Hanna harus menerima kenyataan pahit bahwa sang suami telah memiliki hubungan dengan saudara kandungnya.
Ia merasa di bodohi dengan sikap suaminya yang baik dan penyayang, begitu juga dengan sikap adik kandungnya yang terlihat baik dan polos. Namun ternyata mereka menjalin hubungan terlarang di belakangnya.
Apakah Hanna akan memaafkan suami dan adiknya? atau ia akan pergi dari kehidupan rumah tangganya?
Yuk ikuti ceritanya! jangan lupa like, komentar, dan suscribe ya. Terima kasih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ratih Ratnasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 25
Sarah menahan sakit kram di perutnya, ia meminta tolong pada Revan namun Revan sudah tidak ada di sana.
"Mas, Revan... Perutku sakit, ah," Sarah memegang perutnya yang terasa sakit, ia mencoba berdiri namun ia terkejut dengan setetes darah yang keluar dari jalan lahir.
"Darah... Ini darah," Sarah mulai panik, ia segera mengambil ponselnya dari saku lalu menghubungi Revan.
"Wanita ini, kenapa dia menghubungiku!" kesalnya. Revan melempar ponselnya ke atas kursi.
"Mas Revan..." teriak Sarah. Ia sekeras mungkin berteriak untuk meminta tolong pada Revan.
Revan yang mendengar teriakan Sarah, ia langsung segera melangkah ke kamarnya. Revan melihat Sarah yang sedang memegang perutnya.
"Kau kenapa?" tanya Revan biasa saja.
"Perutku sakit, Mas. Tolong bawa aku ke rumah sakit, aku takut janin yang dikandunganku kenapa-kenapa," Revan melihat darah yang ada di kaki Sarah, ia tersenyum lalu menatap Sarah.
"Bagus! Biarkan saja janinmu keguguran," ucap Revan dengan santainya.
"Maksudmu?" tanya Sarah menatap Revan.
"Aku tak menginginkan anak itu," jawab Revan dengan santainya. Setelah mendengarkan ucapan Revan, Sarah sudah tak kuat menahan sakit lagi.
"Sarah!" panggil Revan dengan menggerakkan tubuh Sarah.
"Dia pingsan!" ucap Revan.
Kemudian Revan membawa Sarah ke lantai bawah dan segera masuk ke mobilnya, ia akan membawa Sarah ke rumah sakit. Sebenarnya Revan tidak tega melihat Sarah kesakitan, namun karena marahnya pada Sarah ia tega membiarkan Sarah sampai pingsan.
Setelah sampai rumah sakit, dokter langsung menangani Sarah. Sedangkan Revan menunggunya di luar.
***
Bram yang sedang fokus dengan laptopnya, tiba-tiba ia merindukan wanita yang berada dirumahnya. Bram mencoba menghubungi Hanna, namun Hanna tidak menerima telepon dari Bram.
"Kemana dia? Kenapa teleponku tidak diangkat," Bram takut terjadi sesuatu pada Dafa lagi, jadi ia menghubungi pak Aceng.
"Hallo ada apa tuan?"
"Kau sedang dimana?"
"Saya sedang di jalan, tuan. Mau jemput tuan Dafa."
"Kau bersama Hanna,"
"Ya, tuan."
"Apa dia membawa ponsel?"
"Ya, tuan. Ponselnya sedang dipegang, memangnya ada apa?"
"Tolong bilang kenapa teleponku tidak diangkat?"
Hanna yang mendengar pak Aceng sedang berbicara dengan Bram ia langsung menepuk jidatnya, Hanna sengaja tak mengangkat teleponnya karena ia tak ingin berbicara dengan Bram. Entah kenapa ia sangat malu dengan kejadian pagi tadi.
"Non tolong terima telepon dari tuan Bram," ucap pak Aceng.
"Iya, pak. Tapi saya sedang malas berbicara, tolong katakan padanya." Bram mendengar apa yang dikatakan Hanna, seketika ia tersenyum menatap ponselnya. Ia tahu bahwa Hanna sedang menghindarinya.
Setelah sampai di sekolah Dafa, Hanna langsung masuk ke dalam untuk mencari Dafa. Hanna melihat Dafa sedang berbicara dengan temannya.
"Kamu gak punya ibu kaya aku ya, hari ini aku dijemput ibu dan ayahku," celoteh teman Dafa.
Dafa langsung menunduk setelah ditanya tentang ibunya, ia sangat iri melihat temannya yang dijemput oleh kedua orang tuanya.
Hanna yang melihat itu ia segera melangkah menghampiri Dafa.
"Dafa,"
"Tante cantik," Dafa sangat senang dengan kedatangan Hanna.
"Itu ibumu?" tanya temannya. Dafa pun segera menggelengkan kepalanya.
"Hallo, maaf Tante datangnya telat," ucap Hanna pada Dafa lalu ia tersenyum pada kedua orang tua temannya Dafa.
"Kamu kenapa cemberut, sayang?" tanyanya dengan mengusap rambut Dafa.
"Aku ingin seperti dia Tante, temanku dijemput oleh ibu dan ayahnya," jawab Dafa dengan menunduk, ia menangis karena selama ini tak pernah melihat ibunya.
"Loh, kenapa nangis sayang. Kan Tante ini ibu kamu juga," ucap Hanna mencoba menenangkan Dafa.
Dafa mengangkat kepalanya lalu ia menatap Hanna dan tersenyum padanya.
"Jadi Tante itu ibuku? Hore... Akhirnya Dafa punya ibu," Dafa meloncat-loncat dengan girang.
Kemudian Hanna segera mengajaknya untuk pulang, sedangkan Dafa sangat senang karena Hanna yang mengakui sebagai ibunya.
Seketika Hanna terkejut melihat dua mobil yang sedang menunggunya.
"Ayah..." teriak Dafa, ia langsung berlari menghampiri Bram.
Bram sengaja ingin menjemput Dafa, entah kenapa ia sangat merindukan Hanna dan ingin melihatnya.
"Mas Bram, kenapa dia ada di sini?" tanyanya dalam hati. Bram tersenyum pada Hanna dengan manis, namun Hanna pura-pura tak melihatnya.
"Pak Aceng pulang saja, aku akan pulang bersama Hanna," titahnya pada pak Aceng. Hanna segera menyela ucapan Bram.
"Tidak! Aku akan pulang bersama pak Aceng saja," ucap Hanna.
"Kenapa?" Bram mengerutkan keningnya.
"Aku ingin pulang bersama pak Aceng saja, Mas." Hanna ingin menghindari Bram, ia tak ingin pulang bersama Bram. Hanna masih malu jika harus pulang bersamanya.
"Em jadi kau ingin pulang bersama pak aceng? Apa kamu ini simpanan pak aceng?" seketika Hanna langsung melotot dengan ucapan Bram, begitu juga dengan pak Aceng yang saling tatap dengan Hanna.
"Pak Aceng juga seorang duda, jadi selama ini kamu menyukai pak Aceng?" Bram mulai curiga pada Hanna.
"Mas, mana mungkin aku suka pada pak Aceng. Dia sudah tua," ujar Hanna. Pak Aceng tersenyum pada Hanna, seketika Hanna langsung merinding.
"Ya sudah, kau pulang saja bersama pak Aceng," ucap Bram, lalu ia memegang tangan Dafa untuk segera masuk kedalam mobil.
"Mas! Aku akan pulang denganmu," ucap Hanna menghentikan langkah Bram. Bram tersenyum dengan apa yang dikatakan Hanna.
"Katanya kau ingin pulang bersama pak aceng?" ucap Bram dengan nada mengejek.
"Tidak, Mas. Aku pulang bersamamu saja," Hanna langsung membuka pintu mobilnya lalu ia duduk di kursi depan dengan Dafa.
Pak Aceng menggelengkan kepalanya dengan tersenyum melihat kelucuan mereka berdua.
Setelah masuk kedalam mobil, Bram langsung menatap Hanna.
"Aku tahu, kau pasti memilihku yang tampan ini," ucapnya. Hanna tak menjawab ia pura-pura tak mendengar dan menatap samping jendela untuk menghindari tatapan Bram.
"Benarkan, apalagi tadi pagi kau..." Bram menghentikan ucapannya.
"Diam, Mas! Jangan mengatakan itu di depan Dafa," Bram pun tersenyum.
"Baiklah, aku akan mengatakannya saat kita sedang berdua, rasanya aku ingin lebih lama lagi," seketika Hanna langsung melotot mendengar ucapan Bram. Rasanya ia ingin sekali menutup mulutnya. Bram tertawa melihat ekspresi Hanna.
...----------------...