Kamu sepuluh aku sebelas. Kamu selingkuh, aku balas.
Ketika perselingkuhan menjadi sebuah permainan dan menjadi satu-satunya cara untuk membalaskan sakit hatinya akan pengkhianatan. Sanggupkah rumah tangga Theo dan Laura bertahan disaat pondasinya mulai runtuh perlahan?
Mengetahui Theo bermain api di belakangnya, tak lantas membuat Laura menuntut klarifikasi saat itu juga. Laura justru membalas permainan Theo dengan cara yang sama.
Diam-diam Laura pun bermain api di belakang Theo. Sampai akhirnya perselingkuhan Laura terbongkar ketika Laura menyatakan dirinya hamil.
Bagaimanakah kisah Theo dan Laura dalam menjalani biduk rumah tangganya? Ikuti kisah selengkapnya di sini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fhatt Trah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 23
BSM Bab. 23
“Silahkan, Tuan.” Edrick mempersilahkan begitu membuka pintu mobil. Si pajero sport hitam yang belum diperbaiki bumper belakangnya itu menepi di depan gedung AFECTO Grup.
Seorang pria berparas tampan, berwajah khas Latin turun dari mobil itu. Kacamata hitam tak pernah absen dari wajahnya. Dia, Ryan Antonio, mengayunkan langkahnya penuh percaya diri. Sambil satu tangannya menenteng sebuah paper bag kecil yang berlogo jam tangan bermerek.
Namun ayunan langkahnya terhenti sebelum melewati ambang pintu masuk. Ryan berbalik, lalu mengarahkan telunjuknya kepada Edrick yang baru saja menutup pintu mobil dan menyerahkan kunci mobil kepada petugas parkir. Yang hendak memarkirkan mobil tuannya ke tempat parkir khusus.
“Ada apa, Tuan Ryan?” Edrick sedikit terkejut melihat Ryan mengarahkan telunjuk kepadanya.
“Bukannya kamu bilang kamu mau bertemu wanita itu?” tanya Ryan.
“Iya, Tuan. Rencananya hari ini. Memangnya kenapa Tuan Ryan?”
“Kalau begitu aku punya tugas untukmu.” Ryan tersenyum. Sebuah ide tiba-tiba terbersit di kepalanya.
****
Seperti biasanya, Laura tak lagi menyiapkan sarapan untuk Theo setiap paginya. Disajikan pun percuma, Theo lebih memilih sarapan di kantor. Mungkin karena sekarang ada Feli, sehingga Theo lebih memilih sarapan berdua bersama Feli di kantin kantor ketimbang bersama Laura, istrinya sendiri. Sayangnya Laura baru mengetahui kebenaran ini sekarang setelah berbulan-bulan lamanya.
Sakit memang hati Laura. Sakitnya tak terkira. Bahkan lebih sakit ketika ditinggal oleh kedua orang tuanya. Pengkhianatan Theo meremukkan seluruh jiwa raganya. Dalam sekejap ia telah kehilangan kepercayaannya terhadap Theo. Semua impian yang lama ia bangun, harus runtuh dalam sekejap.
“Aku pergi dulu.” Theo berkata sambil berlalu, menenteng kameranya.
Laura yang sedang duduk di meja makan menikmati teh hangatnya itu tak menggubris, bahkan tak menoleh sedikitpun. Mati-matian ia meredam amarah serta sakit hatinya akan perbuatan Theo.
Seharusnya Laura meminta penjelasan. Sebab jelas-jelas Theo selingkuh di belakangnya. Seharusnya Laura menuntut pengakuan dari Theo. Sebab jika dibiarkan, lama-kelamaan akan menjadi boomerang untuk dirinya sendiri.
Namun yang menjadi pertimbangan Laura, akankah Theo mengakui perbuatannya, lalu meminta maaf?
Tidak mungkin!
Theo sudah pasti akan menyangkal. Apalagi Laura tidak memiliki bukti yang kuat. Setidaknya Laura punya bukti yang valid, yang akan membuat Theo tak berkutik, bahkan tak bisa mengelak lagi.
Akan tetapi, bagaimana caranya?
“Oh ya, Ra.” Theo datang mendekat, mengambil satu kursi di sebelah Laura untuk ia duduki.
Laura masih enggan menoleh. Ia memilih menyeruput teh hangatnya.
“Aku mungkin keluar kota beberapa hari. Kemarin aku dapat kabar dari Pak Samsul, kalau Antonio akan berada di sana selama beberapa hari. Kamu tidak apa-apa kan aku tinggal sendiri?” sambung Theo bertanya.
Laura mengangguk pelan. Sulit baginya berkata dalam suasana hatinya saat ini. Ia tahu Theo sedang berbohong kepadanya. Theo bukan hendak pergi ke luar kota, melainkan hendak pergi menginap di tempatnya Feli. Sakit hatinya dibohongi seperti ini. Tetapi untuk bertindak, ia tak boleh gegabah.
“Kalau ada apa-apa sama kamu, cepat kamu kabari aku ya? Dan ingat, kamu jangan terlalu capek.” Dalam keadaan seperti ini, Theo masih saja menunjukkan perhatiannya. Yang membuat Laura muak, entah perhatian itu tulus atau tidak.
“Ya sudah, aku berangkat dulu ya?” Theo berdiri, hendak beranjak.
“Kalau seandainya aku minta kamu berhenti dari pekerjaan ini, apa kamu bersedia?” tanya Laura tiba-tiba, menghentikan ayunan langkah Theo.
Theo berbalik. Ditatapnya Laura dengan kebingungan. Mengapa gerangan tiba-tiba Laura melontarkan tanya seperti itu. Bukankah selama ini Laura lah yang menjadi orang pertama yang selalu mendukungnya dalam keadaan apa pun?
Theo bingung juga keheranan.
“Maksud kamu?” tanya Theo melipat dahinya.
Bangun dari duduknya, Laura lalu menghampiri Theo. Sedari tadi perasaannya dibuat tak karuan. Sulit sebetulnya bagi Laura menahan kesakitan ini seorang diri. Dia, Theo, pria yang berdiri di hadapannya saat ini, pria yang telah berjanji setia kepadanya, justru tega menghancurkannya.
Tak mudah bagi Laura menata perasaannya saat ini. Tak mudah bagi Laura untuk bisa bersikap tenang ditengah deraan sakit yang menghujam sampai ke dasar kalbunya saat ini.
Melihat wajah Theo saja, rasa-rasanya Laura ingin sekali mendaratkan tamparan bertubi-tubi di wajah itu. Wajah yang penuh kepalsuan.
“Aku ingin kamu berhenti. Berhenti dari pekerjaan ini!” tegas Laura pada setiap katanya.
Theo cukup terkejut. “Laura, ada apa dengan kamu? Kamu baik-baik saja kan?”
“Iya, aku baik-baik saja.”
“Lah, terus kenapa kamu tiba-tiba minta aku berhenti? Kamu tahu kan ini impian aku?”
“Aku tahu. Aku bahkan sangat tahu kamu punya impian yang lebih besar dari ini. Tapi apa kamu pernah bertanya apa impian aku?” Sungguh Laura tak bisa menahan luapan perasaannya saat ini. Sulit sekali rasanya mengendalikan amarah itu.
“Aku tahu kamu sangat ingin punya anak, Laura. Tapi apa yang bisa aku lakukan kalau Tuhan saja belum ngasih kita kesempatan.”
“Berusaha. Apa susahnya usaha. Kamu sadar tidak, pekerjaan kamu ini sudah menyita banyak waktumu. Kamu bahkan hampir tidak punya waktu lagi buat aku.” Emosi Laura meletup-letup. Kedua matanya pun mulai berkaca-kaca. Namun sebisa mungkin ia tak menyinggung tentang Feli. Ia hanya ingin melihat apakah Theo masih peduli kepadanya.
“Laura, sejak awal kamu sudah tahu konsekuensi dari pekerjaan aku ini. Sejak awal kamu juga tidak pernah mempermasalahkannya. Lalu sekarang kenapa kamu malah jadi seperti ini?”
Laura diam sejenak, ia mengatur pernapasannya. Ia sadar ia telah lepas kendali. Jika ingin Theo mengakui perbuatannya, bukan seperti ini cara yang seharusnya ia lakukan. Namun bersabar itu sungguh sulit rasanya.
“Maaf. Maafkan aku,” ujar Laura memelankan nada suaranya.
“Ya sudah.” Theo mengulurkan tangannya, mengelus lembut lengan Laura.
“Aku juga minta maaf. Aku tahu seperti apa perasaan kamu. Maafkan aku yang belum bisa memenuhi impian kamu. Tapi aku janji sama kamu, setelah pekerjaanku ini selesai, aku akan bawa kamu liburan ke luar kota. Gimana?”
Ya ampun. Dalam keadaan berbohong sekalipun, Theo masih bisa memberi janji manis kepada Laura. Entah janji itu akan dia penuhi atau tidak. Atau bisa saja Theo malah pergi liburan dengan wanita lain.
“Kapan selesainya?”tanya Laura.
“Tergantung. Aku juga belum tahu kapan. Kecuali kalau kamu bisa bawa Antonio ke hadapanku.”
Laura melipat dahi menatap Theo.
“Bercanda, sayang. Aku hanya bercanda. Mana mungkin juga kamu bisa mempertemukan aku dengan si Antonio itu. Ya sudah, aku berangkat dulu. Daaah ...” Melambaikan tangan, Theo kemudian berlalu usai melabuhkan satu kecupan di kening Laura.
Laura pun hanya bisa meniupkan napasnya panjang. Sambil memandangi punggung Theo yang semakin menjauh. Kemudian menghilang dibalik pintu depan.
****
“Apa? AFECTO Grup?” Laura terkejut begitu sampai di toko, Rere memberitahunya soal pesanan kue dari AFECTO Grup. Pesanan dalam jumlah yang tak sedikit itu harus diantarkan oleh Laura sendiri.
Rere sebelumnya sudah menawarkan jika pesanan itu akan diantar oleh kurir online, tapi pihak perusahaan menolak. Karena mereka memesan dalam jumlah yang banyak, Rere pun tak menolak.
“Tadi ada yang datang langsung ke sini memesan kue sebelum kamu datang,” kata Rere menjelaskan.
“Tapi kenapa harus aku sih, Re. Kita berdua bisa kan? Pesanannya banyak loh ini.”
“Aku juga tidak tahu, Ra. Tapi kata orang itu, kamu tidak perlu membayar ganti rugi kalau kamu sendiri yang nganterin kue ini ke perusahaan itu.”
Laura langsung paham. Ia tahu siapa gerangan yang memesan kue. Siapa lagi kalau bukan si pemilik Pajero yang ia tabrak tempo hari itu.
“Ya sudah. Mana alamatnya?” Tidak ada pilihan lain jika tidak ingin masalahnya tambah panjang.
★
artinya theo sdh tdk memprioritaska. layra! hrsnya tuh venih seminggu sdh full hrsnya ditebarkan ke istrinya.ini malah ke jalang.teman laki2 saya cerita! sebajingannya laki2 tidak akan mau nikah dgn peremouan murahan! yg dgn mudah mau tidur tanpa ikatan.artinya itu bukan wanita baik tidak bagus utk ibu dr anak2nya. Gen nya Rusak,liar!!