"Aku menyukainya. Tapi kapan dia akan peka?" ー Asami
"Aku menyukaimu, tapi kurasa orang yang kamu sukai bukanlah aku" ー Mateo
"Aku menyukaimu, kamu menyukai dia, tapi dia menyukai orang lain. Meski begitu, akan aku buat kamu menyukaiku lagi!" ー Zayyan
.
.
.
Story © Dylan_Write
Character © Dylan_Write
Cover © Canva
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dylan_Write, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gadis Di Balik Bayang
Asami menatap bayangannya di cermin kamar mandi sekolah. Mata yang biasanya cerah dan penuh semangat kini terlihat sayu dan lingkaran hitam mulai menghiasi bawah kelopak matanya.
Ia menghela napas panjang, merasakan ada sesuatu yang berat di dalam dadanya, tapi ia tidak tahu apa itu. Ada sesuatu yang hilang. Atau mungkin… seseorang?
"Apa yang terjadi padaku?" gumamnya lirih.
Ia memegang pinggiran wastafel, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. Suasana di dalam dirinya seperti badai yang datang tiba-tiba. Baru saja tadi ia tertawa bersama teman-temannya, dan sekarang ia merasa ingin menangis tanpa alasan yang jelas. Air matanya sudah berkumpul di ujung mata, siap jatuh kapan saja, seperti hujan yang menunggu tanda untuk tumpah.
"Asami, cepetan, kita udah telat buat rapat OSIS!" Suara Mateo terdengar dari luar area kamar mandi perempuan, menggema di dinding-dinding yang dingin.
Asami menggeleng, mencoba mengusir perasaan tak nyaman yang berputar di dalam dadanya. "Sebentar," jawabnya, suaranya serak dan terpotong.
Ia memandang bayangannya lagi, merasa seakan sedang berbicara dengan orang asing. Asami yang ia lihat tidak lagi seperti dirinya yang dulu; seseorang yang kuat, yang selalu tahu apa yang harus dilakukan, yang selalu bisa diandalkan. Ia sekarang seperti gadis kecil yang tersesat di dalam dirinya sendiri.
Dia merapikan rambutnya dengan tangan gemetar. Mood-nya seperti ombak di lautan; bergelombang dan tak terkendali. Ia bisa saja tertawa keras satu detik, lalu menangis tanpa sebab di detik berikutnya. Bahkan ia sendiri tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Kenapa ia merasa begitu marah, begitu sedih, begitu... kosong?
"Semuanya berubah," pikirnya, menatap lantai ubin putih.
Semua orang tampak begitu jauh, begitu tidak bisa ia jangkau. Mateo, Maya, teman-teman OSIS, bahkan orang tuanya... semuanya terasa asing. Dan yang paling aneh, ia merasa seperti menjadi orang yang berbeda — seseorang yang tidak ia kenal.
Ia keluar dari kamar mandi, menunduk dan berjalan menuju ruang rapat OSIS. Mateo menatapnya dengan alis terangkat, mencoba membaca ekspresi di wajah Asami yang kosong. "Kamu baik-baik aja?" tanyanya dengan nada khawatir.
Asami hanya mengangguk singkat. Ia terlalu lelah untuk menjelaskan. Terlalu lelah untuk menyadarkan Mateo bahwa ia tidak tahu lagi apa arti "baik-baik saja".
Di dalam ruang rapat, suara-suara bercampur menjadi satu. Teman-temannya membicarakan persiapan acara perpisahan dan tugas-tugas lainnya, tapi semua terdengar seperti dengungan nyamuk di telinganya.
Ia duduk di pojok ruangan, mencoba menahan gelombang kemarahan yang tiba-tiba muncul dari dalam dirinya.
Apa lagi sekarang? Mengapa semuanya begitu menjengkelkan? Ia menutup matanya, berharap bisa melarikan diri sebentar ke dalam dunianya sendiri.
Di sana, dalam imajinasinya, Asami masih bisa tersenyum. Ia masih bisa menjadi siapa saja yang ia inginkan. Karakter 2D yang ia ciptakan selalu menyambutnya dengan hangat, dengan senyum yang penuh cinta dan kebahagiaan yang sederhana.
Di dunia itu, ia tidak harus menjadi sempurna, tidak harus memecahkan setiap masalah sendiri. Tapi kenyataan memanggilnya kembali, menariknya dengan paksa dari pelukan hangat dunia fantasinya.
"Asami, ada masalah?" tanya Argus yang sekarang menjadi Ketua OSIS. Suaranya terdengar tegas namun penuh perhatian.
Asami tersentak, kembali ke realitas yang dingin. Ia menatap ke arah Argus, tidak tahu harus berkata apa. "Tidak ada," jawabnya cepat, mungkin terlalu cepat. "Tidak ada yang salah."
Tapi ia tahu, di dalam hatinya yang paling dalam, ada begitu banyak yang salah. Dan seperti biasa, Asami harus memecahkan masalah itu sendiri. Tidak ada yang benar-benar tahu apa yang terjadi di dalam dirinya, tidak ada yang bisa mengerti.
Ia memandang keluar jendela, menatap langit yang mendung, dan berpikir, "Apa aku akan menemukan diriku yang hilang? Atau apakah aku akan terus terperangkap dalam bayangan ini selamanya?"
Di kepalanya, karakter-karakter 2D itu mulai muncul, mengajaknya berpetualang lagi. Tetapi kali ini, bahkan mereka tidak bisa menghiburnya. Mereka hanya terlihat seperti bayangan dari dunia yang jauh. Dunia yang mungkin tidak bisa ia sentuh lagi.
...ΩΩΩΩ...
Mateo memperhatikan Asami dari jauh, menatap gadis yang sedang duduk sendiri di bangku belakang kelas. Ia mengamati wajah Asami yang dulu selalu memancarkan semangat dan keceriaan. Namun, kini semuanya tampak berbeda. Senyum yang biasa menghiasi wajah Asami itu… hilang entah ke mana.
"Asami..." gumam Mateo pelan, merasa ada sesuatu yang salah.
Selama ini, Asami adalah gadis yang selalu bisa membuat hari-harinya menjadi sedikit lebih cerah. Gadis yang selalu menyapa dengan senyum hangat dan mata berbinar.
Tapi akhir-akhir ini, senyum itu tak lagi ada. Senyum itu seperti ditelan oleh bayang-bayang kesedihan yang dalam. Mateo bisa merasakannya. Meski wujud Asami ada di sana, begitu dekat, namun hatinya terasa sangat jauh, seolah berada di dunia lain yang tidak bisa ia jangkau.
Saat istirahat tiba, Mateo memutuskan untuk mendekati Asami. Ia berjalan menuju bangkunya dengan ragu, namun berusaha menyembunyikan kekhawatirannya di balik senyum.
"Hei, Asami," sapanya ceria, "Saya liat kamu diem aja dari tadi, sakit gigi?"
Asami hanya melirik sekilas, lalu kembali menatap buku catatannya yang kosong. "Nggak."
Jawaban itu seperti tamparan bagi Mateo. Biasanya, Asami adalah yang pertama tertawa mendengar ide-ide gilanya. Ia akan bercanda atau setidaknya menggodanya balik. Tapi hari ini, nada suaranya datar, kosong. Tak ada keceriaan, tak ada senyum.
"Asami... kamu beneran baik-baik aja?" tanya Mateo lagi, kali ini dengan nada lebih serius.
Asami mendongak sejenak, menatap mata Mateo dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Saya baik-baik aja," jawabnya cepat, terlalu cepat. "Hanya... sedikit lelah."
Mateo mengangguk, tapi hatinya tak yakin. Ada sesuatu yang berbeda dalam cara Asami menjawab, ada sesuatu yang tersembunyi di balik kata-katanya.
Ia mencoba tak memaksakan, tapi tidak bisa menahan diri. "Kalau ada apa-apa, kamu tau, kan, kamu bisa cerita ke aku?"
Asami menghela napas pelan, senyumnya tipis dan penuh kepura-puraan. "Saya tau, Mateo. Terima kasih."
Namun, senyumnya itu tidak sampai ke matanya. Itu hanya senyuman yang digunakan untuk menenangkan, bukan senyuman yang tulus.
Mateo merasa frustasi. Ia mencoba lagi, dengan cara-cara abstraknya yang biasa. "Kamu tau? Saya kemarin ketemu ninja di jalan? Dia bilang dia mau kasih saya misi rahasia untuk bikin kamu tersenyum lagi. Misi ninja ini serius, lho, nggak main-main!"
Biasanya, lelucon seperti ini bisa memancing tawa Asami. Tapi kali ini, Asami hanya mengangguk kecil. "Ninja itu mungkin salah orang," balasnya dengan nada dingin, tanpa sedikit pun antusiasme.
Mateo terdiam sejenak, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Asami yang ia kenal, yang biasanya selalu bisa tertawa meski di saat-saat tersulit, kini terasa seperti bayangan dirinya sendiri.
Ia berusaha memikirkan hal lain yang bisa ia lakukan, sesuatu yang bisa membuat Asami kembali menjadi dirinya yang ceria. Tapi apa?
Ia memutuskan untuk mencoba pendekatan lain. "Asami, saya tau kamu bilang baik-baik saja, tapi… saya bisa merasakan ada yang berubah. Kamu nggak perlu cerita sekarang kalau belum siap, tapi tolong jangan menutup diri. Kamu nggak sendirian, oke?"
Kali ini, Asami benar-benar menatapnya, seolah ingin mengatakan sesuatu. Tapi kemudian, pandangannya kembali turun.
"Aku baik-baik saja, Mateo. Serius," katanya pelan, dengan senyum kecil yang terlihat lebih seperti usaha untuk menenangkan Mateo daripada dirinya sendiri.
Mateo merasa perih melihat itu. Asami terlalu pintar menyembunyikan rasa sakitnya, terlalu pandai menyusun kata-kata untuk menutupi apa yang sebenarnya ia rasakan. Tapi Mateo bisa melihat, bisa merasakan ada tembok yang mulai ia bangun, perlahan tapi pasti, memisahkan dirinya dari orang-orang di sekitarnya.
"Baiklah, kalau kamu nggak mau cerita sekarang," kata Mateo akhirnya, dengan senyum kecil yang sedikit dipaksakan.
Asami hanya mengangguk pelan, lalu kembali tenggelam dalam pikirannya sendiri. Mateo tahu, senyum itu tidak lagi ada.
Asami mungkin dekat, tapi hatinya terasa sangat jauh. Dan meski Mateo terus mencoba menghiburnya, ia sadar ada sesuatu yang dalam dan gelap yang menyelimuti gadis itu. Sesuatu yang tidak bisa diusir dengan hanya tawa dan lelucon.
Sesuatu yang harus dihadapi Asami… sendirian.
...ΩΩΩΩ...
Di sisi Zayyan, ia tahu mendekati Asami saat ini seperti berjalan di atas kaca yang sangat tipis. Setiap langkah harus hati-hati, setiap kata harus dipilih dengan cermat. Ia menyadari betul bahwa Asami sedang rapuh, bahwa di balik ketenangan yang ia perlihatkan, ada sesuatu yang retak di dalamnya.
Namun, Zayyan tak ingin menakuti atau membuat Asami merasa terpojok. Ia ingin menjadi seseorang yang bisa Asami andalkan, seseorang yang bisa ia cari ketika dunia terasa terlalu berat untuk dihadapi sendirian.
Maka Zayyan pun mulai dengan cara yang sederhana. Tidak memaksa Asami bicara jika ia tidak mau, tidak menanyakan hal-hal yang terlalu dalam atau pribadi. Ia memulainya dengan menyapa Asami di pagi hari, mengiriminya pesan singkat yang sederhana namun hangat.
...----------------...
Human
Pagi, Asami!
Human
Semoga harimu menyenangkan hari ini. Kalau butuh sesuatu, kabar-kabar ya.
...----------------...
Kadang Asami membalas, kadang tidak. Tapi Zayyan tak pernah merasa keberatan. Ia tetap menyapa, tetap mengirimkan pesan tanpa menuntut jawaban. Ia tahu, Asami sedang mencoba menyeimbangkan dirinya di atas badai yang bergejolak, dan Zayyan hanya ingin menunjukkan bahwa ia ada di sana, siap untuk Asami kapan pun ia mau.
Malam hari, Asami sering kali menghabiskan waktunya dengan tenggelam dalam dunia imajinasi yang ia ciptakan. Dunia yang terasa lebih nyaman, lebih bebas, dan lebih aman daripada kenyataan yang ia hadapi setiap hari.
Tapi entah mengapa, setiap kali ponselnya bergetar dan nama Zayyan muncul di layarnya, ia merasa ada sedikit rasa hangat yang merambat dalam hatinya.
...----------------...
Human
Hei, Asami. Gimana harimu?
Human
Ada cerita seru di dunia imajinasimu?
...----------------...
Asami tersenyum tipis membaca pesan itu. Ia merasa aneh, karena ia tak menyangka ada seseorang yang ingin tahu tentang dunianya yang paling pribadi, dunia yang ia anggap konyol dan kekanak-kanakan. Tapi dengan Zayyan, ia merasa aman untuk berbagi, setidaknya sedikit.
...----------------...
^^^Asakyuunn^^^
^^^Nggak ada yang spesial. Hanya petualangan biasa, melawan naga dan monster... seperti biasa...^^^
Human
Wow, kedengarannya seru!
Human
Mungkin aku harus mulai belajar jadi ksatria juga, supaya bisa ikutan berpetualang denganmu!
...----------------...
Asami tertawa pelan, sebuah tawa yang sangat jarang keluar akhir-akhir ini. Ada sesuatu tentang cara Zayyan merespon yang membuatnya merasa sedikit lebih ringan.
Ia merasa Zayyan tidak mencoba menggali terlalu dalam, tidak memaksanya untuk membuka luka yang belum siap ia tunjukkan. Ia hanya... ada. Menemaninya dalam percakapan-percakapan ringan yang sebenarnya sangat berarti.
Malam demi malam, percakapan mereka semakin panjang. Asami mulai bercerita lebih banyak, bukan hanya tentang dunia imajinasinya, tapi juga tentang kesehariannya, tentang kekesalannya, dan tentang rasa lelah yang sering ia rasakan tanpa alasan jelas.
Zayyan mendengarkan dengan sabar, sesekali menambahkan komentar ringan atau lelucon kecil yang membuat Asami tersenyum.
Di sisi lain, Zayyan semakin paham betapa beratnya beban yang Asami tanggung. Ia tahu bahwa Asami berusaha keras untuk menyimpan semuanya sendiri, berusaha menunjukkan bahwa ia baik-baik saja meskipun jelas ia tidak.
Namun, Zayyan juga tahu bahwa Asami butuh waktu. Ia butuh seseorang yang tidak menekan, tidak memaksa, tapi hanya ada di sana, siap mendengar kapan pun ia siap berbicara.
Zayyan membuat janji pada dirinya sendiri.
"Aku akan terus di sini untuknya," gumamnya. "Aku akan terus menjadi tempat yang aman baginya, sampai ia siap membuka dirinya sepenuhnya. Dan aku akan membawanya kembali, membawa Asami yang ceria, yang berani, yang aku cintai."
Suatu malam, ketika percakapan mereka berakhir, Zayyan mengirimkan pesan terakhir sebelum tidur.
...----------------...
Human
Selamat malam, Asami
Human
Jangan lupa, kamu gak sendirian. Ada aku di sini, selalu
...----------------...
Asami membaca pesan itu berulang-ulang. Ada sesuatu yang hangat, sesuatu yang lembut menyelinap ke dalam dadanya. Entah kenapa, ia merasa lega. Ada seseorang yang bersedia mendengarkannya, menemani malam-malam sunyinya, bahkan jika hanya lewat kata-kata di layar ponsel.
...----------------...
^^^Asakyuunn^^^
^^^Selamat malam, Zayyan. Terima kasih^^^
...----------------...
Balas Asami singkat, tapi kali ini dengan senyum tulus yang ia rasakan di dalam hatinya.
Di balik layar ponselnya, Zayyan tersenyum. Ia tahu, ini hanya permulaan. Tapi ia juga tahu, untuk sekarang itu lebih dari cukup. Ia akan tetap ada, perlahan mendekat, dengan sabar dan penuh harap.
Karena Zayyan percaya, di suatu tempat jauh di dalam hati Asami, ada cahaya yang masih berpendar, menunggu saat yang tepat untuk kembali bersinar.
...******...
Semangat ya🙂
pasti dia ngerasain hal itu tapi tetep berusaha buat nahan rasa sakitnya tanpa harus di luapkan.
Tak bisa berbicara juga tak ingin merasa sakit/Scowl/
semangat Zayyan kamu pasti bisa membuat Asami jatuh hati sama kamu. . .
masih jauh...saling support yaa
Ini karya pertamaku di sini. Hope this book can make all of you enjoy reading!
Masih banyak kekurangan dalam buku ini, tapi aku selalu berusaha memperbaikinya hari demi hari.
Mohon dukungannya~!
smgt thor💪