Arunika adalah seorang wanita yang memendam cinta dalam diam, membangun istana harapan di atas sajadah merah yang pernah diberikan oleh Raka, pria yang diam-diam memikat hatinya. Setiap sujud dan lantunan doa Arunika selalu tertuju pada Raka, berharap sebuah takdir indah akan menyatukan mereka. Namun, kenyataan menghantamnya bagai palu godam ketika ia mengetahui bahwa Raka telah bertunangan, dan tak lama kemudian, resmi menikah dengan wanita lain, Sandria. Arunika pun dipaksa mengubah 90 derajat arah doa dan harapannya, berusaha keras mengubur perasaan demi menjaga sebuah ikatan suci yang bukan miliknya.
Ketika Arunika tengah berjuang menyembuhkan hatinya, Raka justru muncul kembali. Pria itu terang-terangan mengakui ketidakbahagiaannya dalam pernikahan dan tak henti-hentinya menguntit Arunika, seolah meyakini bahwa sajadah merah yang masih disimpan Arunika adalah bukti perasaannya tak pernah berubah. Arunika dihadapkan pada dilema moral yang hebat: apakah ia akan menyerah pada godaan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maya Melinda Damayanty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7. UJIAN MATEMATIKA
Kamis pagi, Arunika datang lebih awal. Ia membaca buku pelajaran, menghafal kembali rumus-rumus matematika. Ia berada di kelas XII IPA B.
Pelajaran itu sangat rumit, terlebih rumusnya sangat sulit dibanding dengan fisika atau kimia.
“Duh, pecahan desimal!” keluh Arunika sambil menggaruk kepala, matanya menatap lembar soal dengan pasrah.
“Pecahan desimal itu sebenarnya sangat mudah, Run!” sahut seseorang dari arah pintu.
Arunika menoleh, lalu wajahnya langsung berbinar. Senyum cerah mengembang tanpa bisa ia tahan.
“Raka!” serunya pelan, tapi penuh kelegaan.
Raka berjalan mendekat dengan langkah santai, membawa buku tebal di tangannya.
“Kamu ini, masa pecahan desimal aja bikin wajah kamu berlipat sepuluh kali?” godanya sambil duduk di kursi sebelah Arunika.
Arunika manyun, menutup mulut dengan buku seolah malu.
“Aku tuh sudah berusaha, Rak. Tapi tiap kali ketemu soal model begini, rasanya kepalaku kayak diacak-acak.”
Raka terkekeh kecil. Ia mencondongkan badan, jarinya mengetuk halaman buku yang terbuka.
“Coba sini… pecahan desimal itu sebenarnya cuma cara lain buat menulis bilangan. Kalau kamu bisa mainin angka, gampang kok.”
Arunika memperhatikan, dan tanpa sadar wajah mereka begitu dekat. Helaan napas Raka terasa, membuat pipi Arunika memanas.
“Rak… jangan deket-deket,” bisiknya, pura-pura menunduk.
Raka malah tersenyum jail.
“Kenapa? Takut salah fokus ya?”
Arunika buru-buru menutup wajah dengan tangan. “Ih, nggak usah godain orang lagi belajar dong!”
Tapi dalam hatinya, justru detak jantungnya yang paling ribut dibanding soal pecahan desimal mana pun.
Bel tanda masuk berbunyi. Siswa-siswa mulai berdatangan dengan wajah pucat pasi seolah mau maju ke medan perang. Beberapa masih membuka catatan, ada yang menyalin rumus cepat ke kertas kecil—tentu dengan niat diselundupkan.
Guru pengawas masuk, membawa setumpuk soal. “Semua tas taruh di depan. Yang ketahuan mencontek, langsung saya keluarkan.” Suaranya tegas, membuat suasana semakin mencekam.
Arunika menarik napas panjang. Ia melirik sebentar ke arah Raka yang duduk dua baris di belakangnya. Raka mengangkat kedua alisnya, memberi isyarat seakan berkata tenang aja, kita bisa.
Lembar soal dibagikan. Suara kertas beradu dengan meja terdengar hampir bersamaan. Sunyi. Semua kepala menunduk.
Arunika segera tenggelam dalam angka-angka. Matanya serius, pulpen di tangannya menari cepat di kertas.
Sementara itu, di barisan belakang, seorang siswa panik membuka contekan kecil di balik meja. Sayangnya, gerakan canggung itu tertangkap oleh mata pengawas.
“Hwy! Kamu, berdiri!” bentak guru pengawas.
Kelas mendadak gaduh. Beberapa siswa kaget, ada yang sampai menjatuhkan pensil. Bahkan dari luar, beberapa guru ikut melongok karena suara keras itu.
Arunika tetap fokus, lalu ia mencoba mencoret-coret jawaban di kertas buram. Lalu alis matanya terangkat, seakan-akan ia sudah tahu rumus paling mudah dan jawabannya benar.
Lalu sedetik kemudian, ia berhasil menjawab semua pertanyaan di kertas pilihan ganda. Usai menjawab kertas pilihan ganda. Tinggal ia menjawab kertas ujian essay. Arunika dengan mudah menjawab semuanya.
'Untung tadi aku baca lagi rumusnya!' gumamnya semangat.
"Waktu tinggal hitungan lima .... empat ... tiga ... dua ... satu! Waktu habis!" teriak guru pengawas tanpa ampun.
Arunika telah selesai mengoreksi semua jawabannya. Ia sudah yakin jika jawabannya tak ada yang salah menurutnya. Ia membiarkan guru pengawal mengambil lembar jawabannya.
Ada sedikit keributan di bangku paling belakang. Seorang siswa .memohon perpanjangan waktu.
"Tinggal satu lagi Bu. Please!'
"Baik! Ibu akan kumpulkan yang lain. Selana itu kamu belum selesai. Ibu akan ambil paksa lembar jawaban kamu!' sahut guru pengawas baik hati tetapi tetap tegas.
Setelah mengambil semua kertas jawaban, Guru pengawas meninggalkan kelas.
Ketika guru pengawas pergi, suasana kelas masih dipenuhi helaan napas lega. Beberapa siswa bersorak kecil karena akhirnya penderitaan selesai juga, sementara yang lain justru mendengus kesal karena merasa jawabannya amburadul. Hari ini hanya ujian matematika. Jadi mereka bisa pulang.
Arunika menutup pulpen dan merapikan buku catatannya. Tangannya masih sedikit gemetar, bukan karena takut nilainya jelek, tapi karena ia merasa begitu lega bisa mengerjakan semuanya.
Raka berjalan menghampirinya dengan wajah cerah.
“Gimana, Run?” tanyanya sambil menepuk meja Arunika pelan.
Arunika mengangkat wajah, matanya berbinar.
“Aku bisa ngerjain semua, Raka! Rasanya kayak mimpi. Padahal tadi sempat panik gara-gara pecahan desimal!"
Raka terkekeh, mencondongkan tubuhnya.
“Tuh kan, aku bilang apa? Kalau kamu tenang, soal apapun bisa kamu tamatin. Pantes sekarang wajahmu cerah kayak habis dapet hadiah!”
Arunika mengangkat kedua tangan menutupi wajah yang mulai memerah.
“Ih, jangan diledekin .…”
“Eh tapi… wajahmu sekarang nggak cuma cerah, Run. Lebih ke… manis banget.” ucap Raka jahil.
Arunika langsung menunduk. Degup jantungnya makin tak terkendali. Ia buru-buru memasukkan buku-bukunya ke tas.
“Sudah ah, ayo keluar. Nanti disangka yang aneh-aneh!” ajaknya dengan suara pelan.
Raka hanya mengikuti Arunika saja, ia menyampir ransel di pundaknya. Langkahnya mengikuti langkah Arunika.
Sementara itu, di sudut kelas, beberapa teman mereka masih membicarakan insiden siswa yang ketahuan mencontek.
“Kasian banget ya, dia sampe dikeluarin!”
“Udah gitu, ketahuan sama pengawas lagi. Malu banget!"
Arunika sempat menoleh sekilas. Ia bisa merasakan betapa mencekamnya tadi. Tapi entah mengapa, setelah semua selesai, hatinya justru ringan. Mungkin karena ada seseorang yang membuatnya merasa tak sendiri dalam perjuangan.
Begitu mereka keluar kelas, Raka berjalan di sampingnya dengan tangan masuk ke saku celana.
“Run, kamu sadar nggak? Kalau kita saling dukung gini, rasanya apapun bisa kita lewatin" ujarnya mengambang.
Arunika menoleh, menatap Raka dalam diam. Kata-kata itu sederhana, tapi menancap begitu dalam di hatinya.
“Kalau kita sama-sama berjuang, aku yakin kita bisa jadi pasangan paling harmonis,” tambah Raka, kali ini dengan senyum yang membuat wajah Arunika semakin memerah.
Ia hanya mampu menunduk, pura-pura mengikat tali sepatunya. Dalam hatinya, ia tahu… ujiannya bukan hanya matematika hari ini. Tapi juga bagaimana menahan rasa yang semakin hari semakin tumbuh.
"Ka!" panggil seorang siswa dari lapangan. Raka menoleh, lalu mengangkat tangannya. Ia meninggalkan Arunika begitu saja.
Arunika menatap punggung Raka yang perlahan menjauh. Tak lama terdengar tawa dari kumpulan siswa-siswa yang duduk nongkrong di dekat lapangan basket. Arunika hanya tersenyum, lalu menatap pantulan dirinya di pintu kaca ruang kesehatan.
Sendirian ... hilir-mudik siswa dan siswi dibelakangnya. Mereka bergerombol, saling tertawa, meledek bahkan berangkulan.
"Tapi, aku tak suka ramai," gumamnya pelan pada diri sendiri.
Arunika menghela nafas panjang, ia berjalan pelan keluar dari halaman sekolah. Ia menunggu ayahnya menjemput.
Tak berselang lama, sebuah bunyi dari sebuah kendaraan yang sangat Arunika kenali. Bunyi motor butut ayahnya sangat khas. Senyum terbit dari bibir Arunika saat sosok gagah itu terlihat.
"Ayah!"
bersambung.
Ah ... cinta pertama anak perempuan itu pasti sama ayahnya.
Next?
kamu bisa datang d saat kamu sudah siap dalam hal apapun,buat ayah Purnomo terkesan dengan perjuangan mu