Sudah lama menikah, tapi belum pernah merasakan malam pertama?
Mustahil!
Mungkin itu yang akan orang katakan.
Tapi, ini benar-benar terjadi pada Vania.
Saat memutuskan untuk menikah muda,Vani justru dihadapkan dengan kenyataan pahit. Suaminya tidak mau menyentuhnya sama sekali. Bahkan di malam pertama pernikahannya, Faisal meninggalkannya begitu saja.
Entah apa alasannya, Vani sendiri tak mengerti.
Tinggalkan jejaknya sayonk😊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Lana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Suami Kamu Manager, kan?
"Kamu belum pulang, Van?" Renan terkejut mendapati Vani masih berada di rumahnya saat jam sudah menunjuk angka tujuh malam. Padahal Vani biasanya sudah pulang paling lambat sekitar jam lima sore, itu kata Bik Minah yang setiap kali ada di rumah.
"Em ... anu, Pak. Saya ada perlu sedikit." Vani menunduk, meremas jemarinya yang terasa dingin. Sejujurnya Vani malu, hampir setiap bulan ia selalu mengambil uang gajinya sebelum jatuh pada tanggal gajian. Tapi, mau bagaimana lagi? Uang bulanan yang Faisal berikan padanya sudah menipis. Sedangkan untuk meminta tambahan pada suaminya, Vani harus berpikir berulangkali. Selain Faisal belum tentu punya, pasti nanti malah berujung pertengkaran seperti pagi tadi.
"Ya udah, saya taruh tas kerja dulu. Kamu nggak apa-apa, kan?" Renan berjalan meninggalkan Vani menuju kamarnya. Melepas dasi yang melilit di leher, Renan kembali ke ruang tamu setelah meletakkan benda itu di atas meja kamar.
"Van ... ?"
"Eh, ya, Pak. Saya .....?" Seperti biasa Vani mendadak ragu saat ingin mengungkapkan. Vani terlihat gelisah sendiri hingga akhirnya Renan yang bersuara lebih dulu.
"Apa ini mengenai gaji kamu lagi?" Renan terpaksa memancingnya. Ia tahu jika tanggal-tanggal seperti ini biasanya Vani akan mengambil separuh gaji bulannya.
Kali ini Vani mendongak dengan wajah merah padam. Vani sangat malu karena Renan sampai hapal kebiasaannya yang meminta uang gaji sebelum jatuh pada tanggalnya.
"I–iya, Pak," jawab Vani sedikit gugup.
Renan menghela napas panjang. Ia sama sekali tidak keberatan. Toh, itu memang hak Vani. Tapi yang menjadi pertanyaan Renan, bagaimana tanggung jawab suaminya hingga Vani harus selalu berada di situasi macam itu? Apa suami Vani tidak pernah memberikan nafkah yang cukup untuk wanita itu?
"Van ...?"
"Tapi, jika Pak Ren keberatan nggak apa-apa kok," ucap Vani tiba-tiba. Mungkin Vani menyangka jika diamnya Renan pertanda jika laki-laki itu tidak bisa mengabulkan permintaannya.
"Bukan itu maksud saya, Van." Renan kembali mengambil napas dalam-dalam. "Apa suami kamu nggak pernah kasih nafkah yang cukup? Em .... maksud saya, apa dia nggak pernah tahu kalau uang bulanan yang ia kasih nggak pernah cukup sampai akhir bulan?" Renan terpaksa merubah pertanyaan agar Vani tidak merasa tersinggung.
"Maafkan saya, Pak." Kini Vani malah mengucapkan kata maaf. Entah apa maksud dari wanita itu.
"Kenapa kamu malah minta maaf?"
"Karena udah buat Pak Renan nggak nyaman."
"Bukan itu maksud saya, Van. Suami kamu manager, kan?" tanya Renan kembali. Vani nampak terkejut mengetahui jika Renan tahu mengenai pekerjaan Faisal.
"Iya, Pak. Mas Faisal bekerja sebagai manager keuangan di salah satu perusahaan swasta. Gajinya pun cukup lumayan. Tapi ....?" Vani mendadak bungkam. Haruskah ia berbicara terus terang? Tapi, apa pantas mengumbar aib mertuanya sendiri.
"Cukup, Van. Kamu nggak perlu lanjutin cerita kamu."
Renan hanya tidak ingin memaksa Vani. Biarlah, Renan berikan saja apa yang Vani minta.
"Ini gaji kamu satu bulan. Ambillah." Renan menyodorkan amplop berwarna coklat ke hadapan Vani. Awalnya Vani terlihat ragu untuk mengambilnya. Tapi, Renan buru-buru menarik tangan Vani untuk segera menerima amplop yang sudah ia siapkan dari dalam kamar tadi.
.
.
.
Vani pulang dengan langkah ringan. Ia tidak perlu pusing lagi memikirkan bagaimana besok pagi ia akan berbelanja karena gaji bulan ini sudah tersimpan rapi di dalam dompet.
Vani memeriksa jam pada ponsel miliknya, ternyata sudah menunjuk angka delapan malam saat ia tiba di halaman rumah. Vani tidak tahu apa malam ini Faisal akan lembur atau tidak, sebab pagi tadi Faisal berangkat ke kantor dalam keadaan marah.
Sudahlah. Vani membuka pintu rumah dengan tarikan napas panjang berkali-kali. Vani hampir menutup pintu itu kembali saat sebuah suara seorang wanita tiba-tiba terdengar dari arah luar sana.
"Permisi, Mbak. Apa orang tua kamu ada di rumah?" tanya wanita yang Vani perkirakan berumur empat puluhan itu. Wanita itu bersama seorang laki-laki muda yang berdiri tepat di sampingnya.
"Maaf. Ibu siapa yah?" tanya Vani tak mengerti. Vani sama sekali tidak mengenal siapa mereka.
"Saya tetangga baru yang menempati rumah sebelah. Apa orang tua kamu udah ada di rumah? Kami berniat ingin silaturahmi," ucap wanita itu lagi.
Vani langsung mengembangkan senyumnya. Sedangkan laki-laki muda tadi langsung berbinar melihat senyum indah milik Vani.
Pantas saja Vani belum pernah melihat mereka. Ternyata ibu dan laki-laki tadi adalah orang baru yang menempati rumah sebelah.
"Saya tinggal berdua dengan suami saya, Bu."
Duarrr!
Petir seolah menyambar dengan tiba-tiba. Laki-laki muda di depan sana nampak mundur beberapa langkah dengan kedua mata yang nyaris melompat keluar.
"Beneran, mbak udah punya suami?" tanya laki-laki tadi memastikan. Seakan belum percaya dengan apa baru saja ia dengar.
"Iya. Saya tinggal berdua sama suami saya." Vani mengulang ucapannya lagi.
"Yah ... telat dong!" Laki-laki muda tadi berbisik pelan. Tapi tentu saja Vani dan sang ibu masih bisa sedikit mendengarnya.
"Awww .. sakit, Buk!" pekik laki-laki berumur belasan itu kearah ibunya.
"Kalau ngomong itu di jaga, Le. Kamu macam orang nggak punya sopan santun aja!" Wanita itu melotot kearah anaknya.
"Oh, maaf, Mba. Ibu kira Mbak tinggal sama orang tuanya. Maaf ya?" Wanita itu tersenyum canggung, merasa tidak enak sendiri karena sudah salah sangka.
"Nggak apa-apa, Bu. Mari masuk. Tapi, suami saya belum pulang."
Vani membuka pintu lebar-lebar dan mempersilahkan dua tamunya untuk masuk.
"Eh iya, Mbak, makasih. Mungkin kain kali aja. Soalnya kami juga belum selesai beres-beres. Oh ya, ini ada sedikit oleh-oleh dari Ibu." Wanita tadi menyodorkan satu kotak roti buatannya sendiri pada Vani.
"Saya Bu Ratna. Dan, ini anak saya namanya Bagas."
"Saya Vania, Bu. Makasih oleh-olehnya, jadi merepotkan Ibu." Vani menyalami wanita bernama Ratna tadi, lalu Vani beralih pada laki-laki di sebelahnya, namun hanya senyuman yang Vani berikan.
"Saya nggak di salami, Mbak?" protes Bagas pada wanita anggun di depannya.