Mandala Buana seperti berada di dunia baru, setelah kehidupan lamanya dikubur dalam-dalam. Dia dipertemukan dengan gadis cantik bernama Gita, yang berusia jauh lebih muda dan terlihat sangat lugu.
Seiring berjalannya waktu, Mandala dan Gita akhirnya mengetahui kisah kelam masa lalu masing-masing.
Apakah itu akan berpengaruh pada kedekatan mereka? Terlebih karena Gita dihadapkan pada pilihan lain, yaitu pria tampan dan mapan bernama Wira Zaki Ismawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DUA PULUH EMPAT : KEPARAT TUA
Gita menoleh, menatap waswas kepada Rais. Dia berpikir cepat mencari alasan, agar tak menimbulkan masalah lagi. “Sebentar, Mas. Biar kubungkus dulu nasi gorengnya," ujar gadis itu, tak langsung menanggapi ucapan Rais.
“Jadi berapa?” tanya Mandala datar, tanpa memedulikan kehadiran Rais. Dia lebih tertarik melihat ekspresi Gita yang gelisah. Mandala yakin gadis itu pun pasti mendapat tekanan serupa, seperti yang Rais lakukan padanya.
“Dua belas ribu,” jawab Gita pelan.
Mandala merogoh ke saku celana, lalu mengeluarkan uang sebanyak lima belas ribu. “Kembaliannya titipkan saja pada Arun.” Setelah berkata demikian, Mandala berlalu dari dapur. Tak dipedulikannya Rais, yang menatap dengan sorot aneh penuh selidik.
“Apa yang kamu lakukan dengan bajingan itu di sini?” tanya Rais penuh penekanan.
“Bapak melihatnya sendiri barusan,” jawab Gita cukup pelan.
“Jangan mencari alasan, Gita!” Rais menarik lengan Gita, mencengkeram kencang sehingga membuat gadis itu meringis kesakitan. “Saya akan menahan diri untuk tidak memukulmu lagi ….”
“Aku akan lebih dulu menghajarmu, Tua bangka!” Satu pukulan keras mendarat di pelipis Rais sehingga membuat pria itu langsung terkapar di lantai. Tak puas, Mandala kembali menghantamkan bogem mentah sebanyak dua kali. Dia bisa saja terus menghajar sang mandor, andai Gita tidak segera menghentikannya.
“Jangan, Mas. Tolong hentikan.” Sekuat tenaga, Gita menarik Mandala agar menjauh dari Rais yang sudah tak berdaya.
“Anjing tua sialan! Biarkan aku menghabisinya sekarang juga!” Mandala bermaksud kembali menghajar Rais.
“Tidak, Mas. Tolonglah. Jangan menambah masalah!” pinta Gita tegas. Dia tak menyangka Mandala akan melakukan itu demi membelanya.
“Cecunguk tidak tahu malu! Berani sekali kamu ….” Meski sudah dalam keadaan terluka, Rais masih sempat mengumpat terhadap Mandala.
“Kamu yang tidak tahu malu, Brengsek! Aku tidak akan menyesal bila harus masuk penjara karena membunuh tua bangka sialan sepertimu!” Telunjuk Mandala tertuju lurus kepada Rais, yang tengah berusaha bangkit sambil mengelap darah dari hidung dan sudut bibir.
“Ayo, Mas.” Tak ingin membiarkan situasi makin memanas, Gita memaksa Mandala keluar dari warung nasi. Ditariknya pria itu sekuat tenaga, berhubung Mandala menolak dan justru hendak kembali menyerang Rais.
“Tolonglah, Mas!” tegas Gita, seraya berpindah ke hadapan Mandala. Didorongnya pria itu hingga mundur.
“Jangan halangi aku, Gita! Biarkan aku menghabisi keparat tua itu!”
“Tidak, Mas! Jangan lakukan apa pun!” cegah Gita tegas, seraya terus mendorong Mandala sampai ke pintu keluar.
“Seharusnya, kamu tidak bersikap seperti ini! Jika kuhabisi keparat tua itu, maka hidupmu akan terbebas darinya!”
“Tidak dengan cara seperti itu, Mas!” bantah Gita tegas. “Tidak dengan cara seperti itu.”
Gita menatap tajam. Namun, makin lama sorot matanya makin melunak. “Jangan libatkan dirimu dalam kehidupanku yang berantakan.”
“Aku hanya ingin membantumu,” ucap Mandala penuh penekanan.
“Aku tahu. Akan tetapi, Mas Maman tidak perlu melakukan apa pun. Jangan membuatku merasa bersalah karena telah membuat hidup seseorang menjadi tak nyaman.”
“Aku tidak merasa seperti itu,” bantah Mandala.
“Pak Rais adalah mandor di sana, di tempat Mas Maman bekerja. Itu tak akan berdampak baik untukmu, Mas.”
“Aku tidak peduli. Aku tidak akan tinggal diam melihat keparat tua itu memperlakukanmu dengan sesuka hatinya. Jika yang lain berpura-pura tidak tahu, maka aku sebaliknya,” ucap Mandala pelan, tapi penuh penekanan.
“Ini bukan sesuatu yang aneh, Mas.”
“Dia sudah biasa melakukan kekerasan fisik padamu? Aku mendengarnya, Gita! Dia memukulmu!”
Gita terdiam. Memberikan bantahan hanya akan menambah panas suasana. Lagi pula, Mandala tidak akan percaya dengan alasan apa pun yang dirinya ungkapkan.
“Sudah seberapa sering keparat itu melakukan kekerasan fisik terhadapmu?” tanya Mandala penuh penekanan.
“Tidak sering,” jawab Gita pelan.
“Tidak sering artinya dia biasa melakukan itu padamu!” tegas Mandala kesal.
“Hanya jika aku melakukan kesalahan,” jelas Gita.
“Kesalahan? Apakah kamu tidak boleh membuat kesalahan?”
“Setiap orang tidak boleh melakukan kesalahan,” balas Gita.
“Kesalahan harus ada untuk dijadikan sebagai bahan evaluasi!” tegas Mandala. Dia gemas sendiri karena Gita terkesan menutupi apa yang sudah Rais lakukan, bahkan cenderung menganggap bahwa semua yang pria itu lakukan bukan merupakan sesuatu yang harus dianggap serius.
“Jangan membela keparat tua itu, Gita,” ucap Mandala lagi. Kali ini, nada bicaranya terdengar lebih tenang. “Pikirkan sesuatu tentang hakmu sebagai gadis yang seharusnya menikmati masa muda dengan hal yang lebih positif.”
“Aku tidak mau memikirkan hal-hal yang sudah jelas tak dapat dilakukan. Kenyataannya karena aku berada di sini dan melakukan segala hal yang …. Seperti inilah hidupku, Mas.”
“Tidak akan membaik jika kamu tak berniat keluar untuk mencari jalan yang lebih baik.”
“Aku terjebak.”
“Seseorang yang terjebak, seharusnya berusaha mencari jalan keluar!”
“Aku sudah mencoba, tapi tidak pernah berhasil,” bantah Gita.
“Aku tidak melihatnya!”
“Aku putus asa, Mas!” Nada bicara Gita tiba-tiba berubah. Dia menjadi sangat emosional karena semua ucapan Mandala yang dirasa memojokkannya.
“Dan kamu menolak bantuanku.”
“Bantuan seperti apa? Dengan cara menghabisi Pak Rais?” Gita menatap tajam. Tak berselang lama, sorot matanya kembali melunak. “Bukankah Mas Maman tidak menyukai wanita sepertiku? Lalu, kenapa harus melakukan sesuatu yang berisiko?”
“Aku memang tidak menyukai pela•cur.”
“Ya. Mas Maman sudah mengatakan itu berkali-kali.”
“Itu tidak berarti aku mengabaikan hak asasi yang seharusnya diperjuangkan.”
“Hak asasi,” gumam Gita, kemudian tersenyum getir. “Aku sudah kehilangan itu sejak belasan tahun yang lalu. Untuk apa diperjuangkan lagi?”
“Jangan bodoh! Kamu masih muda.” Mandala menghadapkan Gita padanya. Memegangi lengan gadis itu agar tidak menghindar. “Kamu harus melepaskan diri dari kungkungan Rais. Jangan menyerah padanya.”
“Apa yang harus kulakukan, Mas? Aku tidak berani melawannya.” Air mata terjatuh membasahi pipi mulus Gita, menandakan keputusasaan yang begitu besar.
Mandala tak langsung menanggapi. Ditatapnya Gita begitu dalam, seakan tengah berusaha menemukan sesuatu yang masih samar dan membuatnya ragu dalam bertindak.
Perlahan, Mandala melepaskan pegangan dari kedua lengan Gita. Dia menelan ludah dalam-dalam, lalu mengembuskan napas berat. “Ikutlah denganku.”
“A-apa?” Gita menatap tak percaya.
“Ya. Apa kamu mau ikut denganku?”
“Ikut ke mana?”
“Menjauh dari sini. Kamu bisa memulai hidup baru. Mencari pekerjaan baru dan ….”
“Mas Maman! Awas!” pekik Gita nyaring, membuat orang-orang yang kebetulan melintas di sana langsung menoleh.
“Ah!” pekik Mandala tertahan. Darah segar mengucur deras dari pundaknya. Sebilah pisau dapur menancap di sana.
Mandala berbalik. Dia mendapati Rais sudah berdiri sambil menyeringai lebar.
Merasa sudah berhasil melemahkan Mandala, Rais bermaksud menyerang dan berniat melumpuhkan pria itu. Namun, beberapa orang dengan sigap mengamankannya.
woy kalian berdua tuh ada apa sebenernya
Gita kan Lom tahu sipat asli kalian berdua