NovelToon NovelToon
Belenggu Ratu Mafia

Belenggu Ratu Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Romansa Fantasi / Roman-Angst Mafia / Persaingan Mafia / Fantasi Wanita / Dark Romance
Popularitas:239
Nilai: 5
Nama Author: Mr. Nanas

Isabella bersandar dengan anggun di kursinya, tatapannya kini tak lagi fokus pada steak di atas meja, melainkan sepenuhnya pada pria di hadapannya. Ia menguncinya dengan tatapannya, seolah sedang menguliti lapisan demi lapisan jiwanya.

"Marco," panggil Isabella, suaranya masih tenang namun kini mengandung nada finalitas absolut yang membuat bulu kuduk merinding.

"Ya, Bos?"

Isabella mengibaskan tangannya ke arah piring dengan gerakan meremehkan.

"Lupakan steaknya."

Ia berhenti sejenak, membiarkan perintah itu menggantung, memperpanjang siksaan di ruangan itu. Matanya yang gelap menelusuri wajah Leo, dari rambutnya yang sedikit berantakan hingga garis rahangnya yang tegas.

"Bawa kokinya padaku. Besok pagi."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr. Nanas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Penjara Harapan

Kemenangan memiliki rasa yang aneh. Terkadang, rasanya seperti anggur termahal, memabukkan dan penuh dengan janji. Terkadang, seperti yang dirasakan Leo dan Isabella saat mereka berdiri di tengah balai biliar Bangau yang kini tunduk pada mereka, rasanya seperti abu. Telepon Leo yang menampilkan berita tentang karantina wilayah adalah lonceng kematian bagi euforia mereka yang baru lahir. Mereka telah berhasil merebut sebuah benteng di jantung Sarang Tawon, hanya untuk menyadari bahwa sang musuh telah memutuskan untuk membangun tembok raksasa di sekeliling seluruh benteng dan kerajaan kecil mereka.

"Dia akan mengurung kita bersama jutaan warga sipil... dan membiarkan kita semua kelaparan sampai mati."

Bisikan Bianca yang penuh kengerian melalui komunikator itu menyebar ke seluruh ruangan seperti gas beracun, mencekik sisa-sisa kemenangan mereka. Bangau, yang beberapa saat lalu baru saja menyerahkan kerajaannya, wajahnya langsung berubah dari kekaguman menjadi kemarahan seorang pria yang merasa ditipu.

"Jebakan!" raungnya, menatap Leo dengan mata menyala. "Kau membawaku ke dalam ini! Kau tahu ini akan terjadi! Kau menjadikanku dan rakyatku sebagai tameng manusia!" Anak buahnya yang tadinya menunduk hormat, kini kembali mencengkeram senjata mereka, suasana di ruangan itu kembali tegang.

Aliansi mereka yang baru berumur beberapa menit sudah di ambang kehancuran.

Tapi Leo tidak panik. Ia menatap Bangau dengan tenang. "Kau salah," katanya, suaranya memotong amarah Bangau. "Aku tidak tahu ini akan terjadi. Tapi ini membuktikan apa yang kukatakan padamu. Musuh kita, Soeharto, dia tidak peduli padamu, padaku, atau pada jutaan orang di luar sana. Bagi dia, mereka semua hanyalah bidak yang bisa dikorbankan. Dia tidak hanya mengurung kita, Bangau. Dia mengurung rakyatmu. Dia menyatakan perang terhadap kedaulatanmu. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah kau akan marah padaku, atau kau akan marah pada pria yang baru saja menempatkan tali kekang di leher seluruh Sarang Tawon?"

Logika dingin itu berhasil meredam amarah Bangau. Ia melihat kebenaran dalam kata-kata Leo. Ini bukan lagi tentang perebutan kekuasaan internal. Ini adalah invasi dari dunia luar. "Lalu apa yang akan kita lakukan, Koki?" tanyanya, nada permusuhannya berubah menjadi kekhawatiran yang suram. "Kita terjebak."

"Untuk saat ini, ya," jawab Leo. "Tapi setiap sangkar memiliki jeruji. Dan setiap jeruji memiliki celah. Tugas kita sekarang adalah menemukannya."

Dua puluh empat jam berikutnya adalah mimpi buruk logistik dan kemanusiaan. Seperti yang telah diperintahkan Soeharto, sebuah perimeter militer yang tak bisa ditembus didirikan di sekeliling seluruh distrik Jakarta Utara yang kumuh. Truk-truk tentara, barikade beton berlapis kawat berduri, dan pos-pos pemeriksaan bersenjata lengkap muncul entah dari mana, secara efektif memotong jutaan orang dari seluruh dunia.

Narasi media, yang sepenuhnya dikendalikan oleh Soeharto, berputar dengan cepat. Mereka menyiarkan cerita-cerita tentang "sindikat super" pimpinan Isabella Rosales yang telah mengambil alih wilayah itu, menyandera warga, dan merencanakan serangan teroris. Karantina itu, kata mereka, adalah sebuah "tindakan heroik untuk melindungi bangsa", sebuah operasi penyelamatan yang menyakitkan namun perlu. Publik menelannya bulat-bulat. Leo dan Isabella, dalam waktu semalam, berubah dari buronan kriminal menjadi monster teroris di mata masyarakat.

Di dalam sangkar raksasa itu, kepanikan meledak. Jalan keluar satu-satunya telah ditutup. Pasokan makanan, air bersih, dan obat-obatan dari luar berhenti total. Toko-toko kelontong dijarah dalam beberapa jam. Perkelahian brutal pecah di pasar-pasar karena sekarung beras atau beberapa liter air minum. Rumah sakit darurat yang kekurangan pasokan menjadi kewalahan. Ekosistem rapuh yang dibangun di atas aliran barang dan jasa harian itu runtuh menjadi kekacauan primal. Sarang Tawon benar-benar hidup sesuai dengan namanya.

Di tengah kekacauan itulah, kepemimpinan sejati diuji.

Di balai biliar Bangau, yang kini telah diubah menjadi pusat komando darurat, dewan perang baru mereka berkumpul. Bukan lagi hanya tim inti Leo dan Isabella, tetapi kini juga mencakup Bangau dan tiga letnan kepercayaannya. Ruangan itu penuh dengan asap rokok dan aura keputusasaan.

"Kita akan mati kelaparan dalam seminggu," kata salah satu letnan Bangau. "Atau kita akan saling bunuh terlebih dahulu."

"Tidak," kata Leo, membentangkan peta besar distrik itu di atas meja biliar. "Kita tidak akan mati. Kita akan beradaptasi. Kita akan bertahan. Dan kita akan melawan."

Dengan dukungan dari Pak Tirta dan visi dari Isabella, Leo memaparkan rencananya yang paling ambisius. Bukan lagi sebuah rencana perang, tetapi sebuah rencana untuk membangun sebuah negara-mikro darurat dari nol. Tiga Pilar Kelangsungan Hidup.

"Pilar pertama: Roti," kata Leo, menunjuk ke seluruh peta. "Prioritas utama kita adalah makanan, air, dan obat-obatan. Mencegah kelaparan dan wabah penyakit. Pak Tirta, Anda punya pengalaman logistik militer. Anda yang pimpin."

Pak Tirta mengangguk. "Aku butuh data. Setiap warung, setiap gudang tersembunyi, setiap sumber air tanah. Aku ingin tahu persediaan setiap butir beras dan setiap tetes air bersih di seluruh wilayah ini."

"Bangau, orang-orangmu yang paling tahu setiap sudut di sini," lanjut Leo. "Perintahkan mereka untuk bekerja dengan Marco dan Legiun. Bentuk 'Garda Pangan'. Tugas mereka bukan lagi memeras, tapi menginventarisasi dan mengamankan semua sumber daya. Semua makanan akan dikumpulkan di titik-titik pusat dan didistribusikan secara adil. Penjarahan dan penimbunan akan dihukum berat."

Bangau menatapnya ragu, lalu ia melihat anggukan tegas dari Isabella. Ia menghela napas. "Akan kulaksanakan."

"Dapur Alkemis," kata Leo, "akan menjadi dapur pusat. Kita akan memasak ribuan porsi setiap hari untuk didistribusikan ke seluruh penjuru."

"Pilar kedua: Suara," lanjut Leo, menatap Bianca yang telah berhasil membangun kembali stasiun kerjanya yang sederhana di sudut ruangan. "Soeharto mengontrol informasi yang keluar dan masuk. Dia ingin orang-orang di dalam merasa panik dan terisolasi, dan orang-orang di luar melihat kita sebagai monster. Kita harus membalikkan narasi itu. Bianca, aku ingin kau menjadi kementerian informasi kita."

Mata Bianca berbinar. "Apa rencananya?"

"Aku ingin kau membangun dua hal. Pertama, sebuah stasiun radio bajak laut. 'Suara Sarang Tawon'. Kita akan menyiarkan berita yang sebenarnya kepada orang-orang di dalam. Memberi mereka informasi tentang distribusi makanan, layanan medis darurat, dan yang terpenting, memberi mereka harapan. Kedua, sebuah jaringan mesh internet bawah tanah. Gunakan setiap router Wi-Fi curian dan penguat sinyal rakitan yang bisa kau temukan. Kita butuh cara agar orang-orang bisa berkomunikasi satu sama lain tanpa melalui jaringan utama yang pasti sudah disadap."

"Dan pilar ketiga," kata Leo, menatap langsung pada Isabella dan Bangau. "Keadilan. Di tengah kekacauan ini, hukum rimba akan berlaku jika kita tidak menghentikannya. Kalian berdua... harus memimpin bersama. Bentuk 'Dewan Keamanan'. Kalian akan menjadi hakim, juri, dan eksekutor. Tangani perselisihan, hukum para penjahat yang memangsa sesama warga, dan tegakkan sebuah tatanan baru. Tunjukkan pada orang-orang bahwa ada pemerintahan di sini, pemerintahan yang peduli pada mereka, tidak seperti yang ada di luar tembok."

Rencana itu begitu besar, begitu komprehensif, hingga membuat keheningan melanda ruangan. Leo tidak hanya merancang sebuah strategi bertahan hidup; ia sedang merancang sebuah masyarakat baru.

Dan mereka pun mulai bekerja. Hari-hari berikutnya adalah sebuah kabut dari kerja keras yang tak kenal lelah. Pak Tirta dan Marco, dengan pengetahuan jalanan dari orang-orang Bangau, berhasil memetakan dan mengamankan sumber daya yang mengejutkan. Gudang-gudang tersembunyi yang berisi beras selundupan, sumur-sumur artesis yang dilupakan, bahkan sebuah apotek ilegal yang memiliki stok antibiotik yang cukup besar. Dapur Alkemis kini beroperasi 24 jam sehari, aroma masakannya menjadi satu-satunya aroma harapan di tengah bau keputusasaan.

Bianca, dengan kejeniusannya, berhasil merakit pemancar radio dari suku cadang mobil tua dan mulai menyiarkan "Suara Sarang Tawon". Suara Isabella, yang tenang dan penuh wibawa, mengudara untuk pertama kalinya, memberikan pengumuman tentang jadwal distribusi makanan dan meyakinkan orang-orang bahwa mereka tidak sendirian.

Dan yang paling sulit, Isabella dan Bangau mulai menjalankan dewan keamanan mereka. Mereka menghakimi para penjarah dan penimbun makanan dengan keadilan yang cepat dan keras. Hukuman bukanlah penjara, melainkan kerja paksa di dapur umum atau membersihkan selokan. Untuk pertama kalinya, orang-orang di Sarang Tawon melihat sebuah bentuk keadilan yang, meskipun keras, terasa adil. Perlahan, sangat perlahan, kekacauan mulai mereda, digantikan oleh sebuah tatanan baru yang rapuh. Leo, Isabella, dan aliansi mereka tidak lagi dilihat sebagai gangster, tetapi sebagai satu-satunya pemerintahan yang mereka miliki.

Beban dari tugas raksasa ini sangat berat. Leo dan Isabella bekerja hampir dua puluh jam sehari, tidur hanya beberapa jam di ruko mereka yang sempit. Wajah mereka menjadi tirus, mata mereka lelah, tetapi ada api baru di dalamnya. Api dari tujuan yang lebih besar dari sekadar kekuasaan atau balas dendam.

Suatu malam, setelah tiga minggu karantina, saat mereka akhirnya sendirian, Leo menemukan Isabella di atap ruko, menatap tembok beton raksasa yang kini mengelilingi dunia mereka. Lampu-lampu sorot militer di atas tembok itu menciptakan batas yang keras antara penjara mereka dan dunia bebas.

"Kadang-kadang aku bertanya-tanya," bisik Isabella, "apakah kita sedang membangun sebuah kerajaan atau hanya menata ulang perabotan di dalam sebuah sel penjara."

Leo berdiri di sampingnya. Ia tidak menjawab. Ia hanya melingkarkan lengannya di bahu Isabella. Di bawah mereka, Sarang Tawon tidak lagi kacau. Ada ketertiban. Ada suara tawa anak-anak dari kejauhan yang sedang bermain di bawah lampu darurat yang dipasang oleh Bianca. Ada aroma masakan dari Dapur Alkemis.

"Lihatlah," kata Leo lembut. "Ini bukan penjara. Ini adalah sebuah kepompong. Soeharto berpikir ia sedang mengubur kita. Dia tidak tahu bahwa dia sebenarnya sedang menanam benih."

Di sana, di atas atap yang berdebu, di bawah tatapan dingin lampu-lampu penjaga, mereka menemukan sebuah momen kedamaian yang tercuri. Kelelahan, stres yang luar biasa, dan tanggung jawab atas jutaan nyawa telah menelanjangi mereka hingga ke esensi paling murni.

Gairah di antara mereka malam itu adalah sebuah tindakan pemberontakan yang sunyi. Itu adalah cara mereka menegaskan kembali kemanusiaan mereka di tengah situasi yang tidak manusiawi. Itu bukan lagi tentang hasrat yang meledak-ledak, melainkan tentang koneksi yang dalam dan menenangkan. Di atas atap yang keras dan dingin, mereka bercinta dengan kelembutan yang putus asa, seolah mencoba saling menyembuhkan dari luka-luka tak terlihat yang ditimbulkan oleh beban kepemimpinan. Setiap sentuhan adalah sebuah jangkar di tengah badai, setiap ciuman adalah janji bahwa mereka tidak sendirian. "Panas" dari adegan itu bukanlah panas api, melainkan kehangatan dari dua jiwa yang saling memberikan perlindungan dari dinginnya dunia, sebuah pengingat bahwa bahkan di dalam penjara tergelap sekalipun, cinta masih bisa menjadi sebuah tindakan kebebasan tertinggi.

Setelah hampir sebulan, sistem internal mereka telah stabil. Mereka telah berhasil menciptakan sebuah masyarakat darurat yang berfungsi. Tapi mereka tahu, mereka tidak bisa bertahan selamanya. Pasokan mereka terbatas. Mereka harus melawan balik. Mereka harus menghancurkan tembok itu, bukan dari luar, tetapi dari dalam kesadaran publik.

"Waktunya untuk fase kedua dari pilar 'Suara'," kata Leo dalam rapat dewan perang. "Kita harus menyelundupkan cerita kita keluar."

Operasi "Ruang Gema" pun dirancang. Rencananya adalah untuk mendokumentasikan krisis kemanusiaan di dalam karantina—kisah-kisah nyata dari para warga, anak-anak yang kekurangan gizi, orang tua yang sekarat karena tidak ada obat—dan mengirimkannya ke tim jurnalis independen "Mata Publik".

Bianca mengoordinasikan pengumpulan data. Riko dan Maya mendistribusikan ratusan ponsel burner murah kepada warga terpercaya, mengajari mereka cara merekam testimoni mereka secara diam-diam. Dalam beberapa hari, mereka telah mengumpulkan puluhan jam rekaman video yang mentah, emosional, dan sangat memberatkan bagi rezim Soeharto.

Kini, datang bagian yang paling sulit: menyelundupkan data sebesar itu keluar dari sangkar digital dan fisik mereka. Mengunggahnya tidak mungkin; semua lalu lintas data keluar dipantau dengan ketat. Mereka harus mengirimkannya secara fisik.

Ini adalah misi untuk Tim Hantu.

Malam itu, di bawah selubung kegelapan total saat terjadi pemadaman listrik yang disengaja, Riko dan Maya memulai misi mereka yang paling berbahaya. Mereka membawa sebuah hard drive kecil yang berisi semua rekaman itu, yang telah dienkripsi berlapis-lapis oleh Bianca. Tujuan mereka: sebuah titik temu di luar tembok karantina, di mana seorang kontak dari "Mata Publik" sedang menunggu.

Mereka bergerak melalui labirin selokan yang bau dan menyesakkan, sebuah dunia bawah tanah di bawah dunia bawah tanah. Mereka muncul beberapa kilometer kemudian, sudah berada di dekat perimeter luar. Mereka bergerak seperti bayangan, melewati patroli senyap, menghindari sensor gerak.

Akhirnya, mereka tiba di rintangan terakhir: tembok beton setinggi enam meter yang dimahkotai oleh kawat berduri dan diawasi oleh menara-menara penjaga.

Di ruang komando darurat mereka, tim menahan napas saat mereka menonton rekaman dari kamera tubuh Maya.

"Ada celah dalam jadwal patroli," bisik Riko. "Tiga puluh detik. Setelah jip itu lewat. Kau yang pergi, aku yang melindungi dari sini."

Maya mengangguk. "Tunggu aba-abaku."

Jip patroli itu lewat. "Sekarang!"

Maya melesat dari bayang-bayang. Ia berlari dengan kecepatan kilat menuju sebuah titik buta di bawah salah satu menara penjaga. Di sana, di sisi lain tembok, sebuah lubang pembuangan kecil mengarah ke dunia luar. Kontak jurnalis itu sudah menunggu di sana. Maya berlutut, hendak menggeser hard drive itu melalui lubang.

Tiba-tiba, seluruh area itu bermandikan cahaya putih yang menyilaukan.

Sebuah lampu sorot raksasa dari atas menara mengunci posisinya. Sirene meraung.

"JEBAKAN!" teriak Riko melalui komunikator.

Maya membeku, terperangkap seperti seekor rusa di bawah sorot lampu mobil. Dari balik tembok, ia bisa mendengar suara langkah-langkah kaki yang berlari mendekat. Kontak jurnalisnya telah melarikan diri atau tertangkap.

Sebuah suara yang tenang dan diperkuat oleh pengeras suara memecah malam. Itu bukan suara tentara biasa. Itu adalah suara yang dingin dan berwibawa, suara yang pernah mereka dengar sebelumnya.

Di layar monitor di ruang komando, mereka melihat sebuah sosok melangkah keluar dari sebuah kendaraan lapis baja di sisi lain tembok. Sosok itu mengenakan seragam hitam dari Satuan Tugas Khusus.

Itu adalah Detektif Adrian Hartono.

Ia tidak menghilang. Ia tidak melarikan diri. Ia telah dipanggil kembali, atau mungkin tidak pernah benar-benar pergi. Ia kini adalah salah satu komandan lapangan dari operasi karantina ini. Wajahnya tidak lagi menunjukkan konflik atau keraguan. Yang ada hanya efisiensi yang dingin.

Ia menatap ke arah posisi Maya yang terperangkap. Ia mengangkat radionya, suaranya terdengar jelas melalui penyadap mereka yang masih aktif.

"Target pembawa informasi terlihat. Saya ulangi, target terlihat," katanya, suaranya tanpa emosi.

Keheningan sesaat, seolah ia sedang menunggu perintah. Lalu ia berbicara lagi, menyampaikan perintah yang ia terima.

"Perintah dari Jenderal... jangan biarkan ada saksi."

Di layar, mereka melihat Hartono mengangkat pistolnya, mengarahkannya bukan ke langit atau sebagai tembakan perin

gatan, tetapi langsung ke arah bayangan tempat Maya bersembunyi.

1
Letitia
Jangan berhenti menulis, ceritamu bagus banget!
thalexy
Dialognya seperti bicara dengan teman sejati.
Alphonse Elric
Mesti dibaca ulang!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!