Cewek naif itu sudah mati!
Pernah mencintai orang yang salah? Nainara tahu betul rasanya.
Kematian membuka matanya, cinta bisa berwajah iblis.
Namun takdir memberinya kesempatan kedua, kembali ke sepuluh tahun lalu.
Kali ini, ia tak akan menjadi gadis polos lagi. Ia akan menjadi Naina yang kuat, cerdas, dan mampu menulis ulang akhir hidupnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HaluBerkarya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34.
Di sebuah rumah yang tak terlalu besar, namun cukup megah untuk disebut sederhana, seorang pria paruh baya duduk di balik meja kerjanya. Lampu gantung di atas kepala berayun perlahan, menebar cahaya kekuningan yang memantul di permukaan meja kaca. Dua wanita duduk tak jauh dari sana, yang satu berusia muda dengan raut tegang, dan yang lain tampak lebih dewasa, matanya penuh kecemasan yang berusaha disembunyikan di balik tatapan datar.
Malam yang seharusnya tenang berubah jadi ruang pengap yang menahan napas. Udara di ruangan itu berat, seolah amarah sang pria menekan dinding-dinding hingga bergetar halus.
“Dasar tidak berguna! Kerja seperti ini saja kamu tidak becus!” bentaknya lantang. Suaranya memecah kesunyian, menggema di antara deretan rak buku yang berdebu.
Laki-laki di depannya menunduk dalam, kedua tangannya mengepal di sisi paha. Tatapannya jatuh ke lantai marmer, menahan gemetar.
“Tunggu waktu yang tepat, katamu. Lantas bukankah malam ini seharusnya waktu yang tepat?!” Suara pria itu meninggi, meja di depannya terguncang keras saat didorong hingga nyaris terbalik. Ia berdiri, langkah kakinya berat, lalu—
Bugh!
Tinju keras mendarat di perut lawan bicaranya. Tubuh laki-laki itu terhuyung, napasnya patah-patah menahan sakit.
“Ke mana kalimat penuh percaya diri kamu selama ini, hah?! Ke mana!?” suaranya bergema lagi, seperti cambuk yang menghantam udara.
“Maaf, Pak…” desis laki-laki itu lirih. “Saya nyaris berhasil, tapi dari arah berlawanan tiba-tiba ada seseorang yang membawa gadis itu lebih dulu…”
“Aaron!” teriak pria itu geram. “Pekerjaan sekecil itu saja kau tak bisa! Sialan, balikkan semua uang saya, termasuk yang sudah kamu pakai!”
Aaron seketika berlutut di hadapan pria itu, penuh permohonan. “Pak, tolong jangan bilang begitu. Aaron nggak punya uang sama sekali. Tolong… Aaron janji besok bisa bawa Naina, janji,” suaranya gemetar.
Pria itu tetap diam. Tatapannya bergeser tajam ke dua wanita yang duduk, yang kini menunduk seolah tahu giliran mereka akan dimaki.
“Gia…” desisnya, tangan terkepal keras.
“Kamu juga. Bukankah Papa suruh kamu dekati anak itu? Kenapa segitu saja tidak bisa? Dulu kamu cerita Nathan suka sama kamu, kan?” suaranya meninggi.
“I… iya, Pa. Nathan suka kok sama Gia. Tapi—” Gia terbata, suaranya kecil dan ragu.
“Tapi apa? Jangan kasih alasan sama seperti Aaron. Mustahil dua orang berubah dan sadar di saat yang sama,” teriak pria itu, suaranya menggaung di ruangan.
Hening. Hanya deru napas yang terdengar, atmosfer dalam ruangan itu mencengkram. Udara seakan berhenti di antara mereka.
Napas pria itu memburu, bahunya naik turun sebelum tubuhnya kembali ia bawa ke kursi.
“Aku tidak mau tahu. Bagaimanapun caranya, aku ingin salah satu dari orang tersayang pria sialan itu harus berhasil kita culik!”
“Culik siapa? Di mana putri saya? Naina… kamu di mana, sayang?”
Kalimat pria itu tertahan ketika dari luar terdengar suara ribut, suara yang memanggil nama yang baru saja disebut.
Brak!
Pintu ruangan terbuka kasar. Papi Jordan berjalan paling depan dengan langkah besar dan tatapan menyala, penuh amarah dan ancaman.
Di belakangnya, Mami Audrey menyusul, wajahnya tegang, sementara Zora dan Nathan ikut berdiri di ambang pintu bersama Pak Agi dan dua asisten lain.
“Di mana? Di mana putri saya?” suara Papi Jordan menggelegar, memenuhi ruangan.
“Hahahaha, kalian datang terlalu cepat, Jordan…”
...----------------...
Tawa menggema di sudut ruangan. Raymond, pria yang sejak tadi duduk di kursi, menegakkan tubuhnya. Tawanya keras dan serak, mencoba menutupi rasa kaget yang sempat merayapi wajahnya.
“Sialan, Raymond!” Papi Jordan tak kuasa menahan emosi. Ia melangkah cepat, menarik kerah jas Raymond, siap menghantam tinjunya ke wajah lawan.
“Coba saja,” Raymond berbisik sinis, bibirnya menekuk ke arah senyum miring yang memancing amarah, “nyawa putrimu ada di tangan saya, kalau kamu lupa, Jordan…”
Kata-katanya menancap dingin. Ia tahu benar di mana titik lemah pria itu—orang-orang yang ia cintai.
“Di mana putri saya?! Di mana?!” teriak Jordan, rahangnya menegang, tangan masih mencengkeram jas musuhnya.
“Ohhh… itu,” Raymond menatapnya dengan sorot mengejek, “kasih tahu nggak ya.”
Nada santainya menampar udara tegang di ruangan itu.
Sementara Mami Audrey, Nathan, dan Zora berdiri terpaku. Pandangan mereka beralih ke tiga orang yang duduk di sofa—wajah-wajah yang mereka kenal terlalu baik.
Nathan menatap tak percaya. Tubuhnya gemetar, antara marah dan terluka.
“Bibi Jema…” suaranya parau, “jangan bilang bibi… sumpah, Bi, Nathan nggak nyangka pernah hidup dengan orang sejahat ini.”
Bibi Jema mendongak perlahan. Sebuah senyum tipis, getir, menapak di wajah tuanya.
“Tidak sangka Bibi jahat? Bukankah kalian yang jahat dulu?” katanya dengan nada berat.
“Kalian memecat Bibi hanya karena kesalahan kecil, tanpa melihat bagaimana Bibi berjuang selama ini. Saat kalian ditinggal keluar negeri oleh ayah dan ibu, siapa yang rawat kalian? Siapa yang jaga kalian? Bibi!”
Nadanya meninggi seiring getaran emosinya. “Lalu dengan mudahnya kalian buang Bibi begitu saja? Kalian pikir Bibi terima?” Rasa sakit yang lama dipendam itu mengalir deras bersama setiap kata.
Beberapa bulan setelah dipecat oleh Naina, amarah dan dendam yang tak tersalurkan membuat Bibi Jema kembali menjalin hubungan dengan pria dari masa lalunya—Raymond Adam, yang kebetulan punya dendam yang sama terhadap keluarga Evander.
Plak!
“Kamu pantas dipecat, kamu iblis!” pekik Mami Audrey yang tidak bisa menahan rasa marah yang sejak tadi bergejolak di hatinya.
Tangan lembut wanita itu bergetar setelah tamparan mendarat di pipi lawan bicaranya. Napasnya naik turun, dada terasa sesak. Untuk pertama kalinya, ia menampar seseorang yang dulu begitu ia hormati—seseorang yang pernah dianggap penting dalam kehidupan kedua anaknya.
Namun dua bulan terakhir mengubah segalanya. Wanita karier itu meluangkan waktu untuk mendengar langsung cerita dari kedua anaknya, cerita yang membuka matanya tentang bagaimana tabiat Bibi Jema selama mereka tinggal di luar negeri.
Aaron hanya menatap, tubuhnya gemetar. Tak ada yang lucu di wajahnya. Ia ketakutan. Tidak terpikir olehnya rencana penculikan yang belum sempat terlaksana malam itu, malah cepat terendus oleh keluarga Nainara.
“Nara… sayang…” Mami Audrey dan Zora segera menyusuri ruangan. Amarah mereka lenyap seketika diganti panik. Mereka memilih mencari, bukan meladeni pertengkaran lagi.
“Cari saja terus. Sampai besok, lusa, atau kapan pun, kalian tidak akan lagi bertemu dengan putri kalian itu!” Raymond mendesis, suaranya datar sambil menahan sakit saat Papi Jordan mencekik lehernya dengan dasi yang ia kenakan.
“Kau kira aku takut? Aku akan buat kau mati sekarang jika perlu!” hardik Papi Jordan, nadanya dalam dan menekan.
“Lakukan saja. Aku tidak takut ancamanmu. Yang jelas, kalau aku mati, kau tidak akan pernah tahu di mana putrimu berada!” Raymond membalas dengan senyum mengejek, matanya menantang.
Bugh! Bugh! Bugh!
Suara pukulan terdengar teratur, kasar, memenuhi ruang. Tubuh Raymond babak belur akibat hantaman beruntun yang Papi Jordan layangkan.
“Bawa mereka ke markas!” titah Papi Jordan kepada dua asistennya dan Pak Agi. Setelah itu ia menyusul Mami Audrey, Zora, dan Nathan keluar, terburu mencari Nainara.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...