpisah dengan ibu dan tinggal ditempat baru.
Membayangkan saja mampu membuat tangis Ambar semakin keras terdengar. Berakhir Mina ikut menangis dibuatnya.
Mengurai pelukannya pada Ambar. ''Sudah, jangan menangis. Rumah yang akan kamu tinggali, 'kan, tidak terlalu jauh dari sini. Ibu masih bisa menjangkaunya dengan cara naik ojek.''
Ambar mengangguk dan kembali memeluk Mina sekilas.''Aku pamit, tolong sampaikan pada ayah juga.''
''Tentu. Jangan khawatir.''
Bumi bergerak mendekati Mina, lalu menyalami tangannya. ''Kalau begitu, saya ijin membawa putri ibu untuk tinggal dirumah yang sudah saya sediakan. Jika ibu merindukan Ambar, ibu bisa datang kapan saja karena pintu rumah akan selalu terbuka untuk ibu dan ayah. Dan sampaikan salam saya kepada ayah mertua''
Mina mengangguk penuh haru. Meskipun pernikahan mereka didasari oleh keterpaksaan, tapi Bumi masih mau bertanggung jawab penuh kepada Ambar, tidak hanya kepada bayinya saja.
Setelah selesai berpamitan, Ambar dan Bumi berjalan beriringan menuju mobil. Bumi mengantar Ambar sampai pintu kursi penumpang, lalu membantu membuka pintu.
Dirasa Ambar sudah duduk dengan nyaman, pintu mobil ditutup dengan perlahan. Tapi setelah pintu mobil tertutup, Bumi tidak langsung berjalan memutar menuju pintu kursi kemudi. Entah apa yang membuat kaki Bumi terkunci, berdiam diri cukup lama sambil menatap bangunan sederhana didepan sana.
Rumah penuh kenangan, mungkin? Bangunan sederhana tersebut menjadi saksi perjuangan Bumi mempertahankan hubungannya dengan Rania. Selama bertahun-tahun, dari tidak ada restu sampai mendapatkan restu. Meski sekarang semua usahanya menjadi sia-sia karena ulahnya sendiri.
Tanpa sadar setetes likuid bening mengalir melewati pipi. Spontan Bumi langsung mengusapnya sebelum ia melangkah melewati bagian depan mobil dan masuk diposisi kursi kemudi.
Tanpa diketahui oleh siapapun, sepasang mata indah milik Rania mengamati semuanya sejak tadi, dari balik pohon besar yang terletak disamping rumah. Tempatnya tidak jauh dari posisi ia mengobrol dengan Bumi.
Setelah mobil hitam milik Bumi bergerak menjauh, baru lah Rania berani muncul dari balik pohon. Lagi-lagi sepasang mata indah favorit Bumi berlinang air mata. Terus menangisi hal yang sama setiap harinya.
hobi merampas yg bukan milikmu....
tunggulah azab atas smua kbusukanmu ambar...
tak kn prnah bahagia hidupmu yg sll dlm kcurangan...
👍👍
tpi.... ank yg tak di anggp justru kelak yg sll ada untuk org tuanya di bandingkn ank ksayangan....