Karena merasa iba melihat para lansia yang ia jaga dan rawat di Panti Jompo yang dikelolanya, Mariyati ingin menghukum semua keturunan para orang tua itu. Para lansia itu hidup seorang diri hingga tiada, tanpa ada sanak keluarga yang menemani sampai mereka semua dijemput ajal.
Demi membalaskan rasa kecewa para orang tua yang dulu ia rawat di Panti Jompo itu, Mariyati rela bersekutu dengan para iblis dari alam kegelapan. Ia membuat beberapa keturunan para lansia itu, untuk membayar semua perlakuan orang tua mereka, pada Nenek atau Kakek mereka. Dengan cara menumbalkan nyawa para cucu atau cicit dari lansia itu. Akankah Mariyati berhasil menumbalkan nyawa keturunan para lansia yang dulu ia rawat. Karena dengan menumbalkan nyawa keturunan para lansia itu, Nenek atau Kakek mereka dapat kembali hidup. Apakah Mariyati berhasil menjalankan niatnya itu? Baca kelanjutan ceritanya yuk.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Novi putri ang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25 MENJELANG HARI H.
Doni terkapar di depan pintu kamarnya, telapak tangannya masih meningggalkan bekas luka sayatan.
"Don. Lu ngapain tidur disini?" Riko yang baru saja bangun, terkejut melihat teman sekamarnya itu ada di depan pintu.
Dalam keadaan setengah sadar, Riko tak menyadari jika telapak tangan Doni terluka. Doni membuka kedua mata perlahan, ia merasa sebelah tangannya kebas. Ia menggerakkan satu pundaknya, untuk mengurangi rasa kebas. Tapi ia justru terkejut, ketika melihat telapak tangannya ada darah yang mengering di sekitar bekas sayatan.
"Ko. Tangan gue kenapa? Kenapa ada darah kering, apa yang terjadi sama gue?"
"Tenang Don. Jangan panik dulu, kita obatin dulu luka lu!"
Riko mengambil kotak P3K, ia menutup luka Doni dengan perban. Nampak jelas raut wajah kebingungan, Doni beberapa kali berusaha mengingat apa yang terjadi. Tapi percuma, ia tak akan bisa mengingat satu kejadian pun.
"Gue kenapa sih Ko. Aaaargggh!" Seru Doni seraya mengacak rambutnya kasar.
"Apa lu bisa tidur dan bergerak dalam mimpi? Kok lu sampai gak sadar kalau ngelukain tangan sendiri? Wajah lu sampai pucat kayak gitu loh, tapi darahnya mengalir kemana ya Don. Yang ada di telapak tangan lu kayak bekasnya doang." Riko menggaruk kepala yang tak gatal.
"Seumur-umur gue gak pernah tidur sambil jalan. Tapi masak iya semalam gue sendiri yang nyayat tangan. Aduh kepala gue jadi pusing Ko, badan gue juga lemes banget lagi!"
Riko memapah Doni ke tempat tidur. Nampak jelas wajah pucat Doni, serta tubuhnya yang kehilangan tenaga. Entah hari ini ia bisa mengurus Kakek Dodit atau tidak.
"Lu istirahat dulu deh Don, ntar gue bilang ke Bu Mariyati kalau gak enak badan."
Riko memulai kegiatannya dengan membersihkan kamar mandi. Tak berselang lama nampak kedua kakek sudah keluar dari kamar. Mereka duduk santai di taman belakang.
"Loh kakek Dodit udah mandi sendiri?" Riko hampir tak berkedip, melihat kakek Dodit sudah rapi tanpa bantuan Doni.
Kakek Dodit tersenyum miring, ia mengatakan sudah belajar untuk membersihkan diri sendiri. Dan kebetulan kakek Bimo pun membantunya.
"Kenapa kau bekerja seorang diri?"
"Loh kakek Ridho sudah mandi juga? Kenapa gak tunggu Riko aja kek?" Riko membalikkan tubuhnya ke belakang, ia terkejut melihat ketiga kakek itu sudah rapi tanpa bantuan siapapun.
"Hari ini kau pasti sangat sibuk, jadi aku ingin meringankan pekerjaan mu."
"Sepertinya sih gitu kek." Sahut Riko dengan menghembuskan nafas panjang.
"Loh darimana kakek Ridho tau, kalau hari ini gue bakal sibuk? Ah mungkin aja kakek Ridho udah lihat kondisi Doni di kamar." Batin Riko di dalam hati dengan mengaitkan kedua alis mata.
Dina berjalan gontai menuju kamar mandi, nampak wajah lelahnya. Ia bersender di depan tembok kamar mandi. Tak berselang lama Sintia dan Widia juga datang, mereka menunggu Riko menyelesaikan pekerjaannya.
"Udah beres tuh kalau kalian mau mandi. Tapi nanti bantu gue ngurus para kakek ya. Soalnya Doni lagi gak enak badan."
"Sorry Ko, gue gak bisa bantu lu. Badan gue juga agak lemes nih mana sakit semua lagi, kayak habis di injek-injek badak bercula satu!" Keluh Dina meringis merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Dan dibalas anggukan kepala oleh Riko.
"Lu kurang tidur deh Din, mata lu sayu banget sih!" Widia merespon seraya memperhatikan Dina dengan lebih dekat.
"Gak tau deh gue, di kamar nek Dijah gue tidurnya sambil duduk di kursi. Mungkin bener juga kalau gue kurang istirahat."
"Kenapa gak balik ke kamar kita aja Din? Kalau semuanya sakit yang ngurus para orang tua siapa. Gue ijinin ke bu Mariyati ya, biar lu bisa istirahat hari ini." Pungkas Sintia, ia cemas melihat kondisi Dina yang terlihat lemas.
"Gak usah sok perduli deh! Gue baik-baik aja kok, lagian gue bisa minta ijin sendiri. Jadi lu gak usah cari perhatian di depan orang lain!" Sahut Dina ketus.
Sintia hanya menghembuskan nafas panjang, ia memang sudah terbiasa sabar menghadapi segala perkataan pahit dari Dina. Sementara Widia dan Riko hanya menggelengkan kepala, keduanya heran melihat sikap Dina yang selalu dingin pada Sintia. Padahal Sintia hanya bermaksud baik padanya.
Setelah mandi, mereka semua menyiapkan sarapan di dapur. Para lansia sudah duduk di meja makan, tak lama Mariyati datang.
"Loh Mbah Gito gak ikut makan bu?" Tanya Widia seraya menyiapkan makanan.
"Mbah Gito sudah pulang sebelum subuh tadi. Jadi kalian tak perlu lagi menyiapkan makan untuknya." Jawab Mariyati dengan suara datar.
"Sintia, pergilah bersama Widia untuk ke pasar. Besok ada acara syukuran untuk ulang tahun kakek Dodit. Karena hari ini Doni sakit, jadi Riko tak bisa menemani mu. Bayar saja kuli panggul untuk membantu kalian membawa barang belanjaan." Imbuh Mariyati seraya menyerahkan daftar belanja yang harus dibeli.
Sintia membaca selembar kertas pemberian Mariyati. Nampak beraneka bahan untuk sesajen yang harus dibelinya. Termasuk ayam jantan hitam beserta bunga tujuh rupa.
"Kita gak beli kue tart aja bu?"
"Tidak perlu, kakek Dodit tak menyukai nya. Pastikan saja kalian mendapat ayam hitam itu. Ini anggaran belanja nya." Jelas Mariyati seraya menyerahkan amplop coklat yang berisi uang.
Dina langsung protes pada Mariyati, karena ia merasa keberatan jika harus mengurus para lansia perempuan seorang diri.
"Lantas apa kau saja yang pergi berbelanja ke pasar Dina?"
Dina menghembuskan nafas panjang, ia paling anti bepergian ke pasar tradisional. Jadi dengan cepat ia menggelengkan kepala.
"Saya di Panti saja bu!" Pungkas Dina seraya membersihkan meja makan.
Nek Dijah langsung memerintah Dina memapah nya ke teras belakang. Ia merasa sesak jika harus berada di satu tempat yang sama dengan Nek Siti.
"Nek, Sintia pergi dulu ya sama Widia. Tolong titip Nek Windu sebentar."
"Iya Sin, hati-hati lah. Minta petunjuk pada Yang Maha Kuasa, karena ketika kau berada diluar sana, kau dapat langsung mengingat Tuhan mu. Lalu saat kau bertemu dengan seseorang yang menceritakan sejarah tempat ini, memohonlah padanya supaya dia mau membantu mu. Kelak kau akan dalam keadaan terpojok, dan hanya orang itu saja yang dapat menolong mu. Sikapnya padamu tergantung bagaimana kau memperlakukan nya. Dia akan baik pada orang yang memiliki aura positif, tapi dia bisa menjadi jahat jika seseorang di dekatnya memiliki aura negatif." Jelas Nek Siti berbicara setengah berbisik.
Sintia tercekat tak dapat berkata-kata, ia kebingungan menelaah ucapan Nek Siti.
"Seseorang diluar sana yang menceritakan sejarah tempat ini hanya Pak Kirun. Mungkinkah dia yang Nek Siti bicarakan?" Batin Sintia di dalam hati dengan mengaitkan kedua alis mata.
Baru saja Sintia ingin mengajukan pertanyaan, kedatangan Mariyati membuatnya memendam tanya. Mariyati sudah bersiap untuk membukakan pintu depan. Ia berpesan untuk tak banyak berkomunikasi dengan orang diluar Panti, karena menurut Mariyati banyak orang yang terlihat baik namun memiliki tujuan tertentu pada pendatang seperti mereka.
padahal cuma baca tapi panas dingin nya beneran cok