NovelToon NovelToon
Penghakiman Diruang Dosa

Penghakiman Diruang Dosa

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Spiritual / Iblis / Menyembunyikan Identitas / Barat
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: R.H.

⚠️ *Peringatan Konten:* Cerita ini mengandung tema kekerasan, trauma psikologis, dan pelecehan.

Keadilan atau kegilaan? Lion menghukum para pendosa dengan caranya sendiri. Tapi siapa yang berhak menentukan siapa yang bersalah dan pantas dihukum?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R.H., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

24. Pengobatan Rio

Aku menghela napas panjang, melangkah menyusuri lorong dengan tangan berlumuran darah. Rafael dan Will yang baru saja selesai berkeliling menatapku dari kejauhan.

"Pak Will, aku mau ketemu Paman dulu," ucap Rafael, lalu berlari menghampiriku.

"Paman... Paman kenapa?" tanyanya penasaran. "Apa Paman sudah membunuh Rio?" bisiknya waspada.

"Belum... Tapi kali ini, Rio harus dibunuh."

"Kenapa?" Rafael mengernyit bingung.

"Sudah. Sekarang kamu bisa menemuinya. Sekalian, balas apa yang sudah dia perbuat padamu," ucapku dingin, lalu pergi meninggalkan Rafael.

Rafael masih bingung, namun senyum licik mulai menghiasi wajahnya. Ini saatnya membalas dendam. 'Tapi bagaimana dengan Erlan? Aku nggak bisa membiarkan dia hidup tenang,' pikir Rafael, lalu tersenyum smirk seolah mendapat ide jahat.

Tanpa mengenakan topeng atau hoodie yang membuat sesak, Rafael berlari menuju ruang tempat Rio ditahan. Di sana, Rio masih terbaring tak sadarkan diri.

"Hei, Rio... Selamat datang di ruang penghakiman. Senang bertemu denganmu di tempat ini," bisik Rafael pelan, membuat Rio perlahan terbangun.

"Rafael..." lirih Rio, menatapnya penuh dendam.

"Sakit, ya? Makanya jangan sombong. Mentang-mentang anak kepala polisi, seenaknya memperlakukan orang miskin seperti aku," ucap Rafael sambil melipat tangan.

"Asal kamu tahu, Rio... Aku bukan Rafael yang dulu kamu hina. Sekarang aku sudah kaya."

Rio hanya diam, menatap Rafael dengan tatapan sayu. Rafael berhenti tertawa, lalu mendekat.

"Astaga..." ucapnya dramatis. "Bibirmu yang suka menghina itu kenapa? Kok mirip hantu Momo yang suka nakutin anak kecil," ejeknya.

"Tapi tanganmu yang suka mukulin aku, kakimu yang suka nendang aku... Hmm, harus diapakan ya?" pancing Rafael sambil berpikir.

Rio menggeleng ketakutan, membuat Rafael tertawa puas.

"Tunggu... Aha! Aku punya ide," katanya sambil menoleh ke samping.

Matanya tertuju pada bara api yang memanaskan sebatang besi. Rafael berjalan perlahan, mengambil besi panas itu dengan hati-hati.

Rio menggeleng panik saat Rafael mendekat.

"Rafael... Kumohon, lepaskan aku..." pintanya memelas.

Rafael semakin mendekat, tersenyum lebar dengan mata melotot tajam.

"AARRGGHHH!"

Rio menjerit saat besi panas itu menyentuh telapak tangannya yang terikat. Rafael menekan lebih dalam, membuat kulitnya melepuh dan menempel pada besi saat ia mengangkatnya.

Rafael berdesis ngeri, menatap Rio yang kini tak berdaya.

"Tanganmu yang suka mukulin aku, sekarang terukir indah, bukan?" ucap Rafael sambil tersenyum. "Tapi kakimu... Harus diapakan ya?"

"AHA! Aku punya ide," katanya sambil mengangkat telunjuk. "Gimana kalau aku bikin kamu nggak bisa jalan lagi?"

Rio menggeleng, air mata mengalir di wajahnya yang pucat menahan sakit.

"Rafael... Aku minta maaf... Tolong bunuh aku saja..." pintanya lirih.

"Bunuh kamu? No, no, no..." ucap Rafael dramatis sambil menggelengkan telunjuknya.

"Dengan sikapmu yang sombong itu, kamu mau diskon umur biar nggak ngerasain sakit? Nggak adil."

"Asal kamu tahu, Rio... Bukan cuma kamu yang akan merasakan ini. Erlan, Sandi, dan Arnaldo juga akan bernasib sama."

"Dan untuk kematianmu nanti... Aku bakal kirim mayatmu tepat di depan pagar rumahmu. Anak kepala polisi yang selalu membanggakan status keluarganya di depan aku, anak miskin."

Rio menggeleng, tak tahu harus berbuat apa. Baru sehari saja dia seperti ini, apalagi jika harus bertahan lebih lama. Rasa sakit itu akan terus menyiksa.

"Lebih baik mati saja daripada seperti ini," gumamnya, lalu pingsan.

Rafael menghela napas panjang, memeriksa apakah Rio masih hidup.

"Untung dia belum mati. Rasain tuh... Makanya jangan main-main sama Paman Lion."

***

Sudut pandang Rafael.

Pagi itu, Rafael tiba di sekolah diantar oleh sopir pribadi. Mobil yang membawaku—dengan bodi mengilap dan suara mesin halus—jelas bukan kendaraan biasa. Aku yakin harganya sangat mahal.

Aku teringat ucapan Lion semalam.

"Kamu harus bersikap angkuh dan dewasa, Rafael. Sekarang kamu bagian dari keluarga Argandara. Jaga reputasinya sebaik mungkin. Dan ingat, lakukan apa pun dengan bersih. Jangan sampai ada yang tahu kalau kamu adalah penjahat."

Mobil mewah itu kini berhenti tepat di depan gerbang sekolah. Sontak, para siswa-siswi menoleh penasaran, mencoba menebak siapa sosok yang keluar dari kendaraan semewah itu.

Pak Bomo, sopir pribadiku sekarang, turun dan membukakan pintu dengan sikap hormat.

Aku keluar dengan gaya dramatis dan langkah angkuh. Tapi baru beberapa langkah, aku tersandung batu kecil. Tubuhku hampir mencium aspal.

Tawa spontan pecah dari kerumunan siswa. Mereka lupa bahwa aku baru saja datang dengan mobil yang mungkin lebih mahal dari gaji orang tua mereka selama setahun.

"Memalukan," gumamku kesal.

Aku buru-buru berdiri dan merapikan seragamku. Pak Bomo segera menghampiri dengan wajah khawatir.

"Tuan Rafael, Anda baik-baik saja?"

"Iya, aku baik-baik saja. Aku ke kelas dulu," jawabku dingin.

Aku melangkah pergi dengan ekspresi datar. Tapi aku tahu, semua mata masih tertuju padaku. Baru beberapa meter berjalan, aku kembali tersandung. Untung kali ini aku tidak jatuh.

Dari kejauhan, dua siswi bergosip sambil berjalan.

"Bukannya itu Rafael? Anak miskin itu, kok sekarang datang pakai mobil?" tanya salah satu dengan nada heran.

"Iya, tadi kamu dengar kan? Sopir tua itu manggil dia Tuan Rafael"

"Iya, aku dengar. Aneh banget ya? Apa jangan-jangan selama ini dia anak orang kaya, hanya saja dia menutupinya." Ucap salah satu dari mereka berambut kepang dua.

Temannya di samping lalu terbahak tak percaya. "Gila, lalu kenapa dia mau-maunya di bully sama Erlan kalau dia sendiri sebenarnya anak orang kaya." Ucapnya ditengah tawa sambil menggeleng.

"Entahlah. Udah yuk, ke kelas. Malas bahas Rafael," sahut temannya, lalu mereka pergi.

Sementara itu, di sudut lain halaman sekolah, Erlan menyaksikan semuanya. Ia mengepalkan tangan, jelas tak suka dengan perubahan Rafael.

Di dalam kelas, Rafael duduk tenang di bangkunya sambil bermain gim di ponsel. Meski terlihat santai, matanya sesekali melirik ke arah belakang, mencoba mencuri dengar percakapan Erlan yang sedang berkumpul bersama dua temannya—Sandi dan Arnaldo.

"Aku dengar, sejak pulang dari klub kemarin, Rio belum juga sampai di rumah," kata Sandi dengan nada khawatir.

"Padahal kita lihat sendiri dia pulang," sahut Erlan, mengernyit heran.

"Aku curiga... jangan-jangan Rio diculik," timpal Arnaldo pelan.

Erlan langsung menatap tajam ke arah Arnaldo, lalu menarik kerah bajunya dengan geram. "Ngomong apa kamu, ha?"

Arnaldo menggeleng cepat dan panik. "Aku cuma bercanda..."

Rafael yang mendengar semuanya hanya tersenyum smirk. Ia tahu persis apa yang terjadi. Tanpa berkata apa-apa, ia kembali fokus pada ponselnya, seolah tak ada yang penting sedang dibicarakan.

Beralih ke lion. Di sisi lain, aku melangkah menuju gudang bawah tanah—tempat penyekapan Rio. Di tanganku, nampan berisi dua mangkuk mie ayam panas yang baru saja kubuat. Aroma kuahnya menyengat, tapi bukan itu tujuanku. Aku ingin Rio mengingat mie ayam yang dulu ia bakar, yang menghancurkan segalanya. Aku ingin dia merasa bersalah, seperti yang dulu dialami Adam.

Langkahku menuruni tangga perlahan, hati-hati. Mataku langsung tertuju pada tubuh Rio yang masih terkulai tak sadarkan diri. Darah di bibirnya telah mengering, tapi pandanganku teralihkan ke tangannya—melepuh, kulitnya mengelupas, dan isi telapak tangannya terlihat jelas.

Aku menatapnya jijik. Lalu, kuambil salah satu mangkuk mie ayam dan menaruhnya di atas kepalanya sambil tersenyum lebar. Perlahan, kuangkat mangkuk itu dan menumpahkan isinya ke kepala Rio.

Jeritannya pecah. Suara yang memilukan, menyayat telinga.

Kepalanya kini merah, dipenuhi mie dan kuah panas. Ia menatapku sayu, seperti tak sanggup lagi bertahan hidup.

"Rio Febrian Feat... Waktunya makan," ucapku dingin.

Aku menarik kursi dan duduk di hadapannya. Rio menggeleng lemah, seolah menolak.

"Kamu ingat mie ayam ini?" tanyaku. "Jujur saja, aku buat ini spesial untukmu, Rio."

"Kuharap kau tak memuntahkannya seperti waktu itu... Bersama teman-temanmu. Kamu ingat, kan?"

Rio hanya menggeleng pasrah. Tak ada daya untuk melawan.

"Kamu, Rio Febrian Feat... Korban ke-18. Tapi kamu bukan satu-satunya. Hanya saja, kamu adalah orang pertama yang kubawa ke tempat ini. Kenapa?"

"Karena tempatku yang dulu... bukan di sini," ucapku dingin, lalu tertawa pelan. "Sudahlah, kamu tak perlu tahu lebih jauh. Makan dulu sebelum dingin. Biar ada sensasi nikmatnya."

Dengan gerakan kasar, kusuapkan mie ayam itu ke bibirnya. Luka di bibirnya yang semula mengering kini kembali terbuka. Darah menetes seperti air.

Aku terdiam sejenak, lalu tersenyum smirk. Sebuah ide gila muncul di kepalaku. Kuletakkan mangkuk tepat di bawah aliran darah dari bibirnya. Mie ayam itu kini bercampur darah segar.

Rio hanya bisa pasrah saat kusuapkan mie berdarah itu ke mulutnya. Awalnya ia menolak, memalingkan wajah. Tapi aku memaksanya dengan kasar. Ia memuntahkan semuanya, disertai darah yang mengalir deras dari luka yang semakin parah.

Tiba-tiba, kenangan itu muncul. Saat Rio dan teman-temannya memuntahkan makanan dari warungku sambil tertawa dan merekam.

"Kumuh... dan jelek... Pasti makanannya nggak higienis."

Ucapan Rio saat pertama kali datang ke warung mie ayamku terngiang jelas di kepalaku.

Aku mengepalkan tangan, amarah membuncah. Lalu menamparnya—satu, dua, tiga kali. Tanganku kini dipenuhi darah segar. Rio melemas, tubuhnya tak lagi melawan.

Sisa mie ayam itu kusiramkan ke wajahnya. Jeritannya kembali pecah.

ARGGGGG!

ARGGGGG!

Aku tahu Rio sudah benar-benar tak sanggup menahan semuanya lagi. Tapi justru itulah kenikmatan yang aku cari. Apalagi aku tahu, dia anak manja yang tak pernah sekalipun dipukul oleh kedua orang tuanya.

"Ku... mohon... bunuh saja aku... daripada menyiksaku seperti ini," ucapnya lirih, menatapku dengan tatapan sayu yang penuh luka.

"Bunuh?" Aku mendekat, mata melotot. "Jangan harap. Aku pastikan kamu tidak akan mati semudah itu, Rio. Aku akan panggil dokter untuk mengobati luka-lukamu... agar kamu tetap hidup dan terus merasakan semuanya."

Aku menunduk, menatapnya tajam. "Sampah masyarakat. Itu yang kamu ucapkan dengan bangga waktu itu. Anak ingusan yang berani menghinaku seperti itu... Dan itu adalah kamu, Rio."

Aku menunjuk wajahnya yang lemah, lalu melanjutkan dengan suara tinggi dan penuh dendam.

"AKU AKAN MEMBUATMU BELAJAR JADI MANUSIA SESUNGGUHNYA. HIDUP SUSAH, SEPERTI YANG KAMU KATAKAN PADAKU DI ROOFTOP, DI DEPAN TEMAN-TEMANMU." Suara ku meninggi naik satu oktaf.

Rio hanya diam. Tak bisa mengelak, tapi jelas terlihat bingung—bagaimana aku bisa tahu tentang percakapan itu?

Aku mengambil ponsel dan langsung menelpon Antoni.

"Cepat ke tempatku. Ada pasien yang butuh penanganan segera," ucapku dingin, lalu mematikan panggilan tanpa menunggu jawaban.

Aku menatap Rio, tersenyum kecut. Lalu menekan tangannya yang melepuh. Ia berteriak dalam diam, matanya terpejam menahan sakit yang luar biasa.

Aku melepaskannya, lalu menggeser kursi dan duduk menunggu kedatangan Antoni.

Beberapa menit kemudian, Antoni datang diantar oleh salah satu bodyguard. Aku berdiri dan menghampirinya.

"Obati luka-lukanya. Tapi jangan biarkan dia pingsan. Aku ingin dia merasakan semuanya... sebagai manusia yang katanya lebih rendah dari kalian."

Antoni menggeleng tak percaya. "Astaga, Lion... Bukankah ini terlalu kejam? Dia masih remaja."

"Biarkan saja. Dia terlalu sombong untuk anak seusianya. Lagipula, dia harus bertanggung jawab atas perbuatannya," ucapku dingin, menatap Antoni yang mulai bersiap.

"Aku ingin membunuhnya perlahan-lahan. Jadi lakukan saja," bisikku.

Antoni mengangguk pelan, lalu mulai memeriksa kondisi Rio yang begitu memilukan. Ia mengeluarkan peralatan medis dari tasnya, mulai membersihkan luka-luka yang membuat Rio terus meringis kesakitan.

"Kamu urus Rio. Aku mau istirahat dulu," ucapku datar, lalu meninggalkan ruangan.

"Baik, serahkan saja kepadaku." balas Antoni, suaranya pelan namun tegas, saat tangannya mulai bekerja di atas tubuh Rio yang sudah tak berdaya.

1
dhsja
🙀/Scowl/
Halima Ismawarni
Ngeri au/Skull//Gosh/
R.H.: ngeri sedap-sedap au/Silent//Facepalm/
total 1 replies
Halima Ismawarni
seru
R.H.
Slamat datang di cerita pertama ku/Smile/ Penghakiman Diruang Dosa, semoga teman-teman suka sama ceritanya/Smile/ jangan lupa beri ulasan yang menarik untuk menyemangati author untuk terus berkarya/Facepalm/ terimakasih /Hey/
an
lanjut Thor /Drool/
an
lanjut Thor
an
malaikat penolong❌
iblis✔️
dhsja
keren /Hey/
dhsja
keren /Hey/
dhsja
Lanjut /Smile/
dhsja
Keren😖 lanjut Thor 😘
diylaa.novel
Haloo kak,cerita nya menarik
mampir juga yuk ke cerita ku "Misteri Pohon Manggis Berdarah"
R.H.: terima kasih, bak kak😘
total 1 replies
Desi Natalia
Ngangenin
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!