Istana Nagari, begitulah orang-orang menyebutnya. Sebuah bangunan megah berdiri kokoh di atas perbukitan di desa Munding. Tempat tinggal seorang juragan muda yang kaya raya dan tampan rupawan. Terkenal kejam dan tidak berperasaan.
Nataprawira, juragan Nata begitu masyarakat setempat memanggilnya. Tokoh terhormat yang mereka jadikan sebagai pemimpin desa. Memiliki tiga orang istri cantik jelita yang selalu siap melayaninya.
Kabar yang beredar juragan hanya mencintai istri pertamanya yang lain hanyalah pajangan. Hanya istri pertama juragan yang memiliki anak.
Lalu, di panen ke seratus ladang padinya, juragan Nata menikahi seorang gadis belia. Wulan, seorang gadis yang dijadikan tebusan hutang oleh sang ayah. Memasuki istana sang juragan sebagai istri keempat, mengundang kebencian di dalam diri ketiga istri juragan.
Wulan tidak perlu bersaing untuk mendapatkan cinta sang juragan. Dia hanya ingin hidup damai di dalam istana itu.
Bagaimana Wulan akan menjalani kehidupan di istana itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
"Kenapa sampai siang begini Misnah belum juga kembali menghadap saya?" Ratih bergumam sembari memijit pelipisnya yang terasa pening.
Di sisinya ada empat pelayan dengan pekerjaan masing-masing. Mereka saling menatap satu sama lain, tak tahu ke mana perginya Misnah setelah diminta Ratih untuk pergi ke kediaman Wulan.
"Nyai! Nyai! Kabar buruk!" Seorang abdi laki-laki yang bertugas berjaga di kediaman Ratih datang dengan tergesa.
Ia berlari dengan wajah pucat, kepanikan jelas terlihat di setiap gerakan tubuhnya.
"Ada apa?" Ratih beranjak duduk, membuka mata ingin tahu kabar buruk yang dibawanya.
"Nyai, Misnah, Nyai!" katanya terbata-bata dan napas tersengal.
"Katakan, apa yang terjadi pada Misnah?" sentak Ratih kesal, kedua tangannya meremas bangku kayu yang menjadi tempatnya beristirahat santai.
"Anu, Nyai ... Misnah ... dia dihukum juragan dan sekarang dikurung di gudang belakang. Juragan tidak mengizinkan siapapun mendatanginya apalagi melepaskannya, Nyai," ucap pelayan laki-laki itu dengan kepala tertunduk.
Peluh bercucuran di wajahnya, cemas akan nasib diri karena membawa berita buruk untuk Ratih. Mengganggu ketenangan hati wanita itu sama saja dengan mencari masalah dan meminta hukuman. Namun, jika tidak ada yang melapor, maka semua pelayan di kediamannya akan dihukum. Terlebih, Misnah adalah pelayan pribadi Ratih sendiri.
"Kurang ajar!" Ratih berdiri spontan, membuat semua pelayan yang ada di sana berlutut dengan kepala tertunduk.
"Beraninya dia menyuruh juragan menghukum abdi setia saya? Tidak tahukah juragan bahwa dia adalah pelayan di sisi saya?" geram Ratih seraya beranjak dari ruang istirahatnya.
Ia akan pergi ke gudang belakang untuk membebaskan Misnah. Tanpa diminta para abdi di sisinya segera mengekor di belakang. Mengikuti langkah Ratih yang cepat dan tergesa. Ia tak menyangka juragan bahkan tidak mempertimbangkan wajahnya.
Sudah sepuluh tahun lebih, kamu masih saja dingin terhadap saya. Bahkan, sampai saya berhasil melahirkan seorang putri untuk kamu. Tetap kamu tidak pernah melihat saya, tapi Wulan ... dia baru sehari di istana ini, sudah berhasil mencuri perhatian kamu, Nata. Aku tidak terima, aku tidak akan tinggal diam!
Kecam Ratih di dalam hati, tangannya mengepal kuat dan rahang ikut mengeras. Tatapan matanya tajam menghujam, menghantarkan hawa dingin menusuk ke setiap tulang pelayan yang ia temui.
"Ada apa dengan Nyai Ratih? Dia terlihat marah?" bisik salah satu pelayan saat Ratih sudah menjauh.
"Kamu tidak dengar? Misnah, pelayan yang sombong itu dihukum juragan. Tadi pagi dia dicambuk di gudang belakang dan sekarang dikurung di sana. Tidak boleh keluar dan tidak ada yang boleh mendatanginya," balas rekannya dengan berbisik pula.
"Oh, memangnya apa yang dilakukan Misnah sampai juragan marah seperti itu?"
"Katanya dia mengganggu majikan baru, nyai Wulan. Bahkan, nyai Ningsih dan nyai Lastri pun kena hukuman juragan. Sebaiknya kita jangan sampai mengganggu nyai Wulan," bisik pelayan lain sembari bergidik ngeri.
Mereka melanjutkan bergosip perihal juragan dan ketiga istrinya yang dahulu. Juga tentang istri keempat juragan yang baru sehari tinggal sudah membuat keributan besar.
Lastri yang tak sengaja menguping mengepalkan tangannya kesal. Wulan benar-benar membuat masalah untuknya.
"Lihat saja kamu, Wulan. Sampai kapan kamu akan tertawa seperti itu? Aku pasti akan membuatmu menangis kesakitan," kecamnya. Senyum jahat muncul di bibirnya, hati Lastri sama busuknya seperti Ratih.
Ia pergi meninggalkan lorong tersebut dan kembali ke kediaman. Berpikir keras bagaimana caranya mendapatkan uang untuk menutupi kebutuhan selama masa hukuman berlaku.
Sementara Ratih terus berjalan di lorong yang menuju belakang istana. Jauh di belakang sana, berdiri bangunan usang yang digunakan untuk menghukum orang-orang yang melanggar aturan. Dijaga ketat oleh orang-orang juragan sendiri, dan tidak ada siapapun yang bisa masuk tanpa izin juragan.
Sret!
Kedua penjaga yang memegang golok besar di tangan mereka menutup jalan Ratih yang hendak memasuki gudang.
"Lancang kalian! Kalian tidak lihat siapa saya?" bentak Ratih geram, matanya merah menyala, melotot pada keduanya.
"Maafkan kami, Nyai, tapi juragan melarang siapapun untuk datang ke tempat ini apalagi membebaskan tahanan di dalam," ucap salah satu penjaga tanpa menatapnya.
"Kurang ajar! Yang kalian kurung adalah pelayan di sisi saya. Cepat lepaskan!" Ratih semakin geram. Ingin melawan, tapi dia tahu bukan lawan mereka berdua.
"Silahkan kembali, Nyai. Bagaimanapun Anda memohon, kami tidak akan melepaskan tahanan itu kecuali juragan sendiri yang menyuruh kami!" tegas mereka tak tergoyahkan.
Ratih terdiam, memikirkan cara lain untuk bisa melepaskan Misnah dari kurungan. Ia mengeluarkan beberapa lembar uang kertas dan menyodorkannya kepada mereka.
"Maafkan kami, Nyai. Uang itu tidak sepadan dengan perintah dari juragan. Sebaiknya Anda simpan saja baik-baik," kata mereka dengan tegas.
"Sial!" Ratih meradang, memukul mereka dengan tangannya yang kecil.
Jangankan merasa sakit, bergerak saja kedua laki-laki itu tidak sama sekali. Ratih mendengus, berbalik dan pergi dengan kesal. Para abdi juragan memang tidak bisa diremehkan, kesetiaan mereka sudah mendarah daging.
Awas kamu, Wulan! Semua ini karena kamu!
giliran bs hidup enak ingin ikutan, ngapain dl kalian siksa