Dia pikir suaminya sudah tewas dalam sebuah kecelakaan tiga tahun lalu.
Tetapi, siapa sangka jika suami yang sangat dicintainya itu kembali setelah sekian lama menghilang. Namun, bukannya bahagia Maysha malah harus dihadapkan dengan kenyataan pahit. Arlan kembali dalam keadaan tak mengingat dirinya. Lebih parahnya lagi, dia membawa seorang istri yang tengah berbadan dua.
Maysha pun harus rela membagi suaminya dengan wanita lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mereka Ada Hubungan Apa?
Maysha duduk bersimpuh di atas sajadah. Derai air mata mengiringi setiap sujudnya. Kepedihan hatinya tak terbendung lagi dan hanya dapat ia curahkan dalam doa. Kata orang terkadang mengadu kepada sesama manusia dapat membawa bencana, sehingga Maysha memilih mengadu kepada Tuhan dalam sujudnya.
Bukan hal mudah menerima kenyataan bahwa sekarang ia harus berbagi suami dengan wanita lain. Maysha bahkan tak sanggup membayangkan kebersamaan mereka di kamar sebelah. Apakah sedang tidur atau sedang saling berbagi kehangatan.
Isak tangis mewarnai seisi kamar. Maysha berulang-ulang berusaha meredam tangis. Namun, rupanya rasa sakit yang bersarang di hati memaksa sepasang bola matanya melelehkan cairan bening. Semakin ditahan, semakin deras mengalir.
Ia hancur. Sehancur-hancurnya.
Sementara di kamar sebelah ....
Beberapa jam terbaring dalam balutan selimut, Arlan belum juga dapat terpejam. Pikirannya selalu dipenuhi oleh Maysha. Ia merasa bersalah karena sebagai suami sudah berbuat tidak adil terhadap Maysha dan terkesan lebih mementingkan Laura.
Laki-laki itu bangun dan memilih duduk bersandar. Melirik ke arah tempat tidur di mana Laura sudah terlelap. Tadi Laura sempat merajuk setelah ajakannya untuk bercinta ditolak mentah-mentah.
Namun, Arlan tak begitu peduli. Sejak awal ia memang tak memiliki h@srat kepada Laura. Berbanding terbalik dengan Maysha yang justru sangat mudah membangkitkan hasratnya.
Arlan melirik arah jarum jam yang melekat pada dinding kamar. Waktu sudah menunjuk ke angka dua.
“Maysha sudah tidur belum, ya?” Arlan bertanya dalam hati. Sebab kemarin ia sempat mendapati Maysha masih terjaga di jam seperti ini. Entah untuk shalat malam, ataukah bangun untuk sahur.
Perlahan ia beranjak dari kursi menuju pintu. Dari sana Arlan dapat melihat pintu kamar Maysha yang tidak menutup sempurna dan menyisakan sedikit celah. Ia memilih mendekat. Mendorong pintu secara perlahan dan melongokkan kepala ke dalam. Maysha tidak terlihat di tempat tidur.
“Mungkin di dapur.” Baru saja akan menutup pintu kembali, perhatian Arlan sudah tersita oleh sajadah yang membentang di sisi tempat tidur. Ada Maysha yang sedang terbaring di sana.
“Apa Maysha habis shalat dan ketiduran?” Arlan bermonolog. Melihat Maysha tertidur masih dalam balutan mukena.
Dengan langkah pelan Arlan memasuki kamar itu dan berjongkok tepat di sisi Maysha. Tak tega membangunkan, ia memilih menggendong istrinya itu ke tempat tidur dan memakaikan selimut. Sepertinya Maysha sedang dalam keadaan sangat lelah. Karena sama sekali tidak terbangun saat Arlan memindahkannya.
Kepingan rasa bersalah terasa semakin besar saat Arlan mendapati deretan bulu mata lentik Maysha yang masih basah. Juga matanya yang agak sembab, menandai ia habis menangis.
“Maafkan aku, Maysha. Aku janji akan cari jalan terbaik untuk kita.”
**
**
Pagi harinya
Arlan tampak sudah rapi dengan pakaian kerja. Mulai hari ini ia akan aktif di kantor sambil belajar membantu Andre mengurus perusahaan. Andre memang sengaja meminta Arlan ke kantor setiap hari. Dipikirnya cara ini dapat membantu untuk merangsang ingatannya.
Setelah memastikan penampilannya cukup rapi, Arlan menuju ruang makan. Meninggalkan Laura yang masih terlelap. Tetapi, saat tiba di sana tak terlihat Maysha. Hanya ada Bik Wiwin seorang.
“Maysha mana, Bik?”
Bik Wiwin yang sedang membersihkan dapur lantas menoleh. “Non Maysha sudah berangkat duluan, Den. Katanya ada janji penting pagi ini. Tadi cuma minum susu dan langsung berangkat.”
“Oh.” Arlan melirik meja. Di sana ada gelas yang sudah kosong. Juga sebuah map berlogo rumah sakit tempat Maysha bekerja. Arlan meraih dan membaca nama yang tertera di sana. Sepertinya itu adalah rekam medis milik pasien.
“Ya ampun, itu kan punya Non Maysha. Pasti Non Maysha lupa,” ucap Bik Wiwin ketika melihat map di tangan Arlan. Tadi Maysha sempat ke kamar mandi sebelum berangkat dengan sedikit tergesa-gesa sehingga melupakan map nya.
“Ya sudah, nanti saya saja yang bawakan,” tawarnya. Kebetulan jarak kantor dan rumah sakit tidak begitu jauh. Sehingga Arlan bisa menyempatkan waktu untuk mengantarkan kepada Maysha.
"Baik, Den."
Selepas sarapan Arlan langsung berangkat dengan diantar seorang sopir kantor. Begitu tiba di rumah sakit ia bergegas menuju ruang kerja Maysha. Suasana masih tampak sunyi. Ruang tunggu pasien di depan ruangan Maysha juga masih kosong dan hanya ada beberapa petugas kebersihan yang sedang bekerja.
Saat hendak masuk ke ruangan, Arlan terdiam di ambang pintu. Di dalam sana ada Dokter Mario yang sedang duduk tepat di hadapan Maysha. Keduanya tampak sedang mengobrol dan terlihat cukup dekat di mata Arlan.
Namun, bukan itu yang menjadi pusat perhatian Arlan. Melainkan sebuah kotak perhiasan berisi cincin berlian di tangan Mario.
“Kamu suka nggak?” tanya Mario. Sambil memperlihatkan isi kotak kepada Maysha.
Maysha tersenyum menatap cincin berlian tersebut. “Wah ini bagus sekali. Aku suka.”
Arlan sudah merasakan dadanya bergemuruh. Map di tangannya ia remas hingga hampir kusut. Beruntung ia segera tersadar bahwa benda di tangannya mungkin adalah sesuatu yang penting bagi Maysha.
"Ehm ..." Suara Arlan menghentikan pembicaraan antara Maysha dan Mario.
Mario yang menyadari kedatangan Arlan langsung menyembunyikan kotak cincin ke dalam saku. Sayangnya, Arlan sudah lebih dulu melihat.
"Mas, kamu ke sini?" Maysha langsung berdiri meninggalkan tempat duduknya.
"Aku bawakan ini. Kata Bik Wiwin ini punya kamu ketinggalan." Maysha melirik map di tangan Arlan. Ia bahkan lupa bahwa map nya ketinggalan di rumah.
"Terima kasih, Mas. Untung kamu bawa. Aku ada janji dengan pasienku pagi ini." Maysha mengulas senyum tipis. Namun, saat ini kondisi hati Arlan sedang terbakar. Jangankan membalas senyum. Ia malah menatap Maysha datar.
"Kalau begitu aku ke kantor dulu."
"Hati-hati, Mas."
Sebelum keluar dari ruangan itu Arlan sempat menghujamkan tatapan tak suka ke arah Mario. Sadar dengan sikap Arlan, Mario segera pamit menuju ruangannya sendiri.
“Sebenarnya mereka ada hubungan apa? Apa benar yang dikatakan Laura semalam? Kalau memang tidak ada apa-apa, kenapa Mario harus langsung menyembunyikan cincin itu?”
...****...