Sudah dua bulan sejak pernikahan kami. Dan selama itu, dia—lelaki itu—tak pernah sekalipun menyentuhku. Seolah aku tak pernah benar-benar ada di rumah ini. Aku tak tahu apa yang salah. Dia tak menjawab saat kutanya, tak menyentuh sarapan yang kubuat. Yang kutahu hanya satu—dia kosong dan Kesepian. Seperti gelas yang pecah dan tak pernah bisa utuh lagi. Nadira dijodohkan dengan Dewa Dirgantara, pria tiga puluh tahun, anak tunggal dari keluarga Dirgantara. Pernikahan mereka tak pernah dipaksakan. Tak ada penolakan. Namun diam-diam, Nadira menyadari ada sesuatu yang hilang dari dalam diri Dewa—sesuatu yang tak bisa ia lawan, dan tak bisa Nadira tembus. Sesuatu yang membuatnya tak pernah benar-benar hadir, bahkan ketika berdiri di hadapannya. Dan mungkin… itulah alasan mengapa Dewa tak pernah menyentuhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon heyyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10. Kediaman Dirgantara
Sudah pukul lima sore, aku sedang memasukkan barang barangku kedalam tas tangan milikku, menyadari Dewa sudah menunggu diluar membuatku tergesah gesah melewati anakan tangga.
Mengenakan gaun hitam dan makeup tipis, aku berjalan menghampiri Dewa yang berdiri disebelah pintu mobil, sedang melihat ke ponsel yang ada di tangannya.
"Maaf membuatmu menunggu" Jawabku menghampirinya.
Dewa terdiam, wajahnya datar memperhatikanku dari atas sampai bawah, kali ini dia menatapku cukup lama, lalu tanpa mengatakan apapun dia masuk ke dalam mobil dan duduk disana, aku menyusul duduk disebelahnya.
Sepanjang jalan seperti biasa kami hanya berdiam diri, Dewa sibuk memainkan ponsel miliknya sedangkan aku bertupang dagu memperhatikan jalanan, hening, sepertinya aku sudah mulai terbiasa dengan keheningan diantara kami berdua.
"Ini kartu mu, terimakasih" aku mengeluarkan kartu debit miliknya dan menjukurkannya.
Dewa melirik sekilas kartu itu, lalu pandangannya kembali kedepan.
"Simpan saja" Jawabnya singkat, terdengar dingin seperti acuh tak acuh.
Aku mengangguk dan kembali memasukkannya kedalam tas ku, perjalanan dua jam terasa sangat lama jika duduk disebelah Dewa yang tanpa suara.
......................
Tak lama kemudian, mobil berhenti di depan sebuah rumah besar dengan gerbang hitam yang tinggi dan menjulang megah. Saat gerbang terbuka perlahan, mobil mulai masuk ke dalam area rumah yang begitu luas. Sebuah bangunan berwarna putih berdiri anggun di tengah-tengah taman yang tertata rapi, dengan tiang-tiang tinggi bergaya klasik dan sebuah air mancur elegan yang memantulkan cahaya lampu taman.
Aku tak bisa menahan decak kagum. Rumah ini lebih menyerupai istana daripada tempat tinggal biasa. Dingin, megah, dan… terasa asing.
Ketika kami turun dari mobil, aku melangkah lebih dulu, namun langkahku terhenti saat terdengar suara batuk pelan di belakang. Aku menoleh—Dewa. Ia tidak mengatakan apa pun, hanya menatapku sambil mengangkat sedikit pergelangan tangannya. Sebuah isyarat.
Aku mengerti apa yang sedang terjadi, aku berjalan menghampirinya dan merangkul lengan besar itu, Rasanya sangat asing, sangat tidak nyaman berjalan disebelahnya, Canggung sekali. Kami berjalan masuk melewati pintu besar yang terbuka lebar.
Dan benar saja, ruangan dipenuhi oleh beberapa tamu yang aku yakin ini merupakan rekan kerja dan kerabat dekat saja, semuanya ceria, mengobrol dengan suara pelan, diiringi dengan melodi ringan dari piano yang dimainkan di sudut ruangan.
Tante Melisa menghampiri kami, tersenyum. Tersenyum karena melihat sepertinya kami sudah mulai melakukan apa yang dia katakan "belajar menjadi pasangan suami istri." Padahal berjalan bersama ini hanya sebuah formalitas.
"Dewa, Ayahmu sudah menunggu, pergilah duduk bersamanya disana.“ Tante Melisa menunjuk ke sebuah meja yang dipenuhi dengan empat orang lelaki, tanpa suara Dewa menarik lengannya dan pergi begitu saja.
Tante Melisa kemudian menarikku untuk duduk bersama kelompok wanita di meja sebelah. Mereka semua tersenyum hangat dan memperhatikanku seolah aku adalah permata baru dalam keluarga bangsawan. Tante Melisa memperkenalkanku sebagai “menantu satu-satunya keluarga Dirgantara.” Bahkan dengan bangga ia mengatakan bahwa generasi selanjutnya akan diteruskan oleh cucunya kelak.
Aku hanya bisa tersenyum tipis. Tidak tahu harus menjawab apa, karena aku tahu… anaknya bahkan belum pernah menyentuhku. Kata-kata “cucu” terasa seperti ironi yang tajam.
“Ibu, aku ingin mengambil kue di sana sebentar,” ucapku sopan, berdiri dari meja dan melangkah menjauh.
Aku menarik napas lega ketika menjauh dari percakapan mereka yang penuh dengan angan dan asumsi. Rasanya seperti sedang membohongi seluruh ruangan. Ini bukan pernikahan yang bahagia—ini adalah panggung.
“Nadira?” suara itu menghentikan langkahku.
Aku berbalik dan melihat sosok yang familiar berdiri di dekat meja minuman. Hans. Ia memegang gelas wine, mengenakan jas navy yang rapi, tersenyum tak percaya.
“Hans?” aku cukup terkejut.
“Aku tidak menyangka kalau acara yang kau maksud itu adalah perayaan keluarga Dirgantara. Ini benar-benar kejutan,” katanya sambil terkekeh. Matanya memperhatikanku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Tidak dengan cara yang mengganggu—lebih seperti kagum yang tulus.
“Gaunnya cocok untukmu,” ucapnya lembut.
Aku menunduk sebentar, menyembunyikan rona hangat yang mulai naik ke pipi.
“Terima kasih… Aku juga tidak menyangka kamu akan berada di sini.”
Hans mengangkat bahu ringan. “Koneksi ayahku dengan perusahaan Dirgantara, tampaknya cukup kuat. Aku hanya diundang sebagai ‘anaknya’. Tapi aku rasa… sekarang alasanku berada di sini jadi sedikit berbeda.”
Aku menatapnya, mencoba menafsirkan maksudnya. Tapi sebelum aku sempat bertanya, suara tepuk tangan terdengar dari arah tengah ruangan. Seseorang berdiri di panggung kecil, memulai pidato sambutan.
“Apakah itu suami mu?” Tanya Hans menunjuk seorang lelaki yang Berdiri disebelah Pria tua yang sedang memberikan kata sambutan.
Aku menunduk, malu. Bagaimanapun juga Hans sudah mengetahui semuanya, aku malu mengaku sebagai istri padahal kami sama sama tau dia bahkan tidak menganggapku ada di hidupnya. Hans menatapku, lagi lagi dia selalu mendapati aku yang sedang berkecil diri.
“hei, terlalu berisik disini, kamu mau ikut aku melihat bulan? Tidak jauh hanya didepan sana, aku janji tidak akan melakukan hal aneh” Tanya Hans dengan mata sayu nya.
Aku berpikir sepertnya aku tidak ingin melakukan itu, terasa salah bagiku, tapi disisi lain jika aku terus berada di dalam sini, aku akan merasa kecil dan sendirian ditengah keramaian, Dewa bahkan tidak memperdulikan aku sedikitpun dan satu satunya orang yang bisa kuajak biacara adalah Hans.
“Didepan juga banyak orang, kita tidak akan berduaan saja” Ucap Hans meyakinkan. Aku tersenyum dan mengangguk kecil, mengikuti langkahnya diantara kerumunan, menuju pintu besar disana.
.hans bayar laki2 tmn SMA itu