Aruna murid SMA yang sudah dijodohkan oleh ayahnya dengan Raden Bagaskara.
Di sekolah Aruna dan Bagas bertemu sebagai murid dan guru.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tsantika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aruna dan Hatinya
"Non Aruna," suara Bi Rani ada di luar kamar.
"Buka saja, Bi," sahut Aruna santai di atas kasur dengan novel terbarunya. Kakinya nyaman dalam selimut yang lembut.
Aruna dalam setelan anak rumahnya. Menghalau keributan kecil di sekolah tadi siang. Ia menikmati waktunya dengan bulan diluar sana.
Bi Rani masuk membawa suatu. Aruna heran dan penasaran.
"Apa itu, Bi?"
"Oh, ini, pemberian Mas Bagas. Katanya makanan buat Non. Bibi buka sedikit ternyata sup daging ayam," jelas Bi Rani.
Nama itu lagi. Aruna sedikit mencari tahu tentang calon suaminya di masa depan itu.
"Sekarang orangnya kemana, Bi? Cuma sup doang?"
"Kasih sup terus pamit. Bibi nggak sempet tawarin minum, malah sudah pergi."
Aruna turun dari ranjang dan membuka pintu balkonnya. Pria itu masih di sana. Di depan rumahnya. Suara dering memecahkan hening.
Bi Rani mengambil ponsel Aruna. "Mas Bagas telepon, Non."
"Bibi boleh pergi. Terimakasih."
Aruna menjawab telepon itu.
[Masuk rumah. Ini sudah malam,] suara dari sebrang dengan perhatian yang yakin.
"Ngapain ke rumah? Bawa sup lagi?"
[Kali ini supnya beda. Aku beli di restoran. Kamu harus makan, ya?]
Aruna dan Bagas memandang satu dengan yang lain dari kejauhan.
"Suka banget sih bawa sup kalau aku sakit."
[Aku mau dicap menantu yang baik.]
Aruna terkekeh. Bagas tersenyum di bawah sana.
"Masih calon menantu kali. PD banget. Pulang sana! Nggak baik anak bujang keluyuran." Aruna geli sendiri.
[Kamu masuk dulu. Nanti aku pulang.]
"Iya, bawel. Makasih. Supnya."
[You are always welcome.]
Aruna menutup teleponnya. Mundur satu langkah. Ia tidak mendengar mobil menjauh. Pintu balkon kembali di tutup. Tak lama suara mobil terdengar dari bawah.
"Mari kita lihat apa yang dibawa kali ini?" Aruna mencium wangi yang segar.
"Samgyetang? Makin sini makin aneh saja. Tapi aku makin sayang," Aruna terpaku sejenak atas ucapannya, "aku makin gak jelas."
Gurihnya kaldu berpadu dengan gingseng dan rempah-rempah lain membuat Aruna hangat. Daging amat lembut seperti selimutnya. Sambil mengunyah ponselnya berdering.
Bagas
[Itu sup herbal. Bagus untuk kesehatan. Cocok untuk murid yang keras kepala nggak mau ke rumah sakit.]
"Apaan sih?" ucap Aruna dengan menahan senyum, mencoba tidak membalas. Jarinya lebih dulu mengetik.
Aruna
[Supnya enak. Tapi gombalannya bikin muntah.]
Aruna tidak bisa mendefinisikan perasannya. Apakah kesal atau memang hangat seperti supnya. Matanya menatap langit-langit dengan senyum kecil.
Bagas tidak pernah gagal dengan caranya.
Aruna mengirim foto mangkuk kosong.
[Habis.]
Bagas tersenyum membacanya. Setelah itu muncul panggilan dari Aletta.
"Hallo, Al?" sapa Bagas.
[Kak Bagas, bisa ketemuan? Ada yang mau aku bicarakan.]
Bagas melihat mobilnya baru masuk garasi. Ia cukup lelah dengan urusan sekolah dan Aruna.
"Aletta katakan saja. Aku sangat kelelahan, sepertinya tidak bisa."
[Ah, nanti saja, Kak. Maaf aku ganggu," kata Aletta terdengar kecewa.
"Aletta..." tut tut tut.
Bagas memilih tidak menanggapi. Aletta bisa mengatakannya sekarang atau nanti. Sepanjang hari sebagai guru itu menyita waktunya. Sebagainnya milik Aruna yang suka ngambek itu.
Paginya Bagas bersiap untuk kemah. Ia membuka walkin closet mengambil jaket, kaos dan keperluan untuk tiga hari memasukkan ke ransel. Udara terasa sejuk sampai hatinya.
Tiba di sekolah sebuah ransel lilac mencuri perhatiannya.
"Ehmm... ,," ujar Bagas disampingnya.
Aruna menoleh dengan ujung matanya. "Apa? Jaga jarak radius 100 meter. Orang bisa salah paham."
"Tidak bisa. Mereka akan melihat seorang guru tampan dengan murid yang keras kepala," Bagas membetulkan letak kacamatanya, "kamu cantik hari ini. Aku harap kamu bisa menikmati kemah nanti."
"Guru macam apa yang menggoda muridnya?" Aruna menatap Bagas. Ia tidak yakin bisa bersenang-senang kalau Aletta berulah lagi.
"Ayo kita foto di depan bus itu," tunjuk Bagas pada dua bus yang sudah terparkir.
"Aku bukan anak TK, ngapain foto di sana."
Bagas menundukkan badannya sejajar dengan Aruna. Gadis itu nampak malu dan salah tingkah.
"Kamu tahu, kita nggak punya foto berdua."
"Harus banget foto? Berdua?"
"Anak kita nanti pasti penasaran seperti apa kisah cinta orang tuanya. Satu foto, satu kenangan buat masa depan."
Aruna tersenyum tipis. "Ya Allah, dosa apa aku nikah sama kamu? Pamali ngomongin anak sebelum nikah."
Bagas menarik tangannya. Aruna menatap sekeliling takut ada yang melihat dan membuat rumor. Ia merasakan hangat dalam genggaman itu.
Bagas dan Aruna berdiri di samping badan bus.
"Aku nggak masalah dekat sama kamu," goda Bagas mengeluarkan ponselnya.
"Aku yang masalah. Kamu nggak pernah bener."
Bagas menarik bahu Aruna lebih dekat. Aruna kaget sampai memandang Bagas. Pandangan bertemu sesaat. Bagas memasang kamera di ponselnya.
"Satu jepretan saja," kata Bagas.
Aruna menatap kamera depan itu. Senyumnya kaku. Tangan Bagas di bahunya memberikan warna di foto itu.
"Satu, dua... Say, chese."
Aruna tersenyum, meletakkan jari dengan tanda peace di pipi kirinya.
"Sudah. Aku harus menemui temanku," kata Aruna menjauh.
Aruna hanya malu terlalu lama dengan tunangannya sendiri. Langkahnya riang dari hari kemarin. Apa ada bunga bermekaran di hatinya?
Riuh murid semakin besar. Bagas mulai mengkoordinasikan untuk segera berangkat. Bu Kamila mulai mengabsen murid untuk masuk ke bus.
"Yang namanya sudah disebut harap masuk ke bus," teriak Bu Kamila dengan daftar siswa di dadanya.
"Aku udah nggak sabar," ujar Nadia.
Aruna mengangguk merasakan hal sama. Ia melirik ke arah jam sembilan. Aletta berdiam dengan wajah masamnya. Aruna tidak mau terganggu menanggapi mood remaja itu.
"Nadia. Aruna. Kalian satu set bangku," panggil Bu Kamila.
Aruna dan Nadia bergegas naik. Bangku keduanya ada di deret ketiga.
"Aku mau deket jendela, ya?"
Aruna memberikan sudut ternyaman untuk Nadia. Ia penasaran dengan Windi, sahabatnya itu. Nadia ikut memerhatikan temannya yang naik bus yang sama.
"Windi sama Aletta?" ucap Aruna berbarengan dengan Nadia.
Keduanya hampir tertawa bersamaan. Aruna bisa membayangkan Windi yang cuek menghadapi seribu satu drama Aletta.
Bagas berdiri di tengah-tengah bus. Ia mengajak untuk berdoa sebelum berangkat. Kacamata hitamnya membuat Aruna tersenyum. Doa dilafalkan dalam hati. Roda bus perlahan melaju.
"Apa yang lucu?" tanya Nadia.
"Pak Bagas, eh maksudnya, Pak Raden. Aneh aja pakai kacamata begitu."
"Aku dengar dia udah tunangan lho."
"Santai aja kali. Aku yakin tunangannya nggak akan ngambek kalau aku perhatiin dia," ucap Aruna yakin sebab tunangan gurunya itu adalah dirinya.
"Kamu kenal sama cewek itu?"
"Lumayan."
"Siapa namanya? Kasih tahu."
Aruna memilih diam. Kalau ia beritahu perempuan itu dirinya, Nadia akan diam juga.
Bus menjauh dari kota. Pemandangan alam menjadi suguhan yang istimewa dalam perjalanan Aruna dan hatinya.