NovelToon NovelToon
INDIGO

INDIGO

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Mata Batin / Hantu / Tumbal
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Lia Ap

Nadia ayu, seorang gadis yang bisa melihat 'mereka'

mereka yang biasa kalian sebut hantu, setan, jin, mahluk halus atau lain sebagai nya.


suara dari mereka, sentuhan bahkan hembusan nafas mereka, bisa di rasakan dengan jelas. Sejak mengalami kecelakaan itu, mengubah cara pandangannya terhadap dunia..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lia Ap, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

24. Bertamu

Malam itu, rumah terasa hening. Joan dan Gilang tidur di kamar tamu lantai bawah, sementara aku dan Wita sudah terlelap di lantai dua. Hujan sudah berhenti, hanya suara rintik air menetes dari atap terdengar samar.

Aku terlelap, tapi tiba-tiba, suasana tidurku berubah. Rasanya seperti tubuhku melayang, ringan sekali, sementara di sudut kamar terdengar suara serak yang akrab.

“Nadia…”

Aku membuka mata pelan. Ningsih berdiri di dekat ranjang, rambut merah panjangnya menjuntai, matanya bersinar redup. Di sampingnya, seekor harimau putih besar duduk diam, matanya berkilau biru kehijauan, tatapannya tajam tapi bukan mengancam. Udara di kamar terasa dingin tapi… menenangkan.

Aku berbisik, suaraku bergetar. “Ningsih… itu…?”

Dia mengangguk pelan. “Penjaga barumu. Dia bukan sembarangan… darahmu sudah membangunkan warisan lama, jadi kini dia ikut mengawal.”

Harimau itu bergerak, perlahan berjalan mendekat. Saat berdiri di samping ranjang, tubuhnya berkilau samar, dan perlahan berubah wujud — menjadi seorang pria tinggi, tegap, dengan kulit sawo matang, wajah tegas dan tampan. Dia mengenakan baju lurik khas Jawa, blangkon menghiasi kepalanya. Ada aura wibawa yang sulit dijelaskan darinya.

Dia menatapku, suaranya dalam dengan aksen Jawa halus.

“Putri darah Kraton… sudah saatnya kau belajar menjaga dirimu. Malam ini, kita mulai.”

Aku hendak bicara, tapi dia menyentuh keningku perlahan. Dari telapak tangannya, cahaya kebiruan memancar, menyelimuti tubuh fisikku yang terbaring di ranjang. Cahaya itu terasa hangat dan menenangkan, seperti selimut pelindung.

“Pagar ini akan melindungi raga jasadmu… sementara kami bawa sukma-mu.”

Dalam sekejap, rasanya tubuhku menjadi ringan sekali, dan aku melihat diriku sendiri tertidur di ranjang. Wita masih lelap di sebelahku, tak menyadari apa pun. Aku kini hanya jiwa, terlepas dari tubuhku.

Ningsih melayang di sampingku, tersenyum samar. “Jangan takut. Ini hanya untuk sementara.”

Harimau — atau pria itu — berjalan di depan, dan dalam sekejap pandangan di sekelilingku berubah. Dinding kamar memudar, digantikan oleh hamparan luas berwarna kebiruan. Langitnya gelap, tapi dipenuhi cahaya bintang yang berputar pelan seperti pusaran galaksi. Angin bertiup lembut, membuat rambutku tergerai.

Di tengah hamparan itu, berdiri seorang lelaki tua dengan rambut dan jenggot putih panjang, mengenakan busana adat Jawa kuno. Tatapannya dalam, penuh wibawa, tapi juga… hangat.

Aku mengenal wajah itu. “Kakek…?”

Lelaki tua itu tersenyum, suaranya berat namun lembut.

“Akhirnya… kita bisa bicara, cucu buyutku. Dunia ini sudah terlalu bising mencarimu. Saatnya kau mendengar kebenaran… sebelum darahmu membawa lebih banyak bahaya daripada yang bisa kau tanggung.”

Aku mendekat, masih bingung antara kagum dan takut. “Ini… tempat yang sama seperti mimpiku dulu, kan? Jadi semua itu… nyata?”

Kakek tua itu mengangguk pelan. “Nyata. Dan malam ini… kau akan mengerti kenapa sukma-mu kini menjadi perebutan dunia gaib… dan dunia manusia.”

Angin berputar pelan di sekitarku. Hamparan luas itu terasa seperti batas antara dua dunia, dan aku tahu… apa pun yang kudengar di sini akan mengubah segalanya.

Angin di hamparan luas itu berputar pelan, membawa bau tanah basah bercampur wangi kemenyan samar. Bintang-bintang di langit bergerak lambat, seperti berputar mengikuti napas kakek tua yang berdiri di depanku.

Kakek menatapku lama, matanya dalam dan memantulkan cahaya kebiruan dari hamparan ini.

“Sekarang kau tahu, cucu buyutku… darahmu adalah kunci. Wangi bagi makhluk-makhluk, dan berharga bagi manusia serakah. Kalau kau tidak belajar menutup aromamu, kau akan jadi umpan… dan pintu bencana.”

Aku menarik napas dalam. “Lalu… bagaimana caranya? Aku bahkan nggak tahu apa yang harus kulakukan dengan semua ini. Rasanya… terlalu besar buat aku.”

Sosok pria penjaga — harimau putih yang kini berwujud manusia — melangkah mendekat, tubuhnya tegap dan langkahnya mantap. Suaranya berat dengan aksen Jawa yang kental.

“Kau harus belajar mengenali sukma-mu sendiri, sebelum bisa menutupinya. Selama ini kau hidup sebagai manusia biasa… tapi darahmu bukan darah biasa. Malam ini, kau akan belajar mengendalikan diri.”

Aku menelan ludah, tubuhku terasa ringan tapi tegang. “Apa yang harus aku lakukan?”

Dia tidak menjawab dengan kata-kata. Telapak tangannya terangkat, dan hamparan luas di sekitarku berubah.

Tanah biru itu retak perlahan, berubah menjadi pasir hitam basah. Angin bertiup kencang, membawa aroma laut asin. Di kejauhan, terdengar suara ombak menghantam karang. Hamparan luas ini berubah menjadi sebuah pantai sunyi yang aneh, langitnya gelap berkilau bintang.

Kakek buyut menatapku.

“Tempat ini akan memanggil yang lapar. Sukma-mu akan terasa di sini, dan kau harus belajar menyembunyikannya… atau kau akan dimakan.”

Aku merasakan jantungku berdegup cepat. “Dimakan…?!”

Pria penjaga mengangguk pelan. “Tidak sungguhan. Tapi kalau kau gagal, sukma-mu akan hancur… dan saat terbangun nanti, tubuhmu akan kosong.”

Aku mundur setengah langkah, menatap mereka berdua. “Kalau aku nggak bisa…?”

Kakek tua menatapku, nadanya tegas. “Kalau kau menyerah sekarang, kau akan mati. Baik di dunia manusia maupun di sini.”

Sebelum aku sempat bertanya lagi, dari balik kabut pantai, muncul suara geraman rendah. Sesosok makhluk muncul — tinggi, kurus, matanya menyala merah, tubuhnya seperti terbuat dari asap hitam yang menggumpal. Aku bisa merasakan tatapannya langsung ke arahku… dan setiap tatapan membuat tubuhku bergetar.

Pria penjaga berbisik, “Fokus. Tutup aromamu. Rasakan sukma-mu… tarik semua energinya ke pusat tubuhmu. Bayangkan cahaya biru melindungi kulitmu.”

Aku memejamkan mata, mencoba mengingat cahaya biru yang tadi menyelimuti tubuh fisikku di kamar. Aku membayangkan cahaya itu muncul lagi, tapi kali ini menyelubungi sukma-ku. Awalnya samar, hanya percikan kecil… tapi suara geraman makhluk itu makin dekat, membuatku panik.

“Aku nggak bisa…!” teriakku.

Kakek buyut mengetuk tanah dengan tongkatnya, suaranya bergema.

“Jangan biarkan rasa takut menguasaimu. Darahmu berasal dari para penjaga gerbang… bukan mangsa. Rasakan napasmu, dengarkan detak sukma-mu, dan biarkan garis keturunanmu memandu.”

Aku menarik napas panjang, memejamkan mata lebih dalam. Dalam kegelapan pikiranku, aku melihat bayangan seekor harimau putih… dan seketika, cahaya biru itu membesar. Seperti percikan yang akhirnya menjadi kobaran lembut, menyelimuti seluruh tubuhku.

Saat aku membuka mata, makhluk berasap itu berhenti hanya beberapa langkah dariku. Matanya memerah, tapi sekarang dia tidak bisa mendekat. Setiap kali ia maju, cahaya biru di tubuhku berpendar lebih kuat, membuatnya mundur sambil mendesis.

Aku menatap tangan dan tubuhku yang kini berpendar biru, napasku masih terengah-engah. “Ini… berhasil?”

Pria penjaga tersenyum tipis. “Itu baru langkah pertama. Kau sudah bisa menutup aromamu sementara… tapi ini hanya perlindungan dasar. Kau harus belajar mengendalikannya sendiri nanti, atau kekuatan ini akan padam.”

Makhluk berasap itu perlahan memudar, kembali ke kabut pantai. Hamparan luas kembali tenang, angin berhenti bertiup kencang.

Kakek buyut melangkah mendekat, menatap mataku dalam.

“Kau sudah mengambil langkah pertama, cucu buyutku. Tapi mulai malam ini, dunia gaib akan tahu bahwa kau sudah mulai terbangun. Mereka tidak akan berhenti… karena sekarang mereka tahu kau bisa melawan.”

Dia meletakkan telapak tangannya di kepalaku, dan pandangan di sekitarku mulai memudar.

“Aku akan memanggilmu lagi. Tapi untuk sekarang… kembali, sebelum tubuhmu terlalu lama kosong.”

---

Aku terbangun dengan tarikan napas tajam. Mataku terbuka di kamar, tubuhku berkeringat dingin. Cahaya biru samar di kulitku perlahan menghilang. Wita masih tertidur lelap di sampingku, tak menyadari apa pun.

Di sudut kamar, Ningsih dan pria penjaga berwujud harimau putih berdiri diam, mengawasi.

Ningsih tersenyum samar. “Langkah pertama selesai. Tapi ini baru awal, Nadia… dunia ini sudah tahu kamu siap bermain.”

Aku hanya bisa terdiam, jantungku berdetak kencang. Aku sudah mulai terbangun… dan tidak ada jalan kembali.

\=\=\=

Pagi itu, rumah terasa terlalu sunyi. Hujan semalam sudah berhenti, tapi udara lembab masih menggantung di setiap sudut. Di lantai dua, kamar Nadia dipenuhi kepanikan.

Wita sudah mencoba membangunkan Nadia sejak subuh. Ia mengguncang bahunya, menepuk pipinya, bahkan memanggilnya berkali-kali. Namun, tubuh Nadia tetap diam, terbaring kaku di ranjang.

Joan datang tergesa, langkahnya berat dan suara napasnya tidak beraturan. Gilang menyusul dari belakang, wajahnya tak kalah tegang. Saat Joan mendekat dan menyentuh pipi Nadia, tubuhnya seketika menegang. Kulit Nadia dingin—bukan sekadar dingin seperti orang demam, tapi sedingin batu yang tertinggal di luar semalaman.

Joan menatap wajah Nadia, matanya melebar. “Dia… dingin banget… ini…” suaranya pecah, hampir tak bisa keluar. Ia menunduk, mencoba mendengar napasnya. Ada… tapi sangat tipis, hampir tak terasa.

Gilang memandang keduanya dengan sorot panik. “Kak… ini bukan tidur biasa. Denyut nadinya juga lemah banget.”

Wita berdiri di sisi lain ranjang, matanya berkaca-kaca. Ia mencoba menenangkan suaranya meski tubuhnya bergetar. “Dia masih hidup… tapi aku juga nggak ngerti ini kenapa. Kayak… tubuhnya kosong.”

Joan menunduk, menggenggam tangan Nadia erat, seolah panas tubuhnya bisa memaksa Nadia kembali. Tapi kulit itu tetap dingin, tak ada tanda kehidupan kecuali napas tipis yang nyaris tak terdengar.

Wajah Joan berubah kacau—bukan sekadar cemas, tapi hampir histeris. Ia mengusap wajah Nadia, memanggil namanya berkali-kali, berharap ada respons. Tapi matanya tetap terpejam, bibirnya pucat.

“Bangun, Nad… tolong bangun. Jangan kayak gini…” suaranya bergetar, nadanya pecah di akhir kalimat.

Gilang melirik Joan, ragu. “Kalau dia nggak bangun dalam waktu dekat… kita bawa ke rumah sakit aja? Ini… bisa bahaya.”

Joan menggeleng cepat, matanya merah. “Nggak. Kita nggak bisa bawa dia. Kalau ada yang tahu kondisi dia kayak gini… bisa jadi masalah. Aku nggak tahu ini… penyakit atau sesuatu yang lain, tapi aku nggak akan biarin dia diambil siapa pun.”

Wita terdiam, hanya menunduk. Situasi ini di luar nalar mereka, dan mereka semua tahu, ini bukan sekadar Nadia sakit.

Di sudut kamar, tak terlihat oleh siapa pun, Ningsih berdiri diam. Rambut merah panjangnya menyapu lantai, mata kuningnya menyala redup. Dia menatap tubuh Nadia yang terbaring, kemudian beralih menatap Joan yang hampir kehilangan kendali.

Suaranya terdengar pelan, hanya untuk dirinya sendiri.

"Tenanglah… sukma-nya belum hilang. Tapi jika kau memaksa membangunkannya sekarang… nyawanya bisa benar-benar putus."

Namun, kata-kata itu tak terdengar oleh siapa pun di kamar. Yang ada hanyalah ketegangan, rasa takut, dan detik-detik panjang yang terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai.

\=\=\=\=\=

1
Afiq Danial Mohamad Azmir
Wahhh!!
Alexander
Nggak kebayang ada kelanjutannya!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!