Febi adalah gadis cerdas dan menawan, dengan tinggi semampai, kulit seputih susu dan aura yang memikat siapa pun yang melihatnya. Lahir dari keluarga sederhana, ayahnya hanya pegawai kecil di sebuah perusahaan dan ibunya ibu rumah tangga penuh kasih. Febi tumbuh menjadi pribadi yang tangguh dan mandiri. Ia sangat dekat dengan adik perempuannya, Vania, siswi kelas 3 SMA yang dikenal blak-blakan namun sangat protektif terhadap keluarganya.
Setelah diterima bekerja sebagai staf pemasaran di perusahaan besar di Jakarta, hidup Febi tampak mulai berada di jalur yang cerah. Apalagi ia telah bertunangan dengan Roni, manajer muda dari perusahaan lain, yang telah bersamanya selama dua tahun. Roni jatuh hati pada kombinasi kecantikan dan kecerdasan yang dimiliki Febi. Sayangnya, cinta mereka tak mendapat restu dari Bu Wina, ibu Roni yang merasa keluarga Febi tidak sepadan secara status dan materi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noona Rara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
FEBI CEMBURU
[Dua Hari Kemudian...]
Bu Sekar menarik napas panjang saat melangkah keluar dari pintu gerbang penjara. Langit cerah di atas kepalanya terasa seperti pertanda kebebasan dan angin sore membelai wajahnya seolah menyambut pulangnya seorang ratu dari pengasingan. Tapi hatinya... masih seperti bara dalam tungku.
"Dunia... akhirnya aku kembali." gumamnya dramatis, seperti tokoh utama sinetron episode pamungkas.
Di dalam mobil, sepanjang jalan, ia tak henti melontarkan keluhan.
"Keluarga Febi itu... dasar licik! Perempuan-perempuan sok suci itu! Sampai mati pun aku nggak bakal lupa!"
Pak Prabu yang fokus melihat jalan depan sudah memijat pelipis sejak mereka keluar parkiran. "Sekar, sudahlah. Jangan bikin malu keluarga lagi. Kita udah lelah urus semua ini..."
"TAPI SEMUA INI SALAH MEREKA!" bentak Bu Sekar. "Mereka yang bikin aku masuk penjara!"
Roni hanya diam di kursi pengemudi, matanya menatap lurus ke jalan. Kepalanya sudah penuh dengan tagihan pengacara dan dana nikah yang lenyap. Tenaganya tak cukup untuk ikut perang mulut.
Tiba-tiba...
"RON! MAMPIR RESTORAN KOREA YANG DI SUDUT SANA! IBU PINGIN DAGING PANGGANG!" seru Bu Sekar sambil menunjuk kaca jendela.
"Mahal, Bu..." jawab Roni pelan. "Itu tempat fancy."
"MASA ANAK SENDIRI PELIT SAMA IBU?! Ibu tuh baru bebas dari penjara, Ron! PENGEN merayakan hidup!" Bu Sekar meratap, suaranya meledak-ledak seperti artis senior dalam sandiwara klasik.
Akhirnya, dengan dompet berat dan hati lebih berat, Roni membelokkan mobil.
Begitu masuk restoran, aroma gurih daging panggang langsung menyapa. Tapi baru tiga langkah, mata Bu Sekar melotot besar.
Di sudut ruangan, keluarga Febi. Febi, Bu Anita, Pak Beni, dan Vania duduk melingkari meja besar, tertawa dan menyantap daging seperti dunia ini tak punya masalah.
Detik itu juga, suhu tubuh Bu Sekar naik 3 derajat. Langkahnya menghentak. Zoom! Ia meluncur seperti rudal ke arah meja mereka.
"ASTAGA..." Pak Prabu langsung mengejar. "Sekar! Jangan bikin ribut…."
Terlambat.
Kini Bu Sekar berdiri bak tokoh antagonis sinetron, tangan menyilang, dagu terangkat.
Febi dan keluarganya sontak terdiam. Aura hangat mendadak digantikan ketegangan menusuk.
"Eh... selamat siang, Bu Sekar." sapa Pak Beni hati-hati. "Sudah... bebas?"
"Ya bebaslah! Apa kalian pikir aku bakal tua di sana? Heran ya, kok cepet banget keluarnya?"
"Kami malah bersyukur, Bu, Ibu bisa pulang ke rumah.” kata Bu Anita dengan tulus.
Tapi bagi Bu Sekar, ketulusan itu terasa seperti sindiran.
"HUH! Nggak usah pura-pura suci! Dalam hati kalian pasti ketawa, kan? 'Ih, tuh Bu Sekar keluar penjara, kok bisa cepet banget!' Gitu ya?!"
"Kami nggak mikir sejauh itu, Bu." sahut Febi tenang.
Bu Sekar tertawa miring. "Ck untung saja karena aku punya anak manajer dan suami pemilik toko, makanya bisa keluar cepat! Bukan kayak kalian, bisanya cuma nuduh dan nyinyir!"
Pak Beni menahan napas. Vania? Beda cerita.
"Maaf ya, Bu. Tapi... kayaknya otak Ibu tuh geser setengah senti sejak keluar. Mana ada yang nyinyir. Ibu aja yang sibuk nyinyirin hidup orang."
"APA KAMU BILANG?!" Bu Sekar menunjuk Vania. "Anak bau kencur, diem saja kau!"
Pak Prabu langsung berdiri di antara mereka. "Cukup, Sekar! Kamu bikin malu!"
Ia menoleh ke keluarga Febi dan menunduk sopan. "Pak Beni, Saya minta maaf atas gangguan ini..."
Tapi Roni menyela. "Nggak perlu minta maaf, Pak. Keluarga Febi juga punya andil kok dalam semua ini."
Febi langsung berdiri. "Maaf? Saya yang difitnah yang tidak –tidak oleh ibu kamu kamu, Terus saya yang salah?"
Ketegangan naik.
"Permisi..." suara satpam datang, wajahnya tegang. "Kalau masih ribut, mohon keluar. Pengunjung lain terganggu."
Pak Prabu buru-buru menarik Bu Sekar.
"Lepasin! Aku belum selesai…."
"Udah selesai, Sekar!"
Mereka pun pergi. Roni mengekor dengan wajah dingin.
Keluarga Febi duduk kembali. Vania menghela napas panjang, lalu mengambil daun selada.
"Sungguh ya... rasa dagingnya tetap enak meskipun abis drama. Emosi boleh panas, tapi perut jangan sampai kosong."
Pak Beni dan Bu Anita tertawa kecil. Febi tersenyum lelah.
"Daging panggang dan dendam keluarga. Serasa di drama Korea."
**
[Malam Hari – Rumah Febi]
Febi berdiri di depan cermin, merapikan kerah kemeja jeans oversized-nya. Kulot biru dongker membungkus kakinya dengan anggun namun santai. Makeup-nya ringan lip tint dan eyeliner tipis cukup membuat wajahnya bersinar.
Malam ini, ia bersiap memberi jawaban untuk Arkan.
Namun sayangnya...
"Wah, kakak mau kencan ya? Jangan-jangan mau dilamar?" Vania muncul dari balik pintu, lengkap dengan ekspresi jahil.
"Kalau kamu masih hidup besok pagi, itu karena aku baik hati." balas Febi, pura-pura menendang adiknya.
Suara motor terdengar dari luar. Marko datang menjemput Vania.
"Kak, aku duluan ya. Semoga sukses malam ini. Jangan pulang-pulang langsung nikah loh." teriak Vania sengaja keras agar satu rumah dengar.
**
[30 Menit Kemudian]
Febi duduk di ruang tamu. Kakinya pegal bergoyang-goyang. Ia cek HP. Centang dua... abu-abu. Ditelepon? Tak diangkat. Digulir, dikunci, dibuka lagi. Berulang-ulang.
"Jadi pergi nggak, Bi?" tanya Bu Anita dari dapur.
"Jadi, Bu. Cuma nunggu kabar temen satu lagi" jawab Febi berbohong kecil.
Lalu...
📲 Arkan:
Febi, maaf banget yah... malam ini saya nggak bisa. Ada urusan mendadak. Besok aja yah?
DEG.
"Urusan mendadak". Tanpa penjelasan.
Seperti dilempar harapan berlapis emas, tapi ternyata batu bata.
Febi menahan kecewa. Lalu memesan taksi online.
**
[Di Taksi – Menuju Mall Pegasus]
Febi membuka chat:
📲 Febi:
Win, kamu free? Kita keluar yuk. Aku udah di jalan ke Pegasus.
Wina balas cepat:
📲 Wina:
Fix. Aku juga butuh healing dari dunia fana ini.
**
[30 Menit Kemudian – Mall Pegasus]
Mereka bertemu. Wina menatap heran.
"Tumben Febi ngajak jalan. Kena angin apa nih?"
"Angin kekecewaan." jawab Febi datar.
"Sesekali menikmati hidup setelah seminggu disuruh lembur Pak Arkan."
Wina tertawa dan memeluk Febi. Mereka keliling toko, belanja sepatu dan baju, lalu keluar dengan dua kantong besar.
"Ini Lo yang traktir ya. Gaji sekretaris bos PT Fortune pasti gede!"
"Gue yang ajak, ya gue yang bayar. Anggap aja lo beruntung malam ini." balas Febi sambil menggesek kartu.
***
[Di Restoran – Saat Makan Malam]
Mereka duduk sambil menertawakan gaya baju aneh di etalase tadi. Tapi suasana ceria mendadak hilang.
"Eh... eh... itu..." Wina menunduk.
"Apa?"
"Kayaknya itu Pak Arkan deh..."
Febi menoleh. DEG.
Benar. Arkan. Dengan seorang gadis muda. Cantik. Manja. Bergelayut di lengannya seperti lem.
Perut Febi langsung mual.
"Teman 'urusan mendadak', rupanya..." batinnya.
"Siapa ya itu? Lo kenal nggak?" tanya Wina.
"Gue Cuma sekretarisnya , bukan pengasuh hidup Pak Arkan." jawab Febi ketus.
"Ih, gaya ngomong lo tuh kayak cewek cemburu."
"Ngaco. Makan gih. Keburu dingin." potong Febi sambil menusuk chicken katsu dengan garpu, seolah daging itu bernama Arkan.
Tapi diam-diam, dalam hati Febi menuliskan:
Catatan: jangan percaya laki-laki yang bilang 'urusan mendadak' tanpa bukti tertulis dan stempel resmi.