Arwah sekarat Raveena bergentayangan di dalam sebuah novel yang pernah ia kutuk karena baginya memiliki ending yang paling buruk. Di novel itu, menjadi sosok Elira Maeven, tokoh utama yang memiliki sifat lugu dan feminin yang menyukai sosok Arsen Vaelric, si pria manipulatif yang berbahaya.
Sialnya, Raveena memasuki tubuhnya usai Elira mengalami adegan mati konyol akibat bunuh diri di bagian ending cerita. Seolah semesta menuntut pertanggungjawaban dari caciannya, ia dipaksa melanjutkan cerita hidup Elira yang mestinya berakhir setelah mati bunuh diri.
Raveena tak bisa keluar dari dunia itu sebelum menyelesaikan skenario takdir Elira yang tak pernah ditulis dan direncanakan oleh penulis novel itu sendiri.
Sampai tiba hari di mana Arsen mulai menyadari, bahwa sikap membosankan Elira yang selalu ia abaikan, kini bukanlah sosok yang sama lagi.
Namun, Arsen justru sangat menyukainya.
Apakah Raveena mampu kembali ke dunia nyatanya?
Atau justru terkurung selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dandelions_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Elira menarik napas panjang setelah turun dari mobil milik Axel. Ia memandangi bangunan yang mereka kunjungi. Tampak biasa saja, seperti sebuah hunian normal. Tidak terlalu besar dan megah, namun terlihat nyaman.
"Ayo, Elira." Elira terkesiap, mendapati tangan Axel yang terulur padanya.
"Ayo." Elira menyelonong tanpa menerima uluran itu. Axel menarik tangannya yang sempat membeku, lalu mengejar langkah Elira.
Axel memencet bel, lalu menoleh. "Tak perlu takut," katanya seraya tersenyum kecil pada Elira.
"Dia bilang, tempat ini akan membantu menjawab rasa penasaranku," selidik Elira seraya memicing. "Fyuh. Rasanya sedikit mendebarkan."
Pintu pun akhirnya terbuka. Seorang pria paruh baya menyambut mereka dengan senyum ramah, meski sorot matanya penuh kewaspadaan. Rambutnya tampak memutih di beberapa bagian, namun posturnya masih terlihat tegap.
"Axel," sapa orang itu.
Axel menundukkan kepala singkat sebagai tanda hormat. "Kami boleh masuk?"
Lelaki itu mengangguk, lalu menyingkir memberi jalan.
"Apakah dia Gregor Hale? Mantan mafia komplotan keluarga Vaelric, yang secara tidak langsung menjadi korban pelampiasan kemarahan Vaelric kala itu, karena pria ini memiliki perasaan terhadap Ve?" Elira cukup lama menatap lelaki itu dengan tatapan menyelisik.
"Ternyata korban patah hati juga? Hhh."
"Kenapa?" tanya Axel, membuat Elira tersentak.
"Ah, tidak," dusta Elira sambil melempar senyum pada Gregor. Ia pun mengekor pada Axel dengan langkah yang sedikit ragu.
Namun, Elira cukup terkesima. Ruangan yang mereka masuki terasa hangat. Dindingnya dipenuhi rak buku dan potret keluarga lama. Tidak ada kesan ancaman, layaknya bangunan mewah kala ia diculik Arsen kala itu.
Elira mendekat ke Axel. "Mereka ini siapa?" bisiknya, dengan membuat wajah setengah curiga.
Axel menoleh pada Gregor. "Mereka yang selama ini menjagaku. Orang-orang yang tidak tunduk pada keluarga Vaelric."
"Rupanya dugaanku benar."
Gregor tersenyum sekilas pada Elira. "Kami sudah lama menunggu hari ini, Nona Elira."
"Mengungguku?" batin Elira penuh tanya. Ia hanya tersenyum samar dengan ekspresi bingung menanggapi Gregor.
Axel memberi isyarat agar Elira duduk di kursi kayu yang telah tertata di ruang tengah. Axel pun turut menarik kursinya.
"Aku harus mengatakan sesuatu padamu, Elira.
Elira mengernyit. "Apa?"
Axel menarik napas dalam dengan jemari yang saling bertautan. "Aku bukan sekadar ‘teman’ yang kebetulan ada di sisimu. Aku adalah anak dari seseorang yang pernah sangat dekat dengan keluargamu."
Elira menajamkan tatapan. "Siapa?"
"Ve," jawab Axel tegas.
"Tunggu. Ve memang ada dalam alur novel itu. Tapi itu hanya sekelebat." Elira masih terpaku. "Ve ...?" ulangnya.
"Ya, Ve. Sahabat mendiang ibumu, Naomi."
"Meski sedikit mengejutkan, tapi ini masih aman." Elira mengangguk samar, berusaha tenang.
Axel menatap Elira, yang ia duga seperti masih tak percaya dengan ucapannya. "Ibuku dibunuh karena mengetahui rahasia terbesar keluarga Vaelric. Dia tahu tekanan yang diberi pada Naomi saat dijebak."
Sorotan Axel jatuh ke lantai. "Ibumu dijatuhkan dengan cara yang kejam," katanya dengan perasaan berat.
"Saat ibuku mencoba mengungkapnya, itu membuatnya menjadi target sekaligus ancaman pada Naomi untuk-"
"Cukup," tukas Elira enggan mendengarnya lagi.
Axel mengangguk. "Kau pasti mengerti maksudku. Ibuku dibungkam saat mencoba membela ibumu."
Terdengar helaan napas panjang dari lelaki paruh baya bernama Gregor. "Dan sejak malam itu, kami yang tersisa bersumpah menjaga Axel, agar suatu hari kebenaran bisa disampaikan."
"Ah, begitu rupanya." Elira menuliskan sesuatu di bukunya. Membuat Axel tersenyum kecil melihatnya.
"Kau begitu ulet mengusahakan ingatanmu kembali, Elira."
Elira mengangguk bangga. "Tentu saja, Axel."
"Kau berpihak pada kami dengan alasan apa?" pancing Ekor pada Gregor.
Pria itu tersenyum kecil. "Sebuah kesadaran. Aku sadar harus berpihak pada yang benar."
Elira mencibir dalam hati. "Kau seorang mafia, mustahil mudah berbelok pada kebenaran. Apa susahnya bilang karena 'cinta'?"
Axel memegang bahu Elira. "Apakah ini cukup untuk membuktikan, jika kami ada di pihakmu, Elira?"
"Dia memang sangat meyakinkan, tetapi aku harus tetap berhati-hati."
Elira pun mengangguk. Axel kembali berujar, "Tapi ada sedikit kendala, Elira."
"Apa itu?"
Axel dan Gregor saling berpandangan, membuat Elira terdiam dan menatap mereka bergantian.
"Ayahmu belum tahu tentang Gregor. Dia bisa saja salah paham-"
BRAK!
"MENYINGKIR DARI PUTRIKU!"
Semua orang menoleh, menyaksikan Cedric yang tiba-tiba datang dengan raut murka.