Novel roman. Bara cinta terlarang gadis pesindhen.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kidung Darma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 34
Malam itu, langit Wonosari sepi tanpa bintang.
Di panggung kayu beralas terpal, grup Ngudi Laras bersiap pentas. Lakon malam ini: Dasamuka Gugur. Lakon tentang kesombongan yang tumbang di tangan cinta dan kebenaran.
Ki Ratmoyo duduk bersila di belakang kothak wayang. Blangkon hitamnya menunduk, sorot matanya meredup oleh kenangan. Tangannya menggenggam cempala, tapi hatinya memegang sepi. Sebab malam ini, suara yang biasa menyusup lembut di sela suluk dan sabetan... tidak ada.
Asmarawati tak datang malam itu.
Sinden utama, bunga suara dari Ngudi Laras,
yang dulu bersenandung bersama angin dan gamelan, kini hanya menjadi gema yang tertinggal di telinga.
Ia dikurung di dalam kamarnya. Bukan karena marah. Bukan karena salah. Tapi karena jiwanya tak lagi bisa pulang.
Sejak malam itu—malam ketika cinta tak sampai, dan harapan dibentur tembok restu—
Asmarawati perlahan menjauh dari dunia.
Kini, yang menjaganya adalah Ki Sanusi.
Eyangnya yang dulu menimangnya saat bayi,
kini duduk di sudut kamar, membakar dupa,
membaca doa-doa tua yang tak lagi dikenal generasi muda.l
Di kamar itu, di balik jendela kayu tua,
Asmarawati duduk bersila di atas dipan. rambutnya tergerai, bibirnya tak henti menyebut: "Mas Wiji… Mas… ayo nembang Mas…"
Tangannya melambai-lambai ke udara,
seperti masih ada gamelan yang mengalun di langit-langit kamarnya. Kadang ia menyanyi.
Kadang ia menangis. Kadang ia tertawa tanpa suara. Kadang ia diam begitu lama, seperti batu yang berdoa.
Ki Sanusi menunggui dengan sabar. Bacaan mantranya pelan dan dalam,.berharap lelembut yang membelit pikirannya segera putus oleh cinta yang lebih suci.
Di pentas gamelan Ngudi Laras ditabuh. Nada slendro manyura mengalir seperti air yang mencari celah di bebatuan luka. Penabuh memainkan irama dengan canggung.
Ada ruang kosong di antara kendang dan gong, tempat biasanya suara Asmara mengambang.
Tabuhan kendang dibuka. Gong menggelegar.
Gender mengalun lirih seperti suara langit yang menahan tangis. Tiba saatnya: pertempuran agung antara Rama dan Dasamuka.
Bayangan sabetan wayang bergerak di layar. Getokan cempala mengiringi denting keprak. Wayang Rama menjulang gagah dengan busur di tangan. Di hadapannya, Rahwana berdiri dengan sepuluh tangan dan tawa angkuh.
(Wayang Rama maju ke tengah kelir, busur di tangan, mata menyala oleh marah dan cinta)
Rama: "Prabu Dasamuka..."
(Tiba-tiba tawa membelah malam. Wayang Dasamuka berkelebat dengan tangan yang di rentangkan, bayangannya menggetarkan layar)
Rahwana: "Hahahaha! Bedebah! Bangsat kau, Rama Wijaya!"
Rama (mendesak, penuh harap): "Prabu Dasamuka... Mumpung belum tiba detik kematianmu. Masih terbuka jalan harapan bagimu, Dasamuka. Sadarlah... sadarlah... sadar! Kembalikan istriku, Dewi Shinta, kepada panjenenganingsun. Jika engkau mengindahkan kata-kataku, Negaramu—Alengka—akan selamat."
Rahwana (menggelegar, menantang): "Piye?! Aku kamu suruh sadar? Menyerah? Begitu maumu, Rama Wijaya? Bangsat elek kowe!
Kamu pikir kamu siapa? Raja kecil dari Ayodya hendak menggurui aku?! Kau tak perlu sok peduli pada hidupku! Boyonglah Shinta! Rebutlah Alengka! Tapi ingat: Hanya jika kepala ini telah putus dari leherku, dan tubuhku terkulai jadi bangkai, baru kau bisa menyentuh mahkota ini!"
Rama (suara murka namun tetap tenang, menyayat): "Jika memang begitu kehendakmu, maka nyata sudah: Kau bukan raja bijak,
tapi raja durjana! Kau bukan pemimpin sejati,
tapi ratu kawengis—penguasa kegelapan Keangkuhanmu adalah luka bagi rakyatmu sendiri. Dan malam ini, panah gowawijaya akan menjemputmu menuju ajal!"
Rahwana (menyeringai, matanya merah membara): "Sing wengis kuwi kowe, Rama Wijaya! Kamu tidak berkaca pada keadaanmu sendiri. Kau anggap dirimu suci? Mulia! Lihat sekelilingmu! Kamu telah mengorbankan ribuan nyawa bala wanara! Ribuan prajurit munyuk itu mati, hanya untuk mengejar ambisimu sendiri. Kau raja yang tidak tahu diri! Kau menyebutku durjana? Tapi karena ulahmulah, prajurit-prajuritku tumbang, negaraku berantakan, tanah Alengka kini tinggal bara dan puing. Kowe… bangsat!"
Wayang Rahwana menyerang. Sabetannya cepat, tangan-tangannya berkelebat seperti badai. Namun Rama tetap tenang. Busurnya mengarah, panah dilepaskan satu demi satu.
Denting saron mengikuti tiap lesatan panah.
Tabuhan kethuk dan kempyang menyelingi sabetan Ki Ratmoyo.
Tiba saatnya panah Gowawijaya akan dilepas. Gong ageng dibentur kuat. Angin seperti berhenti berhembus. Waktu menahan napasnya. Rama mengangkat busurnya tinggi-tinggi, dan dengan suara yang menggetarkan malam Wonosari.
Rama berdiri tegak. Ia menarik busur Gowawijaya—panah pamungkas warisan dewata. Mata panahnya bersinar, menyalakan langit kelir seperti petir yang berdoa.
Rama (dengan suara tegas, lirih namun menyayat): "Panah ini bukan untuk membalas dendam. Tapi untuk menegakkan dharma. Wahai panah Gowawijaya, tujulah keangkuhan, bukan dagingnya—robeklah gelap di jiwanya!"
(Panah dilepaskan. Waktu berhenti sekejap. Gong ageng dibentur satu kali.)
RAAAKKKK!!
Pamah Gowawijaya melesat menembus leher Rahwana. Kepala sang raja raksasa terpental ke udara, darah membubung seperti bunga api, dan tubuhnya ambruk mengguncang layar dunia.
Wayang Rahwana jatuh, perlahan,
seperti gunung yang ditinggalkan jiwanya. Sukma Rahwana melayang. Perlahan meninggalkan tubuhnya yang tak lagi perkasa.
Ia melayang ke langit—menuju tempat tinggi yang jauh di atas awan: Tawang Gantungan.
Ruang sunyi bagi raja-raja besar yang gugur bukan hanya karena kalah, tapi karena mereka dikalahkan oleh dirinya sendiri.”
"Surem-surem diwangkara kingkin,
lir mangaswa kang layon,
dennya ilang memanise,
wadanira layu,
kumel kucem rahnya meratani,
marang saliranipun,
melas dening ludira kawangwang)
nggana bang sumirat, O —"
Ki Ratmoyo menunduk. Tangannya berhenti. Keringat menetes dari pelipisnya. Suara dari mulutnya sudah tidak keluar. Yang tersisa hanya isak pelan, dan kelir putih yang kini kosong... seperti dada seorang bapak yang kehilangan semua anaknya, satu karena cinta, satu karena dosa.
Ki Ratmoyo duduk membisu di balik kelir.
Keringat membasahi dahi, tubuhnya gemetar tipis. Di sisi panggung, Sundari duduk bersimpuh bersama para pesinden. Wajahnya pucat, matanya sembab. Ia tahu, malam ini bukan sekadar pementasan—melainkan doa yang sunyi, ratapan, dan penebusan.
Tiba-tiba, dari arah belakang panggung terdengar suara langkah. Cepat. Acak. Tak beraturan. Suara langkah menghentak lantai papan, seperti bunyi yang tak semestinya ada di malam sakral ini.
Lalu muncullah sosok itu. Asmarawati.
Ia naik ke panggung tanpa undangan, tanpa aba-aba. Rambutnya awut-awutan, menjuntai liar menutup sebagian wajah. Bajunya compang-camping, kebaya sinden yang kini hanya menyerupai kain luka. Di tangannya tergenggam serpihan selendang kuning, robek dan kusut.
Seluruh panggung membeku. Penabuh kendang berhenti menabuh. Penyinden saling menoleh. Penonton terdiam. Sundari refleks berdiri, tubuhnya gemetar, bibirnya bergetar.
“Ya Allah... Asmara…”
Ki Ratmoyo mendongak. Matanya membelalak. Mulutnya terbuka, namun tak satu kata pun sanggup keluar. Yang ia lihat bukan sekadar putrinya—tetapi luka, penyesalan, dan bayangan semua kesalahan yang selama ini ia kubur dalam diam.
Asmarawati berdiri di tengah panggung, menatap ke arah penonton dengan mata kosong. Kemudian, dengan suara parau, ia mulai menyanyi. Nyanyian jiwa yang penuh luka.
"Aku emoh ...yen mbok tinggal lunga
Aku bingung rumangsa keduwung
Yen rina nelangsa yen wengi sepi
Prasasat ngujiwat mung katon mata
Ora suwe, aku bali
Ora cidra, aku netepi janji
Mung welingku panyuwunku
Sangu, pupure wangi.."
Beberapa penonton meneteskan air mata. Sebagian lain menutup mulut, terperangah. Gadis pesinden kebanggaan desa itu kini berdiri dalam kegilaan, namun juga dalam kejujuran yang paling telanjang.
Asmarawati tertawa. Lalu menari. Tangannya melambai ke udara, kakinya berputar pelan di tengah panggung, seolah ia sedang mementaskan lakon yang hanya dirinya sendiri yang tahu arah ceritanya.
Sementara itu, Ki Ratmoyo bangkit perlahan.
Langkahnya pelan, tubuhnya gemetar.
Ia mendekat ke tengah panggung, tangan kanannya terulur. “Asmara... nduk... iki bapakmu... wis… mari, nduk… ayo wis wayahe bali...”
Asmarawati menghentikan tariannya.
Ia memandang ayahnya sesaat, lalu tersenyum. Namun senyumnya adalah senyum yang retak—senyum dari jiwa yang patah dan tak sempat dijahit.
“Aku wis bali, Pak... Ning aku ora bali koyo biyen... Aku saiki mung bayangan... bayangan saka katresnan…”
Dan panggung itu, yang semula tempat sandiwara, kini menjelma altar duka yang tak bisa diberikan ditepuk tangan. Malam itu, semua orang tahu: wayang bisa kembali ke kotak, tapi jiwa manusia... tidak semudah itu disudahi.
Belum sempat siapa pun bergerak dari keterpukauan atas kemunculan Asmarawati di atas panggung, langit tiba-tiba menggelegar.
Gubraaakkk!
Petir menyambar keras dari arah timur,.menggetarkan panggung, mengguncang tanah desa, dan membuat semua penonton tersentak kaget.
Hujan deras turun seketika—bukan gerimis pelan, melainkan guyuran besar seolah langit telah pecah, dan semua tangisnya tumpah sekaligus.
Panggung menjadi panik. Orang-orang berhamburan menyelamatkan gamelan, wayang, dan anak-anak kecil. Teriakan bersahutan. Ki Ratmoyo berusaha bangkit, tapi tubuhnya limbung. Sundari menggamit lengan suaminya dengan panik.
“Pak! Air... lihat, kali Brantas...!” Dari kejauhan terdengar gemuruh—bukan suara angin,
melainkan amukan air bah yang datang menggulung. Tanggul kali Brantas jebol.
Air meluap, deras, menggulung seperti ular raksasa meluap. Dalam hitungan menit, air membanjiri sawah-sawah dan menyusup ke jalan-jalan desa. Balai desa pun digenangi air Brantas. Orang-orang lari ke tempat tinggi.
Gubuk-gubuk dan warung pinggir jalan dekat sungai Brantas mulai terseret arus.
Tangisan anak-anak. Teriakan ibu-ibu.
Jerit warga yang mencari sanak keluarga semuanya berpadu menjadi nada histeria dalam malam yang mendadak liar.
Namun di tengah kekacauan itu, di atas panggung yang mulai terendam air, Asmarawati justru tertawa terpingkal-pingkal.
Ia berdiri di tengah panggung dengan tangan terangkat, berputar-putar dalam langkah tari yang kacau. Rambutnya kuyup, bajunya menempel di tubuh, namun wajahnya penuh tawa.
Ia bernyanyi dalam suara parau namun jelas,
suara yang menggema di tengah hujan dan air bah:
“Mas Wiji… iki banyune wes teko kene… ayo kene mas adus bareng… ayo joget neng tengahe banjir… hahaha… dalane ilang… tresnaku ya ilang…”
Ia menari di tengah genangan seperti wayang yang kehilangan dalang. Langkah kakinya menyibak air, gerak tangannya mengiris angin.
Tawanya memekik, menampar malam yang sudah lelah menahan duka.
Ki Ratmoyo menjerit memanggil namanya. Sundari bersimpuh di atas genangan, tubuhnya bergetar, mulutnya tak henti berdoa. Beberapa warga mencoba mendekat, namun arus banjir dari kali Brantas makin deras.
Tapi Asmarawati tak peduli. Ia terus menari dan menyanyi tembang-tembang campursari. Seolah panggung telah menjadi lautan, dan banjir adalah tembang terakhir yang harus ia lantunkan, walau dengan nyawa.
Dan malam itu, Wonosari tidak hanya kebanjiran air, tapi juga kebanjiran luka, kehilangan, dan penyesalan. Karena saat air surut nanti, tidak semua yang hanyut bisa kembali pulang.
Air telah mulai agak surut..Langit yang semula mendung kini tampak robek di satu sisi, menampakkan cahaya jingga yang lesu. Genangan di depan balai desa masih memantulkan langit, dan panggung pentas sudah hanyut entah ke mana.
Di tengah sisa lumpur, Asmarawati duduk memeluk lutut, matanya menatap kosong ke arah batang pohon pisang yang patah.
Tawanya telah hilang. Tapi air mata juga tidak turun. Ia hanya diam, seperti wayang yang kehilangan kelir.
Dan saat itulah, Ki Sanusi datang. Langkahnya pelan. Tubuhnya dibalut kain batik. Tangannya menggenggam tongkat kayu. Wajahnya tenang, namun di balik kedip matanya, ada badai yang telah lama reda dan hanya menyisakan makna.
Ia duduk di samping Asmarawati, tak berkata apa-apa. Angin pagi buta mengibaskan ujung kainnya. Lalu, dengan suara yang seperti suluk tanpa kendang, ia berkata: “Nduk... Sawijining tembang iku ora mung digawe kanggo nyanyi, tapi ugo kanggo ngelingake. Tembang iku dudu mung suara, nanging uga tandha: tandha nek ati lagi nandhang rasa.... Wong sing nyanyi bareng tangis, iku sejatiné lagi nglakoni laku paling suci—mergo atiné durung mati.” Asmarawati tetap diam.
Matanya kosong. Namun Ki Sanusi melanjutkan, kali ini pelan, seperti berbicara langsung ke dalam jiwanya: “Wong edan iku dudu wong kalah, nanging wong sing ora kuwat ndhelikaké rasa. Nanging, yen sliramu isih bisa nyuwara, isih bisa ngendika,
iku tandha. Gusti durung nyingkur awakmu. Nuli tangi, Nduk... Tembangmu durung rampung. Jagad iki isih butuh swaramu.”
Tangan keriput itu menyentuh ubun-ubun Asmarawati. Lirih sekali, ia membaca mantra kuno yang hanya didengar angin dan dedaunan. Dan untuk pertama kalinya, mata Asmarawati mengerjap pelan. Bibirnya bergetar. Bukan tertawa. Bukan menangis. Tapi sepotong suara lirih: “Mas… Wiji…”
Dan Ki Sanusi tersenyum. Bukan karena ia berhasil menenangkannya, tapi karena ia tahu: jiwa itu belum mati. Masih ada nyala kecil di antara puing-puing, yang bisa tumbuh kembali jika waktu masih bersedia.
"Arsa madhangi jagad
Duk mungup-mungup
Sapucaking wukir merbabak bang sumirat
Keneng soroting teja
Mega lan gunung-gunung"
>>>Tamat<<<