Asila Angelica, merutuki kebodohannya setelah berurusan dengan pemuda asing yang ditemuinya malam itu. Siapa sangka, niatnya ingin menolong malah membuatnya terjebak dalam cinta satu malam hingga membuatnya mengandung bayi kembar.
Akankah Asila mencari pemuda itu dan meminta pertanggungjawabannya? Atau sebaliknya, dia putuskan untuk merawat bayinya secara diam-diam tanpa status?
Penasaran dengan kisahnya? Yuk, simak kisahnya hanya tersedia di Noveltoon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Dw, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24. Siapa Mereka
"Mommy, ayo kita pulang saja! Aku bosen di sini mulu!"
Belum genap dua hari Sheila sudah tak betah berada di rumah sakit. Dia tak berhenti merengek mengajak ibunya pulang.
Di ruang VVIP memang lumayan sepi, bahkan hanya beberapa orang yang berlalu lalang di depan ruangannya. Sangat berbeda dengan ruangan umum, sudah pasti banyak pasien yang lebih memilih ruangan umum, selain harganya lebih murah di situ juga lumayan ramai dengan pengunjung yang berdatangan.
Edgar sengaja memberikan tempat yang nyaman agar waktu istirahat putrinya tak terganggu dengan pasien lain, tapi sayang sekali niat baiknya tak membuat Sheila senang dan merengek meminta pulang.
"Sayang, dokter kan belum kasih izin buat pulang. Untuk sementara waktu Sheila masih harus dirawat di sini sampai benar-benar sembuh. Sebaiknya Sheila istirahat saja, biar badannya lekas sehat dan diizinkan pulang oleh dokter," nasehat Asila.
Asila sendiri juga merasa bosan dan kesepian. Sejak pagi keluarganya pulang karena memiliki pekerjaan yang tidak bisa ditingkatkan, begitupun juga dengan Edgar, dia sudah berkali-kali dihubungi oleh asistennya untuk segera datang ke kantor.
"Mom, kenapa sih, mommy mau aja dideketin sama om bodoh itu! Mommy nggak takut dibohongi sama dia?" tanya Dylan dengan matanya fokus ke layar handphone. Dylan cukup terganggu dengan keberadaan Edgar. Dia masih kesal mengingat beberapa hari sebelumya sempat berdebat dan dia dianggap sebagai anaknya maling. Ditambah lagi dengan pengakuan pria itu sebagai ayahnya, semakin jengkelnya saja dia.
"Bukan mommy yang deketin Lan, tapi dia yang nggak mau pergi," bantah Asila. "Tapi mommy kasih saran pada kalian agar tidak terlalu membencinya. Om Edgar sudah membantu adik kamu, tanpa bantuannya siapa yang akan membantu adikmu? Mommy hanya ingin kalian menghormatinya, biar bagaimanapun juga om Edgar sudah banyak membantu kita. Jadilah anak yang baik, jangan jutek-jutek sama dia."
Dylan mendengus. Ia merasa ibunya lebih peduli pada pria itu dibandingkan dengan dirinya. Jelas-jelas pria itu sudah membuatnya kesal tapi ibunya masih memintanya untuk tetap menghormati.
"Kok aku ngerasa mommy sekarang lebih peduli padanya dibandingkan dengan kami?Hanya karena dia udah bantu Sheila mommy langsung menyanjungnya. Mommy masih ingat kan saat dia ngatain kami maling? Dan mommy memaafkannya begitu saja?"
Asila terkekeh menanggapi ocehan anak laki-lakinya yang masih terlihat begitu kesal karena ulah ayahnya. Bahkan kebencian mereka sudah mendarah daging seolah-olah tak lagi ada kesempatan untuk memaafkannya.
"Percayalah! Dia sedang mengatai dirinya sendiri, biarkan dia mau ngomong apa nggak usah diambil hati. Kalian itu masih anak-anak, nggak baik melawan orang yang lebih tua. Lagi pula dia kan udah minta maaf pada kalian. Apa susahnya kalian maaf dia? Anak baik itu nggak akan pernah menyimpan dendam. Anak baik itu selalu nurut apa yang dikatakan oleh orang tua. Kalau kalian nggak nurut sama mommy, kalian mau nurut siapa lagi?"
Dylan terdiam masih fokus menatap layar handphonenya. Dia cukup kecewa dengan penjelasan ibunya yang lebih memihak pria itu. Sebegitu kuat pengaruhnya sampai-sampai sang ibu berniat untuk berdamai dengannya.
"Kak, benar apa yang dikatakan oleh mommy, kita nggak boleh melawan orang tua apalagi memusuhinya. Om mungkin udah buat kita kecewa, tapi di situ kita juga salah. Kalaupun untuk membalas dendam kan nggak harus ngejatuhin usaha orang juga kan? Pantas saja dia marah, orang uangnya langsung ilang semua gara-gara ulah kita. Nggak salah kan kalau dia marah terus ngatain maling, meskipun kita nggak mencuri kan kita yang buat dia rugi. Aku harap kakak tidak egois dan mau memaafkannya."
"Sekarang kamu juga udah maafin dia dek?"
Gadis itu mengangguk. "Hm..., apa salahnya ngasih maaf, toh dia juga mengakui kesalahannya. Tuhan aja maha pemaaf kok kita yang hanya manusia biasa nggak mau maafin kesalahan orang lain? Lalu apa bedanya kita sama orang jahat?"
Dylan menggembungkan pipinya. Cukup jengkel dengan kembarannya yang tiba-tiba berubah peduli pada pria itu. Mentang-mentang sudah dibantu langsung memberinya maaf.
"Hm..., kamu sudah kemakan rayuannya dek! Hanya karena dibantu kamu langsung maafin dia. Dia loh, nggak ada hubungannya sama kita! Jadi kita nggak harus berbaik hati padanya. Dia udah ngatain Daddy kita maling. Kasian kan..., pasti arwah Daddy nangis dengernya."
Asila menahan tawanya mendengar celotehan anak laki-lakinya. Dylan masih saja menganggap ayahnya sudah tiada, padahal pria itu sudah memberinya penjelasan, tapi tetap saja tak membuatnya percaya, mungkin dia masih terlalu kecil untuk mengerti.
"Assalamualaikum."
Tiba-tiba ada suara seorang perempuan mengetuk pintu. Mereka semua menoleh ke arah pintu dan mendapati seorang wanita tua bersama dua orang di belakangnya.
Kening Asila mengkerut menatap salah satu dari mereka. Dia mengulas senyum ketika mengingat sosok wanita tua yang dulu pernah bertemu di mall, dan wanita itu yang sudah menyelamatkan putrinya yang tengah tersesat.
"Waalaikumsalam, Tante..., Om..., mari silahkan masuk."
"Terimakasih." Mereka bertiga langsung masuk dan berjabat tangan dengannya.
"Loh, ini kan nenek yang kasih kue aku waktu itu?"
Ternyata si kembar Sheila masih mengingat mereka. Dia senang bisa bertemu kembali dengan orang yang pernah menolongnya.
"Halo sayang, kamu masih ingat sama nenek?"
"Iya, aku mengingatnya. Waktu itu nenek kasih aku kue."
"Pintar sekali," pujinya dengan mengulas senyuman manis.
"Kok Tante tahu kalau anak saya dirawat di sini? Siapa yang udah kasih tahu?"
Asila meminta mereka duduk di sofa yang bersedia. Dia nampak begitu canggung dan merasa asing dengan mereka.
"Kami dikasih tahu sama Edgar. Dia bilang anaknya dirawat di rumah sakit ini. Kami berinisiatif untuk menjenguk. Maafkan kami yang datang tanpa memberitahumu terlebih dulu. Kami sangat mengkhawatirkan cucu kami."
"Cucu kami? Em..., maksud Tante?"
Asila tak tahu sebenarnya siapa sosok wanita itu, kenapa dia mengenal Edgar?
"Iya nak, Edgar itu anak laki-laki kami. Dia memberitahu kami tentang kalian. Maafkan kami yang tidak mengenali kalian nak, waktu itu kita pernah ketemu, dan kami tidak tahu kalau bocah kecil ini bagian dari keluarga kami. Kami tidak pernah menyangka Edgar sudah memiliki anak sebesar ini. Bahkan kami selalu mendesaknya untuk segera menikah. Pria itu terlalu bodoh, bisa-bisanya dia menyembunyikan hal sebesar ini."
Asila terbengong mendengar penjelasan dari wanita tua itu. Dia tak pernah menyangka, mereka bagian dari keluarga pria yang sudah memberinya anak.
"Oh...., jadi Tuan Edgar itu anaknya Tante?"
"Hah? Tuan?" Tiga orang itu saling pandang dan melepas tawa.
"Iya betul nak, Edgar anak laki-lakiku. Kami memiliki empat orang anak. Kakak pertamanya Edgar tinggal di luar negeri dan sudah berumah tangga, sedangkan Edgar dan kedua adiknya tinggal bersama kami. Kalau Edgar sendiri sering tinggal di rumah pribadinya, jarang sekali dia ngumpul bareng kami."
Diah bergegas menuju berankar dan menyapa dua bocah kecil yang tengah mengobrol. Di situ Sheila antusias menyambutnya, berbeda lagi dengan kembaran Dylan, anak itu memasang wajah dingin.
"Halo sayang, bagaimana kabar kalian? Nenek boleh gabung di sini nggak?"
"Boleh nenek," jawab Sheila. "Nenek, kemarin aku didorong sama temanku di sekolah. Aku terguling di tangga. Habis itu aku pingsan dan dibawa ke rumah sakit." Sheila mengadu dan menunjukkan bekas lukanya yang masih diperban.
"Ya ampun sayang! Kenapa bisa seperti ini? Siapa yang sudah tega mendorongmu?" tanya Diah dengan memegang lukanya yang masih tertutup oleh kain kasa.
"Temanku yang dorong, dia nakal sekali. Dia juga suka merebut bekalku!"
Dylan menepuk pundaknya. "Kamu tenang aja dek, besok aku yang akan memberinya pelajaran!"