NovelToon NovelToon
GALAK DI LUAR, LIAR DI DALAM

GALAK DI LUAR, LIAR DI DALAM

Status: sedang berlangsung
Genre:Aliansi Pernikahan
Popularitas:6.9k
Nilai: 5
Nama Author: mamana

"sudahlah mas, jangan marah terus"
bujuk Selina pada suaminya Dante yang selalu mempermasalahkan hal-hal kecil dan sangat possesif..
"kau tau kan apa yang harus kau perbuat agar amarahku surut"
ucap Dante sambil membelakangi tubuh Selina..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mamana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

fantasi liar dante 3

Usai menyetubuhi istrinya, Dante kembali merebahkan tubuh Selina ke dalam dekapannya. Dadanya masih terasa hangat, napasnya teratur namun berat, seolah enggan melepas momen itu. Selina menggeliat pelan, mencoba menarik jarak.

“Mas… nggak kesiangan, Mas?” tanyanya lirih, sambil melirik jam dinding.

Dante hanya menggeleng tanpa suara, wajahnya tetap menempel pada leher Selina, mencuri aroma tubuh istrinya.

“Mas, ayolah… lepaskan aku. Kita harus cepat bersiap. Katanya mau makan di luar, kan?” Selina mencoba membujuk, meski tangannya masih terkurung dalam genggaman suaminya.

“Ya, Sel. Kita sarapan di luar. Tapi satu syarat…” Dante menatapnya dalam, sorot matanya serius.

“…kau ikut aku ke kantor. Nanti siang, aku pasti mengantarkanmu pulang.”

Selina menghela napas panjang. Ia tahu betul Dante, sekali bicara dengan nada seperti itu, sulit ditolak. Akhirnya ia mengangguk kecil.

“Oke, aku ikut, Mas. Tapi jangan lakukan itu lagi di kantor, ya… Aku kan sudah memberimu pagi ini.”

Dante memiringkan senyum liarnya, lalu mengangguk singkat. “Ya Sel.”

Namun dalam hati, Dante berkata lain.

"Kau tidak akan pernah tahu rencanaku hari ini, Sel… Aku akan mendapatkanmu lagi. Tidak di kantor, tapi di mobil, sesuai fantasi yang sudah lama kusimpan"

Setelah itu, mereka pun beranjak. Selina merapikan rambut dan gaunnya, sementara Dante mengenakan kemeja hitam favoritnya yang membuat wajah garangnya semakin kentara. Dari luar, siapa pun yang melihat akan mengira Dante pria yang dingin, tak tersentuh. Namun hanya Selina yang tahu, di balik sikap galak itu tersembunyi gairah liar yang tak pernah bisa padam.

Mereka lalu keluar rumah, beriringan menuju mobil. Pagi itu masih segar, angin membawa aroma embun yang memudar. Sebelum menuju kantor, Dante mengajak Selina singgah lebih dulu di depot langganan mereka, sebuah Depot sederhana yang selalu menjadi tempat sarapan favorit sejak awal mereka menikah.

Bagi Selina, momen itu sekadar rutinitas. Tapi bagi Dante, ini hanyalah bagian awal dari rencana panjangnya hari ini, hari di mana ia bertekad untuk semakin menegaskan bahwa Selina adalah miliknya, seutuhnya.

Depot langganan itu tak pernah sepi. Suara sendok beradu dengan piring, aroma soto hangat, serta percakapan riuh para pelanggan memenuhi udara. Selina duduk di sudut meja, berusaha menenangkan diri setelah pagi yang penuh keintiman.

“Mas, aku pesan soto ayam saja ya. Mas, mau rawon kan?” tanya Selina lembut, mencoba menjaga suasana.

Dante mengangguk singkat. “Ya. Tambah tempe goreng juga.”

Tak lama kemudian, seorang pegawai muda datang membawa pesanan. Namun, alih-alih meletakkan soto di depan Selina dan rawon di hadapan Dante, pegawai itu keliru menukar pesanan. Rawon panas berkuah hitam pekat justru diletakkan di depan Selina, sementara soto ayam mendarat di depan Dante.

Selina hendak meraih mangkuk untuk menukar sendiri, tapi Dante lebih dulu bersuara.

“Hei!” suaranya menggelegar, membuat beberapa kepala menoleh. “Ini salah, dasar kerja nggak becus! Katanya rawon, kok malah dikasih soto?!”

Pegawai itu tergagap, wajahnya pucat. “Ma maaf, Pak. Saya salah taruh. Biar saya ganti”

“Dasar ceroboh!” Dante menepuk meja keras hingga sendok bergetar. “Kerja cuma antar makanan aja nggak bisa benar"

Suasana seketika hening. Beberapa pengunjung menatap mereka, sebagian berbisik-bisik sambil melirik. Selina yang duduk di samping Dante menunduk dalam-dalam, wajahnya panas menahan malu.

“Mas… sudahlah. Cuma salah taruh piring. Nggak perlu marah-marah begini,” bisik Selina, suaranya bergetar. Ia takut, sekaligus malu menjadi pusat perhatian.

Namun Dante masih mendelik ke arah pegawai itu, sorot matanya tajam bagai pisau. “Lain kali hati-hati kalau kerja. Jangan bikin pelanggan emosi!”

Pegawai itu buru-buru meminta maaf lagi sambil menukar mangkuk sesuai pesanan. Tangannya gemetar, sementara wajahnya memerah karena menahan rasa bersalah.

Selina menghela napas panjang. Ia ingin sekali menenangkan Dante, tapi tahu betapa keras kepala suaminya jika sudah marah. Dalam hati ia berbisik, "Ya Tuhan, kenapa Mas Dante nggak bisa menahan diri… aku jadi malu di depan orang-orang…"

Dante akhirnya duduk kembali, wajahnya masih kaku. Setelah pegawai itu pergi, ia menoleh pada Selina. Tatapannya melunak sedikit, seolah lupa pada amarah barusan.

“Makanlah, Sel. Jangan diam saja.”

Selina menatap mangkuk sotonya, lalu menunduk lagi. Ia menuruti ucapan Dante, meski dalam dadanya masih tersisa rasa takut dan malu yang menusuk.

Namun di sela-sela suasana yang masih canggung itu, Selina menyempatkan diri membuka percakapan lain. Ia tahu kalau dibiarkan, suasana makan hanya akan dipenuhi dengan diam.

“Mas… kemarin Melda mampir ke rumah kita,” ucap Selina hati-hati.

Dante langsung berhenti mengunyah, sendoknya diletakkan perlahan ke meja. Tatapannya sedikit menyipit.

“Melda? Bukannya dia masih di luar pulau?”

Selina menghela napas kecil.

“Melda sudah kembali, Mas. Dan kabar buruknya… dia akan tinggal tepat di depan rumah kita.”

Dahi Dante berkerut. Kemudian ia tersenyum miring, seperti tak percaya.

“Depan rumah kita? Jadi dia akan tinggal bersama Pak Roni, duda kaya itu? Hahaha…”

“Mas jangan bercanda ah. Aku serius,”

Selina merajuk, menatapnya dengan mata sedikit membesar.

“Pak Roni sudah menjual rumahnya, dan Melda yang membelinya. Katanya kebetulan dia ada kerjaan dekat sini.”

“Oh…” Dante hanya menanggapi singkat, ekspresinya sulit dibaca.

Selina menggigit bibir bawahnya, lalu melanjutkan dengan nada khawatir.

“Mas… kalau Melda berusaha mendekati Mas lagi, gimana?”

Pertanyaan itu membuat Dante terdiam sejenak. Ada rasa hangat yang tiba-tiba mengalir di dadanya, sebuah kesadaran bahwa Selina benar-benar takut kehilangannya. Rasa cemburu istrinya justru membuat Dante merasa dibutuhkan.

“Tenang, Sel,” ujarnya akhirnya, suaranya lebih lembut dari biasanya.

“Aku bisa jaga diri. Aku tidak akan pernah tertarik padanya lagi. Asal…”

Selina menatap penasaran. “Asal apa, Mas?”

Senyum nakal itu kembali muncul di wajah Dante. Ia menunduk, menyuapkan sisa rawon berkuah panas itu ke mulutnya, lalu meneguk teh hangat hingga tandas. Setelahnya, ia menatap Selina dalam-dalam.

“Asal kau menuruti semua permintaanku, Sel…”

Selina sontak mencubit lengan suaminya dengan gemas.

“Kau ini, Mas… selalu semangat kalau urusan itu. Tapi kalau diajak ngobrol soal anak, selalu lemah!”

Dante tertawa rendah, meski tatapannya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam. Ia tahu Selina benar. Soal anak, ia memang belum siap. Tapi soal dirinya dan Selina… Dante tak pernah kehilangan semangat untuk menegaskan cintanya dengan cara yang hanya ia pahami.

Selina menghela napas panjang, wajahnya campur aduk antara kesal, malu, dan tak kuasa menolak. Ia tahu, lelaki di hadapannya keras kepala, galak di luar, tapi di dalamnya selalu menyimpan api liar yang hanya bisa ia jinakkan dengan cintanya.

Setelah selesai sarapan, Dante membayar makanan tanpa banyak bicara. Tatapannya tajam membuat pegawai depot menunduk dalam, takut salah lagi. Selina hanya bisa mengikuti dari belakang, masih menahan rasa malu karena ledakan emosi suaminya tadi.

Begitu masuk ke mobil, suasana di antara mereka terasa hening. Hanya deru mesin dan musik pelan dari radio yang terdengar. Selina melipat tangannya di pangkuan, berusaha menenangkan hati.

Namun diam-diam, Dante melirik ke arahnya. Jemarinya terulur, menggenggam tangan Selina. Genggamannya kuat, seolah menegaskan bahwa ia tak mau ada jarak.

“Sel…” suaranya rendah, nyaris bergumam. “Kau tahu kan, aku tidak suka berbagi. Termasuk soal kau.”

Selina menoleh, menatap wajah suaminya yang serius dengan rahang mengeras. Ada sisi galak yang kembali terlihat, tapi Selina sudah terbiasa.

“Mas, aku milikmu. Aku nggak pernah berniat berpaling,” jawabnya pelan.

Dante mengangguk singkat, lalu matanya kembali fokus ke jalan. Tapi di sudut bibirnya muncul senyum samar, senyum yang hanya Selina kenal: tanda ada sesuatu yang disembunyikan.

Mobil melaju melewati jalan yang mulai ramai. Selina menatap keluar jendela, menikmati pemandangan pagi. Tapi hatinya berdebar tak karuan saat Dante mendadak menepikan mobil di lampu merah, lalu mencondongkan tubuhnya.

“Mas… kenapa?” bisik Selina, gugup.

Dante hanya tersenyum nakal, jari-jarinya menyusuri dagu Selina. “Sel Aku akan mendapatkanmu… lagi. Tidak di kantor. Tidak di rumah. Tapi di sini…”

Mata Selina membesar. “Mas, jangan bilang…sekarang di mobil ?” suaranya tercekat, antara kaget dan takut.

Dante terkekeh rendah, lalu kembali fokus ke jalan saat lampu hijau menyala. Namun matanya memancarkan tekad yang membuat Selina kian gelisah.

Dalam hati, Selina tahu… meski sudah berjanji, Dante tak pernah benar-benar bisa menahan sisi liarnya. Dan pagi itu, perjalanan menuju kantor ternyata hanyalah bagian awal dari rencana suaminya, rencana yang membuat Selina berdebar antara takut, malu, sekaligus… tak kuasa menolak.

1
Winda Marshella
ceritanya bagus, semangat thor
MamaNa: terimakasih kaka..pasti selalu semangat kaka ditunggu, updatenya ya Kaka 🙏
total 1 replies
AstutieEcc
bagus ceritanya 😍
MamaNa: terimakasih kak🙏
total 1 replies
MamaNa
siap.. pasti segera di update kakak /Pray//Pray/
0-Lui-0
Bikin susah move-on, semoga cepat update lagi ya thor!
Enoch
Wow, bikin terhanyut.
MamaNa: makasih kakak 🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!