NovelToon NovelToon
Gara-Gara COD Cek Dulu

Gara-Gara COD Cek Dulu

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Cinta pada Pandangan Pertama / Wanita Karir / Romansa / Trauma masa lalu
Popularitas:973
Nilai: 5
Nama Author: Basarili Kadin

Berawal dari pembelian paket COD cek dulu, Imel seorang guru honorer bertemu dengan kurir yang bernama Alva.
Setiap kali pesan, kurir yang mengantar paketnya selalu Alva bukan yang lain, hari demi hari berlalu Imel selalu kebingungan dalam mengambil langkah ditambah tetangga mulai berisik di telinga Imel karena seringnya pesan paket dan sang kurir yang selalu disuruh masuk dulu ke kosan karena permintaan Imel. Namun, tetangga menyangka lain.

Lalu bagaimana perjalanan kisah Imel dan Alva?
Berlanjut sampai dekat dan menikah atau hanya sebatas pelanggan dan pengantar?

Hi hi, ikuti aja kisahnya biar ga penasaran.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Basarili Kadin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tentang Gian

Jam setengah dua belas malam, saat aku sudah selesai telponan dengan Alva, Gian kembali mengirim pesan padaku.

"Ibu, kenapa tidak balas pesan saya?" tanya dia.

Aku membukanya dan aku membalasnya karena Alva pun sudah tidak online, lagi pula aku menyuruh dia untuk tidur, sedangkan aku masih bersama dengan isi pikiranku.

"Bukan apa-apa, tadi hujannya gede banget jadi takut untuk pegang HP." Alasanku padanya.

"Kenapa, ibu takut hujan?"

"Iya," balasku singkat.

"Bu," balasnya lagi membuat aku deg degan.

"Iya, apa?"

"Ibu jujur sama saya, berapa umur ibu?"

"Kan ibu sudah bilang, saya 27 tahun."

"Ibu awet muda tidak seperti perempuan yang lain."

Dalam batin, ini anak kenapa? Masa iya mau menggombal perempuan dewasa sepertiku.

"Kamu seharusnya tidur, bukan malah nge-chat guru jam segini."

"Maaf, saya melihat yang berbeda dari ibu."

"Ibu jujur sama saya, kalau yang suka sama ibu itu banyak kan? Tapi tidak ada satu pun dari mereka yang menikahi ibu." Dua pesan darinya membuatku menggaruk tak gatal.

Ini murid kok aneh banget gitu, bisa-bisanya dia berbicara seperti itu. Ini aneh dan benar-benar aneh. Dia ini manusia apa bukan sih? Tatapannya aja dingin dan fokus pada satu titik. Jika yang dituju adalah mataku, maka dia tidak menatap ke arah lain kecuali mataku.

"Maksud kamu ini apa sih?" tanyaku.

"Ibu tinggal jawab aja, Bu. Saya gak kenapa-napa."

"Iya, jawabannya adalah iya. Kenapa?" tanyaku lagi itung-itung melupakan beban sementara, meskipun tadi sudah ngobrol sama Alva tapi sesudahnya tetap aku ingat ke hal lain lagi.

"Sudah kuduga," jawabnya.

Dia seakan-akan mirip peramal, tapi lebih ke peramal jadi-jadian mungkin.

"Kamu meramal saya maksudnya?" tanyaku.

"Engga, saya cuma menebak aja. Namun, memang kelihatannya seperti itu, karena tidak mungkin perempuan seperti ibu tidak ada yang mau."

"Kata siapa? Bisa jadi memang tidak ada yang mau."

"Tidak mungkin, saya melihat apa yang tidak bisa orang lain lihat. Ibu banyak tekanan dan beban, ibu bukan tidak punya hati, tetapi ibu berhati-hati."

Deg, apa ini maksudnya, kenapa anak ini bisa berbicara seperti ini?

"Kamu lebih baik tidur saja," titahku padanya.

"Selagi ibu belum tidur, saya tidak akan tidur. Jangan berbohong sama saya, Bu."

"Tapi kamu ini siapa?" tanyaku membalas, karena ini terlalu membuatku geram dan penasaran.

"Selagi ibu masih di sekolah ini, ibu akan tahu siapa saya. Mungkin ibu yang akan tahu lebih tentang saya karena mereka pun tidak tahu siapa saya." Pesan ini berulang kali kubaca untuk memahaminya, tetapi tetap saja tidak ada jawaban, ini tetap saja memberi teka-teki.

"Kamu asli kelas sepuluh?" tanyaku heran karena bahasanya tidak mencerminkan bahwa baru lulus SMP.

"Lihat saja dulu apa yang ibu lihat, selebihnya ibu akan tahu sendiri," balasnya.

Aku pikir dia akan menggombal kepadaku tetapi ternyata tidak, tetapi ini seperti orang yang membuatku penasaran ingin mengenalnya. Tapi, ini anak muda bukan seumuranku apalagi di atasku. Dia diajar olehku bukan aku yang diajar olehnya. Namun, dia seperti mengetahui banyak hal yang tidak aku tahu, apa mungkin dia indigo? Ah masa iya sih jaman sekarang ada yang seperti itu.

"Ibu jangan banyak mikirin saya, nanti juga ibu tahu sendiri. Ibu sedang banyak pikiran saat ini, jangan terlalu dibebani, lepaskan apa yang tidak seharusnya ibu pikirkan. Istirahat dan tidurlah, Bu. Aku berharap aku bisa selalu melihat ibu Imel setiap hari dengan wajah yang ceria, penuh dengan tawa, tanpa banyak beban.

Selamat beristirahat, Bu." Balasnya dan ini adalah pesan yang terakhir kubaca.

Gian, kamu aneh tapi kamu membuatku penasaran, sejauh-jauhnya umur kamu dengan teman-temanmu, tidak sejauh jarak umurku denganmu, hatiku membatin. Kata-kata Gian seperti tahu semua yang ada di dalam pikiranku, entah dia benar hanya menebak atau dia memang tahu tentang sesuatu yang tidak semua orang bisa lihat.

Entah harus senang atau risih karena ada murid yang memperhatikan, sedangkan di sisi lain aku benar-benar berbicara pedas terhadap semua orang yang mencoba mendekatiku karena aku takut salah langkah.

Jangan salah, aku merespons Alva bukan karena aku pun jatuh hati dan tergoda. Jujur saja aku mudah nyaman, tetapi tidak jika untuk jatuh cinta, oleh karena itu banyak hal yang mungkin tidak laki-laki sukai dari apa yang aku ucapkan, tetapi entah mengapa Alva seperti menerima tantangan saat aku mengatakan sesuatu yang menjengkelkan dan Pak Ardi pun dia masih tetap ramah setelah aku ketus dan marah-marah kepadanya. Kenapa dua orang ini membuat hatiku tidak nyaman karena tingkahku, tetapi di sisi lain aku senang meski aku juga bimbang.

Kenapa? Karena salah satu dari mereka ada yang sama sepertiku dan ada yang berbeda yaitu hanya kurir? Iya kurir, bukan mau menghina pekerjaan tapi ah sudahlah nanti juga akan tahu alasannya apa.

Tapi kenapa Alva harus jadi seorang Kurir, kenapa tidak seorang Presdir gitu atau CEO gitu atau Abdi negara seperti PNS gitu. Rasanya pengen kutukar jabatan mereka untuk Alva.

Aku tahu, gaji kurir lebih besar dari honor. Jadi aku akan uji dulu sampai di mana Alva kuat menghadapiku dan berhasil mengalahkan egoku.

Sudah cape aku mengomel aku pun mematikan kedua ponselku dan tertidur.

***

Pagi-pagi sekali aku sudah membereskan tempat tidur, mengepel lantai dan juga mandi. Aku juga mengecek HP dan menelpon orang tuaku untuk menanyakan perihal kemarin dan benar saja mereka membutuhkan uang. Aku pun mentransfernya sebesar lima juta. Aku tidak peduli cukup atau engga, tetapi itu sudah cukup besar.

Papa terlalu ego untuk mendapatkan apa yang dia inginkan tak peduli di rumah kurang apa, tetapi syukurnya keluarga kami saat ini tidak pernah mengalami kekurangan lagi, biarlah 25 tahun yang lalu menjadi pengalaman dalam hidupku.

"Cukup kan, Pak. Lima juta buat bulan ini? Emangnya mau dibelikan apa?" tanyaku dalam telepon.

"Kurang, tapi gapapa dicukupkan. Biar beli power yang tiga jutaan aja. Pengennya beli sound yang sebelas jutaan, biar nanti dirakit sendiri."

"Nanti-nanti lagilah, pusing. Imel banyak kerjaan, perusahaan lagi ada masalah."

"Apa?" tanya papaku peduli.

Jujur saja dalam hal karir, papa yang paling peduli. Jadi mau bagaimana pun sikap orang tua, entah kasar atau apa, mereka tetap orang tua kita.

"Ada yang gak beres, pemasukan tidak sesuai dengan hitungan."

"Kenapa bisa gitu?"

"Gak tau, makanya minggu depan jemput imel. Mau pulang dulu sekalian ke gudang besoknya buat ngecek."

"Ya, nanti dijemput."

"Ya udah, udah dulu. Cukup-cukupin aja dulu itu, belanja-belanja dulu kek ke S buat nyetok," ujarku berharap dia tidak marah.

"Nya."

Telepon pun mati, ya mau bagaimana lagi aku tidak bisa menghalangi keinginannya, apalagi aku tidak ada untuk beralasan tidak punya uang. Karena mau diam-diam punya usaha pun keluarga tetap tahu juga.

Lebih baik cari aman aja, daripada nanti marah ke siapa saja dan nyebut aku anak durhaka. Cari aman aja ya kan? Selagi usaha kita lancar apa sih yang gak bisa, aku tidak bisa melakukan sesuatu karena aku tidak bisa bukan karena pelit. Jujur saja aku sudah tidak peduli sangkaan orang lain terhadapku, aku sudah terlalu down dan tidak mau mengingat-ingat lagi. Lebih baik, anggap angin meski terdengar, anggap saja tidak terlihat meski tetap terlihat, jangan diingat meskipun ingat.

Orang lain tidak akan peduli kondisi kamu, hanya kamu sendiri yang peduli pada kondisimu. Sayangi mentalmu meski di mata orang lain kamu jahat.

Dring

"Bu, mau aku jemput?"

"Aku tahu kost-an ibu, kok."

Dua pesan dari Gian sudah melayang di layar ponselku.

Ini anak benar-benar bikin aku ... arrrrghhh.

Aku cuma membacanya saja, aku saja belum makan. Jujur saja untuk hari ini aku hanya ingin santai di rumah jadi jam enam masih di rumah, biasanya aku makan di sekolah tapi sekarang ingin di kost-an.

Aku pun memasak dulu menggunakan kompor listrik, nasi di magicom sudah matang dan aku hanya memasak sosis asam pedas karena itu adalah kesukaanku, tambahannya aku menggoreng nugget.

Aku punya kulkas kecil di kost-an, jadi makanan frozen pun bisa kubeli, sayangnya ini tidak sehat. Jadi aku tidak mengonsumsinya tiap hari, kali ini cuma ingin simpel aja biar tidak repot amat.

Tin ... tin ... tin ....

"Permisi!"

"Astaga siapa sih," rutukku.

Baru saja aku menyuap nasi satu sendok, sudah ada orang yang ganggu.

Aku pun bergegas membuka pintu dan menunda makanku.

Clkkkk

"Gian ...."

Update setiap hari :)

Happy reading!

1
Bonsai Boy
Jangan menunda-nunda lagi, ayo update next chapter sebelum aku mati penasaran! 😭
Hiro Takachiho
Gak sabar nih baca kelanjutannya, jangan lama-lama ya thor!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!