Pura-pura menikah dengan tetangga baru? Tentu bukan bagian dari rencana hidup Sheina Andara. Tapi semuanya berubah sejak tetangga barunya datang.
Davison Elian Sakawira, pria mapan berusia 32 tahun, lelah dengan desakan sang nenek yang terus menuntutnya untuk segera menikah. Demi ketenangan, ia memilih pindah ke sebuah rumah sederhana di pinggir kota. Namun, hari pertama justru dipenuhi kekacauan saat neneknya salah paham dan mengira Sheina Andara—tetangga barunya—adalah istri rahasia Davison.
Tak ingin mengecewakan sang nenek, Davison dan Sheina pun sepakat menjalani sandiwara pernikahan. Tapi saat perhatian kecil menjelma kenyamanan, dan tawa perlahan berubah menjadi debaran, masihkah keduanya sanggup bertahan dalam peran pura-pura?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rembulan Pagi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24. Sentuhan Perasaan Kecil
Mobil hitam itu berhenti perlahan di depan sebuah restoran bergaya kolonial di pusat kota. Di bawah langit cerah sore hari, kaca jendela besar restoran memantulkan cahaya matahari dengan kemewahan yang tidak mencolok, tapi jelas berbeda.
Davison keluar lebih dulu, lalu berbalik dan membuka pintu untuk Sheina. Ia melangkah turun pelan, ragu sejenak melihat sekeliling. Restoran itu terlihat tenang dari luar, tapi interiornya yang bisa sedikit terlihat dari balik kaca memberi isyarat bahwa ini bukan tempat makan biasa.
Seorang pelayan langsung menyambut mereka dengan sopan dan mengangguk tanpa bertanya. “Silakan, sudah ditunggu. Meja VIP.”
Sheina menatap Davison sekilas, yang hanya tersenyum singkat lalu memberi isyarat agar ia ikut berjalan.
Mereka melewati lorong pendek berlampu gantung kristal kecil, melewati beberapa meja yang ditata rapi dengan gelas-gelas anggur dan piring berlapis emas tipis. Lalu sebuah pintu kaca buram dibuka dari dalam oleh pelayan lain, memperlihatkan sebuah ruangan tenang dengan pencahayaan hangat.
Ruang makan VIP.
Dindingnya berlapis kayu tua, satu sisi menampilkan akuarium besar dengan ikan-ikan eksotis berenang lamban di antara gelembung. Sebuah televisi layar datar tergantung diam di sisi lainnya, sedang menayangkan saluran dokumenter alam dengan suara kecil. Di tengah ruangan, sebuah meja bundar dengan taplak beludru coklat muda sudah ditata lengkap.
Dan di sana, duduk seorang perempuan tua dengan scarf sutra dan bros antik di dadanya, perempuan itu adalah nenek Davison. Ia langsung berdiri begitu melihat mereka masuk. Wajahnya cerah, senyumnya lebar.
“Sheina,” sapanya hangat, suaranya bergetar sedikit oleh usia dan rasa senang, “akhirnya ketemu lagi juga.”
“Maaf sempat lama nggak berkunjung, Nek.”
“Ah, Nenek ngerti. Kamu pasti sibuk ngurus anak-anak TK itu, ya?” ucapnya sambil menggenggam tangan Sheina erat-erat. “Tapi tetap aja, ini pertemuan yang Nenek tunggu-tunggu.”
Setelah mereka duduk dan pelayan pergi meninggalkan minuman pembuka, nenek Davison masih menatap Sheina lekat-lekat. Lalu ia berkata,
“Kamu kelihatan lebih tenang dari terakhir kali ketemu Nenek.”
Sheina tersenyum kecil. “Mungkin karena hari ini cukup kacau. Setelah ribuan remah biskuit, anak nangis, dan satu keributan kecil saya jadi merasa apapun sesudahnya terasa tenang.”
“Itu bagus,” balas nenek sambil mengangguk kecil. “Nenek suka perempuan yang bisa tetap duduk cantik setelah hari buruk. Itu tandanya dia bisa diajak hidup bareng.”
Sheina terdiam. Ia melirik ke arah Davison yang hanya menatap gelas airnya, pura-pura tak dengar.
Pelayan masuk membawa menu, tapi nenek Davison langsung melambaikan tangan.
“Bilang ke chef, yang biasa ya. Nenek nggak butuh lihat menu kalau cucu nenek bawa menantu secantik ini.”
Sheina tersenyum kaku. Davison menahan tawa kecil, hanya melirik ke arahnya tanpa komentar.
Begitu pelayan keluar, suasana jadi lebih tenang. Tapi bukan sunyi. TV di sudut ruangan masih menayangkan acara kuliner asing, suara ikannya lembut, seperti pengisi latar belakang obrolan yang belum dimulai.
Nenek Davison menatap Sheina lama, lalu tersenyum hangat.
“Kamu makin cantik. Kulitmu makin cerah. Davison ngurus kamu dengan baik?”
Sheina sempat menoleh ke arah Davison, lalu cepat-cepat tersenyum, “Baik, Nek. Saya baik-baik aja.”
“Nenek senang,” ucapnya sambil menyesap teh yang baru dihidangkan pelayan. “Kalian ini... terlalu jarang ketemu Nenek. Masa menantu sendiri enggak pernah ngajak ketemuan.”
Davison membersihkan tenggorokannya pelan, lalu menjawab, “Maaf, Nek. Aku banyak kerjaan.”
“Kerjaan, kerjaan. Dulu alasan kamu nolak semua perjodohan itu juga karena kerjaan. Eh, tiba-tiba punya istri tanpa bilang-bilang. Nenek udah pengen banget undang keluarga Sheina buat makan bareng.”
Sheina menegang. Sendok kecil yang sedang ia pegang ikut bergetar pelan.
“Eh keluarga saya tinggalnya nggak jauh, Nek. Tapi mungkin belum waktunya ketemu dulu ya.”
Nenek mengangguk pelan. “Iya, Nenek ngerti. Tapi janji ya suatu hari nanti, kalian ajak orang tua Sheina ketemu Nenek. Nenek pengen kenal keluarga yang berhasil membesarkan perempuan baik kayak kamu.”
Davison menatap Sheina sekilas. Sorotnya berubah. Ada sesuatu di sana, entah rasa bersalah, atau rasa takut Sheina terlalu larut dalam peran yang harusnya cuma sementara.
Pelayan datang membawa makanan pembuka. Sup asparagus, roti garlic, dan salad buah ditata rapi. Aroma creamy dan hangat mengisi ruangan, memberi jeda dari tekanan obrolan barusan.
Sheina memotong rotinya pelan, berusaha menenangkan pikirannya.
“Kamu suka rumah di pinggiran kota itu, Sheina?” tanya nenek, tiba-tiba.
Sheina mengangguk. “Suka, Nek. Suasananya tenang. Banyak pepohonan juga. Adem.”
“Nenek pengen kalian lama-lama di sana. Biar hidupnya nggak cuma soal kerja dan kota besar. Kalian butuh rumah yang bisa jadi tempat pulang. Apalagi kalau nanti...” Nenek tersenyum. “...ada cucu.”
Sheina hampir tersedak.
Davison buru-buru menyodorkan gelas air, dan untuk sesaat, tatapan mereka bertemu. Ada kepanikan di mata Sheina, ada permintaan maaf diam-diam di mata Davison.
“Maaf ya, Nek,” ucap Sheina sambil menelan air. “Belum kepikiran sampai sana.”
Nenek tertawa kecil. “Nenek ngerti. Tapi Nenek udah tua. Kalau bisa, pengen gendong cucu dari kalian sebelum ulang tahun ke delapan puluh tahun.”
Hening sejenak. Suara ikan di akuarium kembali jadi satu-satunya pengisi ruang.
Davison akhirnya bicara. Suaranya pelan, tapi nadanya datar. “Nenek, jangan terlalu banyak berharap dulu.”
Nenek menoleh cepat. “Kenapa?”
Davison menunduk sebentar, lalu mengangkat wajahnya. Tapi kali ini, sorot matanya ke arah Sheina. Dalam. Pelan.
“Soalnya kita masih belajar buat saling kenal.”
Sheina mendadak merasa ruangan itu lebih sempit dari sebelumnya. Kata-kata itu seperti menyentil batas tipis antara kenyataan dan kebohongan.
Tapi nenek hanya tersenyum lembut. “Itu bagus. Menikah itu soal belajar seumur hidup. Asal belajarnya sama-sama, bukan sendiri-sendiri.”
Ucapan itu terdengar sederhana, tapi masuk ke dada Sheina seperti air yang merembes perlahan ke celah terdalam.
Mereka melanjutkan makan, obrolan jadi ringan, tentang menu, tentang warna baru rambut nenek, tentang restoran yang katanya punya dessert terenak.
Tapi di tengah senyum, sendok, dan suara tawa nenek, Sheina merasa dadanya makin berat. Karena semakin banyak yang mereka bicarakan, semakin jauh mereka dari keberanian untuk jujur.
Dan diam-diam, Sheina mulai bertanya pada dirinya sendiri.
Sampai kapan mereka bisa terus pura-pura, tanpa salah satu dari mereka mulai berharap lebih dari sekadar kebohongan?
......................
Mobil Davison berhenti perlahan di depan rumah Sheina. Lampu teras menyala lembut, memantulkan cahaya ke daun-daun mangga yang bergoyang pelan di tiupan angin senja. Di dalam mobil, suasana hening sesaat, bukan karena tak ada yang ingin diucapkan, tapi karena terlalu banyak yang belum terdefinisi.
“Terima kasih sudah menemani nenek saya makan,” ucap Davison akhirnya, suaranya tenang namun terasa lebih dalam dari biasanya.
Sheina mengangguk singkat. “Sama-sama Pak Dev. Lagian itu tugas saya tentang perjanjian kita.”
"Saya juga mau berterima kasih atas hari ini, dan hari-hari yang lalu."
Sheina tersenyum. "Iya Pak Dev, saya akan jawab sama-sama lagi.
Ia membuka pintu, udara senja langsung menyergap. Saat langkahnya menyentuh aspal, suara dari atas membuat tubuhnya menegang.
“Kak Sheina?”
Kepalanya menengadah cepat. Di balkon lantai dua, adiknya—Sean—berdiri dengan tangan memegang sebuah layangan, mata terbelalak menatap ke arah bawah.
Sheina menoleh dan tentu saja, Davison juga ikut turun dari mobil. Satu tangannya menyelip di saku celana, wajahnya datar seperti biasa, namun sorot matanya nyaris tampak geli.
Sean tak langsung bicara. Tatapannya bolak-balik, dari kakaknya ke laki-laki yang berdiri terlalu dekat dengan mobil yang tak asing di depan rumah mereka.
Davison sempat melirik ke atas. “Halo,” ucapnya pelan.
Sheina hampir ingin menguap ke tanah saat itu juga.
Malam ini harusnya selesai setelah makan. Tapi ternyata, akhir hari itu justru membuka satu bab baru yang bahkan mereka sendiri belum tahu bagaimana harus menutupinya.