Novel ini merupakan kelanjutan dari cerpen Gara-gara Nolongin Bos Galak versi horor komedih nggak pakai putar.
Rachel nggak akan menyangka kalau pertemuannya dengan bos garang bin gahar malam itu merupakan awal dari segala kesialan dalam hidupnya. Asisten Pribadi yang menjadi jabatan yang paling diincar dan diinginkan para ciwik-ciwik di kantor malah jatuh pada cewek cupu macam Rachel, tapi dengan syarat dia harus mengubah penampilannya. Daaaan atraksinya menyambung rambut di salon malah membuat Rachel terus-terusan di ganggu makhluk halus. Akankah Rachel bisa melepaskan diri dari jeratan teror makhluk tak kasat mata itu? we never know...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reina aka dian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pundung
"Maksudnya terbiasaaa?" aku tanya Tristan yang lagi makan sotonya.
"Maksudnya ya, kalau lagi jalan sama aku kamu harus terbiasa diliatin dan diomongin. Maklum kan aku banyak penggemarnya disini," ucap Tristan pede.
Ya tau ganteng tapi nggak usah sok kecakepan banget jadi orang. Berhubung soto udah di depan mata aku makan aja dulu, ya lumayan aja buat ngeganjel nih mata, biar nggak ngantuk. Kan lumayan berkuah dan pedes tuh.
Baru juga makan beberapa suap, dan nyeruputin es jeruk yang seger banget rasanya, aku ngeliat mas Liam jalan gitu keluar kantin. Padahal tadi kayaknya aku nggak ngeliat dia ada disini.
"Mas Liam?" gumamku lirih.
"Kenapa, Chel? kamu ngomong apaan?" Tristan nanya.
"Eh, nggak, nggak, Tan!" aku ngeles.
"Aku duluan ya, Tan? aku mau ke toilet, betewe makasih traktiran sarapannya!" aku ngibrit aja ninggalin Tristan.
"Cheeel, Racheeeeeel," aku denger Tristan teriak, tapi sabodo amat. Aku cabut aja ngejar mas Liam.
Eh, eh, kok aku ngejar?
Mendadak kakiku ngerem.
"Iya yah? buat apa aku ngejar dia?" aku noyor kepala sendiri.
Aku yang nggak mau menjalin hubungan percintaan, masa iya tau-tau ngejar-ngejar cowok kayak tukang kredit panci.
Aku akhirnya naik lift buat naik ke ruangan pak Raga, lumayan lah biar nggak kerjaannya lari-larian mulu. Capek hidup kita yak dikejar-kejar begitu.
Pintu bentar lagi ketutup, tapi ada satu tangan yang mencegahnya.
"Sorry," ucapnya. Aku ngedongak ngeliat si pemilik suara.
"Mas Liam? Lah bukannya tadia udah pergi ke atas?" ucapku dalam hati.
Lift ketutup, lalu aku nanya.
"Bukannya mas Liam tadi udah ke atas?"
"Aku? Oh, ya. Awalnya emang aku mau ke atas, tapi tadi ketemu seseorang, ngibrol bentar jadi sekarang aku baru naik ke atas..." kata mas Liam.
"Mas Liam lagi sakit? kok pucet banget?"
"Masa sih? mungkin aku kecapean aja, kerjaann banyak jadi sering lembur," jelasnya.
Aku manggut-manggut, "Iyalah, apalagi nagdepin bos kayak pak Raga, Kan?" ucapku.
Mas Liam cuma ketawa kecil dan naruh jari telunjuknya di depan bibirnya, "Sshh, nanti ada yang denger, walaupun semua yang keluar dari mulutmu itu benar adanya," ucapnya diakhiri tawa renyah.
Selain Amel, nih mas Liam salah satu orang yang menyenangkan. Jarang-jarang nih ada asisten model kayak gini, biasanya kan sok berwibawa atau kalau cewek sok kecantikan gitu. Rata-rata yang aku tau dari semua asisten pribadinya pak Raga kalau cewek ya gitu, sok cantik, centil, walaupun bodynya sama penampilan aku akui menarik. Tapi tetep beda ya sama aku. Aku mah nggak usah sok kecantikan, karena emang udah cantik dari oroknya. Cantik lahir batin, ceunah.
"Kamu juga kayaknya pucet," kata mad Liam
Pintu kebuka dan kita betdua keluar.
"Emang keliatan banget, yah?" aku nengok mas Liam, sambil jalan.
"Ya, lumayan..."
"Aku, aku kurang istirahat, makanya muka ku jadi lesu lemah nggak berdaya,"
"aoh ya, semalam di bioskop, aku cari-cari nggak ada, mas Liam pulang duluan?"
"Hu'um," mas Liam mengangguk.
"Aku mau ke ruang rapat sebentar, masuklah. Kalau pak Raga dateng duluan, yang ada kamu kena marah loh!" lanjutnya.
"Ck, dia mah biasa marah-marah! kupingku sampe kebal! dimarahiiin mulu, salah dikit semprot, salah dikit semprot," aku nyerocos.
Mas Liam cuma senyum aja, nggak menimpali. Dia cuma menggerakkan dagunya.
"Kenapa?" alisku bertaut.
"Dibelakang," lirih mas Liam.
"Dibelakang?" bola mataku bergerak ke kanan ke kiri berusaha menerka siapa yang ada di belakangku.
Aku memutar badan dan ngeliat siapaaaaa?
Pak Ragaaaaa.
"Tadi siapa yang suka marah-marah?" tatapan pak Raga menelisik, sorot matanya kayak langsung menyasar ke mataku.
"Hem, itu, Pak..."
"Itu itu apa?! hem?" pak Raga maju, otomatis aku mundur.
"Mas, Liam?" aku memutar badan mencoba buat minta bantuan sama mas Liam, asistennya pak Raga juga.
Tapi, tadaaaaa....!
Mas Liamnya gone, pemirsaaaahhh. Nggak tau, nggak ada orangnya.
Pak Raga pegang ubun-ubunku, "Jangan banyak ngoceh, sekarang masuk, taruh tas kamu dan pergi ke pantry, bikinkan saya kopi!"
Pak Raga sekarang mendorong bahuku, dan menyuruhku buat masuk.
Braak!
Pak Raga nutup pakai kakinya. Wohooo, sangat sopan sekali ya.
Pak Raga melepaskan tangannya dan dengan gagahnya dia bergerak ke singgasananya. Kalau diliat dari cara jalannya sih, kayaknya asetnya aman ya.
Estogeeeh, kenapa juga aku ngurusin itu aset mau aman atau terancam. Bukan urusanmu, Rachel.
Aku menaruh tasku di meja.
"Rachel, kemari...!" pak Raga menggerakkan ke empat jarinya, nyuruh aku mendekat.
"Ya, ada apa, Pak Ragaaaa?" aku mencoba sesopan mungkin.
"Hey, kenapa kamu memasang wajah mengenaskan kayak gitu? bukankah aku sudah memberikan sejumlah uang? tapi muka kamu seperti gembel saja!" pak Raga nylekitnya sampai ke tulang-tulang.
"Muka saya memang gembel, Pak! sangat sangat sangat gembel," ucapku.
"Kamu marah aku bilang gembel?"
"Tidak, Pak. Oh ya, katanya Bapak mau dibuatkan kopi, kalau begitu saya ke pantry dulu," ucapku, yang undur diri san keluar dari ruabgan pak Raga. Aku sekuat tenaga menahan diri, bukan nahan amarah, tapi nahan ngantuk.
Aku sih masa bodo amat, mau dibilang gembel kek, pengemis kek, gelandangan kek, yang penting sekarang aku cuma pengen tidur. Mataku udah kedap-kedip kayak lampu yang lagi konslet.
"Udah deh, siapapun kalian. Tolonglah, jangan ganggu pagi-pagi, badanku loyo kurang tidur, nih..." ucapku dalam hati.
Aku bikin kopi dua cangkir, satu buat pak Raga yang emosian, yang satu lagi buat aku yang ngantukan.
"Bikin dua buat siapa?" suara laki-laki, iya suaranya mas Liam.
Tapi aku diem aja, aku pundung. Aku main budek aja udah, ngaduk kopi penuh penghayatan.
"Buat aku satu, boleh?" tanya mas Liam, tapi masih aku cuekin.
Ya iya, bisa-bisanya dia ngibrit pergi sedangkan aku hampir aja kena semprot pagi-pagi.
Mas Liam mau ngambil satu cangkir, tapi segera tangannya aku geplak, "Awwkh!" dia mengaduh.
"Eh, sorry! sakit, ya?" ucapku yang mungkin kekencengan ngegeplak tangannya mas Liam.
"Nggak, nggak apa-apa, kok!" sahutnya.
Aku mencoba meraih tangan mas Liam, ya kali aja tadi kena cangkir yang ada air panasnya. Tapi pas aku liat telapak tangannya kok pucet banget.
"Syukurlah, nggak kena air panas!" ucapku yang melepaskan tangan mas Liam.
"Kan aku bilang nggak apa-apa. Sorry ya, tadi aku ada telepon jadi aku main pergi aja. Gimana tadi? dimarahin lagi?" dia nanya.
Aku menggeleng, "Nggak kok, nggak salah!"
Dia ketawa, tapi sedetik kemudian dia menghentikan tawanya, "Sorry, sorry. Ya udah sih, disabarin aja. Walaupun ucapannya pedes, tapi sebenernya dia baik, kok..." ucap mas Liam.
"Oh ya, kamu buat kopi buat pak Raga?" dia lanjut nanya.
"Iya..."
"Mendingan kamu bikin lagi, karena kalau kamu nyodorin kopinya kurang panas, kamu bakalan disuruh balik lagi buat bikinin dia kopi yang baru," kata mas Liam.