Isabella Rosales mencintai Alex Ferguson dan ketiga anak kembar mereka—Adrian, Eren, dan Alden—lebih dari hidupnya sendiri. Namun, kebahagiaan mereka direnggut secara paksa. Berasal dari keluarga Rosales yang merupakan musuh bebuyutan keluarga Ferguson, Isabella diancam oleh keluarganya sendiri: tinggalkan Alex dan anak-anaknya, atau mereka semua akan dihancurkan.
Demi melindungi orang-orang yang dicintainya, Isabella membuat pengorbanan terbesar. Ia berpura-pura meninggalkan mereka atas kemauannya sendiri, membiarkan Alex percaya bahwa ia adalah wanita tak berperasaan yang memilih kebebasan. Selama lima tahun, ia hidup dalam pengasingan yang menyakitkan, memandangi foto anak-anaknya dari jauh, hatinya hancur setiap hari.
Di sisi lain kota, Celine Severe, seorang desainer yatim piatu yang baik hati, menjalani hidupnya yang sederhana. Jiwanya lelah setelah berjuang sendirian begitu lama.
Takdir mempertemukan mereka dalam sebuah malam yang tragis. Sebuah kecelakaan hebat terjadi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Pagi itu, Rumah Awan Pelangi terasa berbeda. Udara yang biasanya berembus dengan keheningan yang megah kini bergetar oleh energi kegembiraan yang meluap-luap dari tiga sumber kecil. Adrian, Eren, dan Alden sudah siap sejak pukul tujuh pagi, mengenakan pakaian terbaik mereka, wajah mereka berseri-seri dengan antisipasi. Bagi mereka, hari ini adalah sebuah petualangan legendaris, sebuah perjalanan langka ke dunia di luar dinding kaca rumah mereka.
Bagi Isabella, hari ini adalah sebuah misi penyamaran di wilayah musuh. Jantungnya berdebar kencang dengan irama yang tidak menentu, sebuah campuran antara ketakutan yang mencekam dan kerinduan yang manis. Ia berdiri di depan cermin di kamarnya, menatap pantulan Celine Severe dengan tatapan kritis. Ia memilih pakaian yang paling tidak menarik perhatian: sebuah blus abu-abu polos, celana panjang hitam, dan sepatu datar yang nyaman. Sebagai sentuhan akhir, ia menambahkan sebuah topi lebar berwarna krem dan kacamata hitam besar. Itu adalah perisainya. Dengan perlengkapan ini, ia berharap bisa menjadi tidak terlihat, bayangan yang menyertai keluarga Ferguson.
Saat ia keluar, ia mendapati Alex sudah menunggu di dekat pintu utama, tampak gagah dalam balutan kemeja kasual dan celana linen. Pria itu menatap penampilannya dari ujung kepala hingga ujung kaki, satu alisnya terangkat sedikit saat melihat topi dan kacamata itu, tetapi ia tidak berkomentar. Ia hanya mengangguk singkat.
Perjalanan menuju Konservatorium Kupu-kupu Kekaisaran terasa nyata dan sureal pada saat yang bersamaan. Mereka menaiki mobil pribadi Alex yang mewah dengan jendela super gelap, mengisolasi mereka dari dunia luar. Di dalam, mobil itu dipenuhi oleh celoteh riang anak-anak. Alden menempelkan wajahnya ke jendela, menunjuk setiap gedung tinggi yang mereka lewati. Eren menyanyikan lagu tentang kupu-kupu yang ia karang sendiri. Bahkan Adrian yang biasanya pendiam, ikut bertanya pada Alex tentang cara kerja mesin mobil.
Isabella duduk diam di kursinya, berusaha sekecil mungkin. Ia merasa seperti seorang penyusup yang berhasil menyelinap ke dalam sebuah foto keluarga yang bahagia. Ia sesekali menjawab pertanyaan anak-anak dengan lembut, namun sebagian besar energinya terkuras untuk mengawasi jalanan, jantungnya berdebar setiap kali mereka berhenti di lampu merah, takut jika ada mobil yang berhenti di samping mereka dan seseorang dari masa lalunya akan kebetulan menoleh.
Alex, yang duduk di kursi depan di samping sopir, sesekali meliriknya melalui kaca spion. Ia memperhatikan bagaimana Isabella secara naluriah memastikan sabuk pengaman Alden terpasang dengan benar, bagaimana ia memberikan tisu pada Eren bahkan sebelum putrinya itu bersin. Ia memperhatikan semua detail kecil yang menunjukkan keakraban yang aneh, seolah wanita ini telah melakukan hal ini seumur hidupnya.
Konservatorium Kupu-kupu adalah sebuah kubah kaca raksasa yang menakjubkan, sebuah surga tropis yang tersembunyi di jantung kota. Begitu mereka melangkah masuk, udara hangat dan lembap yang dipenuhi aroma bunga-bunga eksotis menyambut mereka. Ribuan kupu-kupu dari segala bentuk, ukuran, dan warna beterbangan dengan bebas di sekitar mereka, menciptakan sebuah tarian warna yang memesona.
Anak-anak terkesima. Mereka berlari kecil di sepanjang jalan setapak, menunjuk dengan takjub pada setiap makhluk bersayap yang melintas. "Lihat! Yang itu besar sekali!" seru Alden. "Yang itu warnanya seperti pelangi!" pekik Eren.
Isabella, meskipun diselimuti kecemasan, tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum. Melihat kebahagiaan murni di wajah anak-anaknya adalah hadiah yang tak ternilai. Untuk sesaat, ia melupakan ketakutannya. Ia melepas kacamatanya, membiarkan matanya menyerap keindahan di sekelilingnya.
"Yang itu namanya Papilio Ulysses, atau Blue Emperor," katanya pelan saat seekor kupu-kupu biru elektrik yang besar hinggap di sebuah bunga di dekat Eren. "Legenda mengatakan jika ia hinggap padamu, itu akan membawa keberuntungan."
Eren menatapnya dengan mata berbinar. "Bagaimana Mama Celine tahu?"
Isabella membeku sesaat. "I-ibu... maksudku, aku pernah membacanya di buku," ralatnya dengan cepat.
Alex, yang berjalan beberapa langkah di belakang, mendengar percakapan itu. Pengetahuan ensiklopedis tentang kupu-kupu. Satu lagi "kebetulan" yang harus ia tambahkan ke dalam daftarnya yang semakin panjang.
Saat mereka berjalan lebih dalam, Isabella merasakan firasat buruk. Di kejauhan, di dekat sebuah air terjun buatan, ia melihat sekelompok wanita sosialita yang ia kenal dari kehidupan lamanya. Tawa mereka yang melengking dan gaun-gaun desainer mereka yang mencolok tampak begitu kontras dengan suasana damai di konservatorium.
Panik mencengkeramnya. Ia refleks menarik topinya lebih rendah dan berbalik, berpura-pura mengagumi sebuah tanaman pakis. "Adrian, Alden, bagaimana kalau kita lihat kolam ikan koi di sebelah sana?" katanya, suaranya sedikit tegang, mencoba menggiring mereka menjauh.
Gerakannya yang tiba-tiba dan nada suaranya yang sedikit tergesa-gesa tidak luput dari perhatian Alex. Ia mengikuti arah pandangan Isabella sekilas dan mengenali beberapa wanita dari lingkaran pergaulan lamanya. Ia mengernyit. Mengapa Celine tampak begitu panik? Seorang pengasuh biasa tidak akan punya alasan untuk menghindari para wanita itu.
Untungnya, anak-anak dengan mudah dialihkan perhatiannya dan mengikutinya ke arah kolam ikan. Insiden itu berlalu dengan cepat, tetapi meninggalkan jejak kecurigaan yang lebih dalam di benak Alex.
Puncak dari kunjungan itu terjadi saat mereka berada di tengah-tengah kubah, di sebuah area terbuka yang dipenuhi bunga-bunga lavender. Isabella sedang berjongkok, menunjukkan pada Alden bagaimana ulat bulu memakan daun, saat seekor kupu-kupu melayang turun dengan anggun.
Bukan sembarang kupu-kupu. Itu adalah seekor Blue Morpho, dengan sayap biru metalik yang berkilauan seperti permata hidup. Dulu, Isabella pernah mengatakan pada Alex bahwa jika jiwanya adalah seekor binatang, ia akan menjadi kupu-kupu Blue Morpho—cantik, langka, dan selalu bergerak menuju cahaya. Itu adalah salah satu percakapan intim mereka di malam hari yang ia pikir hanya mereka berdua yang akan mengingatnya.
Kupu-kupu itu berputar-putar di atas kepala Isabella sejenak, sebelum akhirnya hinggap dengan lembut di jari telunjuknya yang terulur. Ia tidak bergerak. Sayapnya yang biru cemerlang membuka dan menutup dengan perlahan, seolah sedang berjemur di bawah kehangatan kulitnya.
"Wow!" bisik anak-anak serempak, mata mereka terpaku pada pemandangan magis itu.
Isabella menatap kupu-kupu itu, hatinya dipenuhi oleh emosi yang tak terlukiskan. Rasanya seperti sebuah pertanda. Sebuah sapaan dari alam semesta.
Alex berdiri beberapa meter jauhnya, membeku di tempat. Pemandangan di hadapannya—wanita misterius ini, dengan senyum lembut di wajahnya, dan seekor kupu-kupu biru cemerlang yang hinggap dengan tenang di jarinya—seolah merobek sebuah tirai di dalam ingatannya.
Flashback. Malam hari di taman atap Rumah Awan Pelangi, bertahun-tahun yang lalu. Ia dan Isabella sedang berbaring menatap bintang.
"Jika kau bisa menjadi binatang apa pun, kau mau jadi apa?" tanyanya.
Isabella tersenyum. "Seekor kupu-kupu Blue Morpho," jawabnya. "Agar aku bisa mengingatkanmu bahwa keajaiban itu nyata."
Kenangan itu menghantam Alex dengan kekuatan sebuah gelombang pasang, begitu jelas dan begitu nyata hingga napasnya tercekat. Ia menatap "Celine", yang kini sedang tertawa pelan saat Eren dengan lembut mencoba menyentuh sayap kupu-kupu itu. Tawa itu... nada itu... semuanya terasa begitu akrab hingga menyakitkan.
Kebetulan. Kebetulan. Kebetulan. Berapa banyak lagi kebetulan yang harus ia saksikan sebelum ia mengakui bahwa sesuatu yang mustahil sedang terjadi di depan matanya?
Perjalanan pulang terasa sangat berbeda. Anak-anak, yang lelah setelah seharian berpetualang, tertidur di kursi belakang. Keheningan di dalam mobil terasa berat dan penuh dengan pertanyaan yang tak terucap. Isabella hanya menatap ke luar jendela, topi dan kacamatanya kembali terpasang dengan kokoh.
Malam itu, setelah menidurkan anak-anak, Isabella kembali ke kamarnya, hatinya terasa campur aduk antara kebahagiaan dan ketakutan. Hari ini adalah hari terindah sekaligus paling menegangkan dalam lima tahun terakhir.
Di ruang kerjanya, Alex Ferguson tidak lagi membuka catatan bisnis atau daftar karyawan. Ia hanya duduk dalam kegelapan, menatap kosong ke arah jendela yang memantulkan lampu-lampu kota. Gambaran tentang kupu-kupu biru di jari tangan Celine tidak mau hilang dari benaknya. Itu bukan lagi sekadar kepingan puzzle. Rasanya seperti kunci dari seluruh misteri ini.