Malam tragis, telah merenggut masa depan Zoya. Menyisakan trauma mendalam, yang memisahkannya dari keluarga dan cinta.
Zoya, mengasingkan diri yang kembali dengan dua anak kembarnya, anak rahasia yang belum terungkap siapa ayahnya. Namun, siapa sangka mereka di pertemukan dengan sosok pria yang di yakini ayah mereka?
Siapakah ayah mereka?
Akankah pria itu mengakuinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dini ratna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hal yang tidak terduga
“Dr. Arga, tunggu!” Arga menoleh ke arah Zoya berlari memanggilnya.
“Maaf dr. Arga, tapi … bisakah saya pulang sebentar, saya harus melihat anak-anak dulu, mereka sendirian di rumah apa saya boleh pulang sekarang dr. Arga?”
Arga diam sejenak sambil berpikir.
“Kenapa kamu tidak menyewa baby sitter, setidaknya kamu memakai jasa pengasuh untuk menjaga anakmu. Apa kamu selalu mengandalkan dirimu saat di Qodroh? Apa tidak ada yang menjaga anakmu.”
Bukannya mengizinkan, Arga hanya mengatakan hal yang menyakitkan bagi Zoya. Pria itu sama sekali tidak kasihan kepada anak kecil yang sendirian di rumah apalagi pada Zoya, seakan kerja kerasnya sepanjang hari ini tidak berguna.
“Maaf, dr. Arga saya sudah bekerja dari pagi apa kamu tidak melihat kesibukan saya, apa kamu membantu saya? Kamu hanya mondar-mandir mengawasi para dr. dan perawat tanpa membantu sedikitpun, aku tahu kamu pemilik rumah sakit ini tapi bukan berarti kamu hanya melihat saja!”
“Melihat saja?” Arga tersenyum sinis. “Dr. Zoya, apa kamu tahu tanggung jawab sebagai direktur? Saya menerima semua keluhan baik dokter, pasien, dan wali pasien, saya seorang profesor sudah menjadi kewajiban saya mengobati pasien, bahkan saya bisa lebih dari empat kali melakukan operasi dalam sehari, kamu bilang aku tidak bekerja.”
Zoya terdiam, dia tidak bisa berkata-kata di saat Arga marah. Sikap pria itu seakan berubah drastis setelah dia menolak keinginannya untuk menjadi ayah dari anak-anaknya. Dan, mungkin Arga, tahu tentang hubungan Ardian dengan Zoya.
“Begini dr. Zoya.” Arga memijat pelipisnya sejenak, lalu menatap Zoya sambil berkacak pinggang.
“Jika kau memang harus mengurus anakmu, maka uruslah mereka yang diam di rumah bukan menjadi seorang dokter yang harus bekerja sepanjang hari. Kau tahu bukan seperti apa tanggung jawab seorang dokter, jangankan anak—untuk diri sendiri saja tidak ada waktu.”
Tidak sepantasnya kata-kata itu diberikan kepada Zoya, yang notabene-nya seorang single mom. Sudah seharusnya Zoya bekerja keras untuk menghidupi kedua anaknya. Namun, Arga malah memintanya untuk memilih antara pekerjaan atau anaknya, sungguh sangat kejam.
“Oh, maaf aku lupa jika kamu tidak punya suami.” Arga tersenyum mengejek. “Bagaimana jika aku membantu, aku bisa carikan pengasuh untuk Zayden dan Zayda, dan aku bisa mencukupi semua kebutuhan kalian, asal kau mau menjadi istriku, daripada kamu menjadi simpanan dr. Radit.”
Zoya terbelalak seketika. Tangannya terkepal erat setelah mendengar hinaan Arga.
“Jaga ucapanmu ya, dr. Arga. Aku bukan simpanan!”
“O, ya? Lalu bagaimana dengan Ardian … kau menggoda Radit juga Ardian dalam waktu bersamaan. Sampai-sampai kamu tidak tahu siapa ayah dari anakmu.”
“Cukup!” sentak Zoya, yang menatap tajam Arga.
“Jangan pernah menghinaku lagi. Aku sudah bicara baik-baik jika kamu tidak izinkan, tidak perlu merembet ke mana-mana sampai kamu menuduhku wanita j*lang. Harus kamu tahu, aku tidak pernah menggoda dr. Radit, ingat itu dr. Arga.”
Zoya, pergi dengan marah. Sementara Arga, dia hanya menatapnya dengan senyuman.
Beberapa, hari lalu Arga memang melihat Radit bersama Zoya menuju gudang farmasi. Karena, penasaran Arga, mengintip yang membuka sedikit pintu itu, tapi pada saat itu matanya menangkap basah Radit yang tengah memeluk dan mencium Zoya, apalagi posisi Zoya berada di bawah kungkungan Radit. Sehingga, Arga mengira jika Zoya, sengaja menggodanya.
Selain itu, Arga mendengar pembicaraan Zoya dan Ardian beberapa hari lalu, yang mengatakan tentang masa lalu, anak-anak dan lainnya. Memuat kecurigaannya benar, dan Arga tahu jika antara Ardian dan Zoya punya hubungan.
Zoya, berlari ke atas rooftop untuk menenangkan dirinya. Tangisnya pecah, ketika sampai di depan pagar pembatas. Zoya, berjongkok sambil meluapkan emosinya. Cukup sudah, selama 8 tahun dia hidup menderita, dalam bayangan masa lalu yang menyisakan trauma.
Dan ketika semua itu sudah terlupakan, kini hatinya harus kembali sakit karena hinaan mereka. Radit, dia benar-benar laki-laki kurang ajar yang memfitnah dirinya dengan mengatakan pada semua orang jika, dirinyalah yang menggoda.
“Zoya, kamu harus kuat. Jika kamu menangis siapa yang akan menenangkan anak-anak.”
Zoya, menghapus air matanya, lalu bangkit yang menarik diri dari tanah. Helaan nafas perlahan ia hembuskan sampai hatinya benar-benar tenang, Zoya, akhirnya kembali ke bawah. Kakinya yang lemas menapaki setiap tahap demi tahap anak tangga. Entah, kenapa Zoya memilih tangga darurat dibandingkan lift yang cepat membawanya ke lantai dasar.
“Dr. Zoya,” panggilan Arini, mengalihkan pandangannya. Zoya, berbalik setelah menghapus sisa air matanya.
“Iya, Arini?”
“Dr. Zoya, maaf sebelumnya. Tadi aku mendengar pembicaraan dokter dengan dr. Arga. Begini Dok, shift aku sudah selesai, jika dokter mengizinkan aku tidak keberatan untuk menjaga Zayden dan Zayda. Biar Arini saja yang pergi ke apartemen untuk melihat mereka, bagaimana?”
Niat Arini begitu baik, padahal sebelumnya Zoya ingin meminta bantuannya tapi tidak enak hati untuk mengatakannya. Zoya, pun senang karena Arini menawarkan bantuannya sendiri, sehingga Zoya langsung mengizinkan.
“Terima kasih Arini, aku akan sangat berterima kasih padamu. Aku akan kirim alamat apartemen ke nomor mu, ya.”
“Iya, Dr.”
“Jangan panggil begitu formal, kamu bisa panggil saya Mbak Zoya.”
“Baik, Mbak Zoya. Kalau begitu Arini pergi sekarang, ya Mbak. Jangan lupa kirim alamatnya.”
Arini berlalu, meninggalkan senyum cerah di wajah Zoya. Setidaknya Zoya, sudah merasa lebih baik dan tenang sehingga ia bisa fokus kembali. Zoya, pergi meninggalkan lorong sepi yang menuju ruang UGD.
Sementara di tempat lain, tepatnya di negara gersang. Seorang Letnan yang seharusnya menghabiskan waktu bersama anak-anaknya, dibuat sibuk dengan senjata api yang dipegangnya untuk melawan pemberontak. Ardian, dengan helm khusus dan pakaian lengkap, bersembunyi di bawah puing-puing bangunan sambil memberi beberapa tembakan ke arah musuh.
Dentuman keras pun saling bersahutan.
“Pergilah ke arah barat. Selamatkan beberapa sandera.”
“Tapi bagaimana denganmu?” Miko yang kembali bertemu dengan Ardian saat bertugas, tidak bisa meninggalkan temannya sendirian. Sebab, lawannya saat ini sangat tangguh.
“Percayalah padaku, aku akan baik-baik saja, cepatlah!”
Miko masih bergeming, ia melirik ke arah para sandera yang begitu banyak, di antaranya ada anak kecil. Sekilas, Miko pun teringat Zayden dan Zayda, bocah itu selalu menghibur anak-anak di sana. Akhirnya, setelah lama berpikir Miko pergi membawa para sandera ke tempat teraman.
“Jaga, dirimu,” ujar Miko menepuk bahu Ardian.
Ardian, mengangguk dengan senyuman, menatap sedih ke arah Miko yang semakin menjauh—samar. Ardian, tiba-tiba terdiam, matanya menerawang seolah mengingat seseorang yang jauh di sana.
Sedangkan, di Jakarta Zoya, yang sedang mengecek kondisi vital pasien-Nya tiba mendapat telepon dari Arini. Zoya, menjauh keluar dari UGD, sebelum akhirnya menjawab panggilan itu.
“Arini bagaimana? Apa anakku sudah makan, apa mereka sudah tidur? Sebentar lagi aku pulang mungkin 30 menit lagi, tolong jaga mereka, ya.”
“Mbak Zoya …,” lirih Arini, dengan suara samar.
Zoya, terdiam sesaat. “Arini … Arini, apa kamu menangis?”
“Zayden dan Zayda ….”
“Kenapa dengan mereka?”
“Mereka ….”
“Mereka ….”
“Arini, tolong jawab kenapa dengan anakku?”
Zoya terbelalak seketika, sesaat mendengar perkataan Arini.
Ya Allah, semoga kembar gak akan kenapa-napa...
up LG nnti thor
Pak Letnan, yang pintar kenapa sih gak liat itu anak-anak ada kemiripan gak sama dia, dan tas DNA. Apalagi punya rumah sakit sendiri... Gereget aku...