‼️Harap Bijak Dalam Memilih Bacaan‼️
Series #3
Maula Maximillian dan rombongan kedokterannya dibuang ke sebuah desa terpencil di pelosok Spanyol, atas rencana seseorang yang ingin melihatnya hancur.
Desa itu sunyi, terasing, dan tak tersentuh peradaban. Namun di balik keheningan, tersembunyi kengerian yang perlahan bangkit. Warganya tak biasa dan mereka hidup dengan aturan sendiri. Mereka menjamu dengan sopan, lalu mencincang dengan tenang.
Yang datang bukan tamu bagi mereka, melainkan sebuah hidangan lezat.
Bagaimana Maula dan sembilan belas orang lainnya akan bertahan di desa penuh psikopat dan kanibal itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 : Semua Membaik
...•••Selamat Membaca•••...
Beberapa lantai di atas ruang rawat Anna dan Mavros, Rayden masih duduk di depan ruang isolasi. Jam di dinding menunjukkan pukul 20:46. Rumah sakit sudah tenang. Hanya suara roda perawat dan langkah kaki dokter yang sesekali memecah keheningan.
Rayden menatap layar ponsel tanpa benar-benar membaca. Pesan masuk dari Leo belum dibalas. Beberapa notifikasi dari rekan bisnis dan asisten pribadi diabaikan. Dunianya kini hanya satu titik saja, yaitu Maula.
Lyria keluar dari ruang isolasi, membuka masker, Rayden berdiri menghadap Lyria.
“Suhu tubuhnya stabil. Hasil pemeriksaan awal menunjukkan infeksinya sudah mulai terkontrol. Janin dalam kondisi baik. Tapi dia butuh istirahat penuh, tidak boleh ada tekanan, baik fisik maupun emosional.”
Rayden mengangguk. “Aku akan urus semuanya. Termasuk lingkungan sekitar. Dia hanya perlu sembuh.”
“Dokter kandungannya akan datang besok pagi. Kita lakukan pemindaian ulang dan pengawasan sistem sarafnya lebih ketat. Luka traumanya masih belum sepenuhnya sembuh,” tambah Lyria.
“Terima kasih, Dr. Lyria.”
Lyria menatap pria itu lama. “Kamu berubah, Rayden.”
Rayden menoleh. “Dalam hal apa?”
“Dulu kamu dingin dan terlalu rasional. Sekarang… kamu hidup.” Dokter Lyria adalah dokter bagi keluarga Dragonvich yang dulunya bertugas di mansion Archer, dia dokter terbaik dan sangat dekat dengan Rayden.
Rayden tidak menjawab. Ia hanya menunduk dan menatap cincin nikah di jarinya, cincin yang sama dengan milik Maula.
“Dia sudah mengubahku sangat jauh, bukan menghilangkan diriku. Tapi lebih mengubah sudut pandang dan pola hidupku saja. Selama ini aku kehilangan jati diri dan setelah dia hadir, diriku kembali.” Lyria tersenyum.
“Ya, aku bisa melihat semua itu. Ayahmu pasti sangat bangga memiliki menantu seperti dia.” Rayden hanya tersenyum lalu Lyria pergi.
Di sisi lain rumah sakit, Reba sedang berbicara dengan petugas kepolisian. Wajahnya tegas. Rachell dan Corvin duduk di kursi tunggu, mereka juga memberikan kesaksian atas perbuatan Mavros dan Anna. Mata mereka sayu, namun tidak kosong. Mereka masih shock, tapi sadar.
Sofia berada di ruang perawatan ringan. Kakinya diperban. Ia menolak tidur sebelum tahu kabar Maula. Ketika Rayden akhirnya datang menghampiri, ia langsung berdiri.
“Gimana dia?” tanya Sofia cepat.
“Masih lemah. Tapi jauh lebih baik dari tadi malam.”
Sofia menunduk. “Aku minta maaf, Rayden.”
Rayden menggeleng. “Kau menyelamatkan dia. Tanpamu, mungkin aku takkan pernah bertemu istriku lagi.”
Sofia tak berkata apa-apa. Air matanya jatuh diam-diam.
Advait memasuki ruangan Sofia, membawa beberapa makanan dan Rayden menatap Advait dengan tatapan meledek. Advait menendang sedikit kaki Rayden agar mengontrol pandangannya.
“Aku keluar dulu,” pamit Rayden lalu kembali menatap Advait.
Sementara itu, di ruang tertutup lain yang dijaga dua petugas, Anna duduk di kursinya dengan tangan yang dibalut perban. Ia menatap pintu tanpa berkedip. Mavros tidur di brankar yang tak jauh dari sana. Wajahnya masih terlihat tenang, nyaris seperti tidak terjadi apa-apa.
Anna menggenggam pahanya kuat. Jemarinya gemetar. Ia mengingat nama-nama yang hilang: Nicholle, Violy, Miller, Silly, Lika, Cyntia, Tamara, dan teman lainnya. Semuanya meninggal. Tubuh mereka sudah tidak dikenali dan kini, Anna harus menghadapi konsekuensinya. Kemungkinan terburuk adalah dikeluarkan dari kampus dan tidak diterima di kampus mana pun.
Seorang petugas rumah sakit masuk dan menyodorkan dokumen pada Anna.
“Besok pukul 08.00, pihak kampus dan kepolisian akan mengambil keterangan kalian. Pengacara kalian akan hadir. Siapkan diri.”
Anna mengangguk lemah. Setelah pria itu keluar, ia melirik Mavros.
“Apa kau pikir kita akan lolos dari ini?” tanyanya pelan.
Mavros membuka mata, lalu menatap langit-langit lagi. “Aku tidak peduli soal lolos atau tidak. Aku hanya ingin Maula tahu... aku mencintainya.”
Anna tertawa pelan. “Dia bahkan tidak melihatmu sebagai manusia lagi. Di hatinya hanya ada Rayden.”
Mavros tersenyum. “Itu karena dia belum mengerti. Tapi waktu akan buktikan.”
Anna menutup mata. “Kau gila.”
“Dan kau pengecut.”
Mereka saling diam. Masing-masing tenggelam dalam kegilaan dan penyesalan.
Pukul sembilan malam. Rayden akhirnya diperbolehkan masuk ke ruang isolasi. Maula tertidur dengan infus dan sensor EKG di tubuhnya. Cahaya di ruangan sangat redup, hanya bunyi lembut monitor yang mengisi keheningan.
Rayden duduk di samping ranjang. Ia menyentuh tangan istrinya perlahan.
“Piccola. Kita sudah di kota ini. Di tempat kamu akan sembuh.”
Maula tidak menjawab, tapi bibirnya bergerak pelan. Seperti ingin mengucap sesuatu yang tertahan.
Rayden membungkuk. Ia menempelkan kening ke tangan istrinya. “Tidurlah, cinta. Semua sudah selesai.” Tapi ia tahu, belum semua benar-benar selesai.
Masih akan ada hari esok. Masih ada sidang kampus, investigasi kepolisian, luka-luka yang harus dijahit dari hubungan persahabatan itu, tidak hanya di tubuh… tapi di dalam hati juga.
Rayden mengeluarkan ponselnya dan mengabari Lucan, Leo, dan Archer. Mereka semua sudah panik setelah mendengar berita dari kampus Maula. Archer bahkan melakukan perjalanan dari Moskow ke Madrid besok.
...***...
Leo, Maureen, Marlo, Thalia, dan Eliza tidak bisa diam saat ini. Mereka terus menanti kabar dan Leo bergegas memeriksa ponselnya.
“Rayden bilang, Maula sudah ketemu dan dia sedang dirawat. Hanya ada beberapa luka, tidak terlalu parah dan kandungannya baik.” Leo menjelaskan isi pesan menantunya itu.
Semua bernafas dengan lega. Kecuali Maureen, jelas di wajahnya saat ini begitu khawatir dengan kondisi Maula.
“Aku ingin menemui anakku, Leo. Sudahlah, udah benar Rayden ingin pindah ke sini, biarkan saja mereka pindah. Aku sudah tidak mau jauh-jauh dari putriku,” ujar Maureen dengan wajah khawatir dan air matanya.
Marlo memeluk Maureen. “Tenang Ma, Maula baik-baik saja, lagian kurang dari tiga tahun lagi kan dia bakalan wisuda.”
“Mama khawatir nak, ini sudah kesekian kalinya kakak kamu masuk rumah sakit.” Leo mengambil alih pelukan dari anaknya.
“Kita akan ke sana, semua keputusan tetap ada di tangan Rayden. Dia seorang suami, yang penting kita tidak terlalu masuk lebih jauh dalam urusan keputusan. Oke.” Maureen mengangguk dalam pelukan suaminya.
“Pasti ada dalang dari musibah ini, mustahil Maula bisa menghilang begitu saja. Orang dalam pastinya, buktinya Maula dan rombongan hilang saat perjalanan kegiatan sosial kan,” terka Eliza yang mana pemikirannya sangat tepat.
“Bisa jadi, kita tunggu saja kabar selanjutnya,” balas Leo dengan tenang.
“Pesankan Mama tiket ke Madrid, Mama ingin berangkat besok ke sana.” Maureen, Marlo, Leo, dan Thalia menganga mendengar perkataan Eliza.
“Besok? Kita sama-sama saja saat Thalia libur sekolah nanti, Ma.”
“No no Leo, Mama mau besok, ya besok. Mama ke mall dulu, mau cari bahan makanan dan memasaknya untuk cucuku tersayang, My Sweetheart Maula and Rayden Salvatore. Tolong pesawat yang lebih bagus dari penerbangan sebelumnya ya. Punggung Mama suka pegal. Thalia... Darling... Ikut Nena yuk, kita shopping.” Thalia langsung berdiri dengan semangat dan menggandeng tangan Eliza.
“Ayo Nena, aku belanja yang banyak ya.”
“Oke sweetheart. Habiskan saja uang Nenamu ini, aku sudah tua untuk menghabiskannya.” Eliza tertawa dan semua yang ada di sana ikut tertawa.
“Mamaaaa...” Eliza memakan lipstik merah menyala miliknya dan kaca mata hitam lalu mencium kepala Maureen. Dia bersiap untuk pergi ke mall hari ini.
“Kalau kamu butuh sesuatu, minta saja suamimu, oke. Uang dia juga banyak,” canda Eliza yang membuat Maureen kembali tersenyum.
Leo dan Marlo menutup wajah mereka, sikap Eliza semakin hari semakin membuat mereka lebih banyak tertawa. Gaya Eliza yang elegant serta humoris, membuat cucunya sangat betah jika bersama dia. Terlebih Maula. Satu frekuensi dan satu pikiran jika terpaut hal membunuh.
...•••Bersambung•••...
...----------------...
...ELIZABETH...
...Psikopat senior, Nena kesayangan keturunan Axelo dan Leo Maximillian. ...