Di balik ketegasan seorang Panglima perang bermata Elysight, mata yang mampu membaca aura dan menyingkap kebenaran, tersimpan ambisi yang tak dapat dibendung.
Dialah Panglima kejam yang ditakuti Empat Wilayah. Zevh Obscura. Pemilik Wilayah Timur Kerajaan Noctis.
Namun takdir mempertemukannya dengan seorang gadis berambut emas, calon istri musuhnya, gadis penunggu Sungai Oxair, pemilik pusaran air kehidupan 4 wilayah yang mampu menyembuhkan sekaligus menghancurkan.
Bagi rakyat, ia adalah cahaya yang menenangkan.
Bagi sang panglima, ia adalah tawanan paling berbahaya dan paling istimewa.
Di antara kekuasaan, pengkhianatan, dan aliran takdir, siapakah yang akan tunduk lebih dulu. Sang panglima yang haus kendali, atau gadis air yang hatinya mengalir bebas seperti sungai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sibewok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 - Dua Identitas Saling Bertanya
Langit semakin menggelap, bayangan senja merayap di balik kaca-kaca tinggi benteng perbatasan. Aula megah itu kini dipenuhi suara halus sendok beradu dengan piring, wewangian hidangan daging panggang dan anggur manis mengambang di udara. Para pejabat, bangsawan, dan penasihat kerajaan duduk berderet, anggun dalam jubah kebesaran mereka.
Namun ketenangan itu pecah ketika seorang pengawal berlari masuk. Lututnya jatuh membentur lantai dingin, suaranya menggetarkan ruangan:
“Jendral Ozh! Gawat… gadis itu—tawanan—tidak ada di sel hukuman. Kami sudah menyebar pengawal mencari jejaknya!”
Ruangan seketika sunyi.
Zevh berdiri perlahan, matanya redup tapi tajam, menatap sang pengawal yang bergetar di hadapan para bangsawan. Namun tak ada amarah dalam sorotnya—hanya pemahaman. Zevh tahu, pengawal ini bukan pelaku. Dia hanyalah korban kelalaian sistem… atau lebih tepatnya, korban pengkhianatan seseorang.
Dan seseorang itu kini berdiri, pura-pura ikut terkejut, dengan ekspresi yang dibuat-buat.
“Tidak berguna,” gumam Jendral Ozh pelan, matanya menyapu para prajurit lain.
“Cukup.”
Suara Zevh bergema, dingin dan penuh kuasa.
Liora yang duduk di sampingnya lekas menyentuh lengannya, senyum lembutnya disunggingkan untuk mencuri simpati.
“Tawananmu tidak akan bisa lari jauh di bawah wilayahmu, suamiku…” katanya manis.
Namun Zevh tak menoleh padanya. Jemarinya justru meraih gagang pedang.
Liora tercekat. Tangannya jatuh begitu saja ke pangkuannya, menggenggam erat gaun megahnya, mencoba menahan raut cemas dengan senyum anggun.
Srak!
Pedang emas Zevh terangkat, kilauannya memantul di mata semua orang. Dalam sekejap, ujung tajam itu sudah menyentuh leher Jendral Ozh.
Ruangan bergemuruh oleh bisik-bisik tertahan. Pelayan menghentikan langkahnya, membeku dengan nampan di tangan, menunduk rapat, tak berani melirik.
“Kau yang tidak berguna.”
Ujung pedang Zevh bergeser, menoreh tipis permukaan kulit Ozh hingga darah segar menetes di kerahnya.
Zevh menurunkan pedangnya perlahan. Bukan ke lantai, melainkan ke dada Ozh.
Kling!
Lencana emas pangkat jenderal yang tersemat bertahun-tahun lamanya terbelah oleh tajamnya pedang, jatuh berdering di lantai batu.
Semua pasang mata menunduk, terdiam.
“Pengawal,” suara Zevh terdengar tenang, tapi menusuk. “Kirim dia ke wilayah Utara.”
Pengawal yang masih berlutut terperanjat. “Y—Yang Mulia…” suaranya gemetar, tak paham maksudnya.
Namun ketika Zevh melangkah mendekat, tatapan merahnya menembus jiwa, pengawal itu langsung mengangguk keras.
“Baik! Perintah dimengerti.”
Ia berdiri, lalu menatap wajah Ozh—yang kini pucat, urat lehernya menegang menahan amarah dan rasa malu.
Ujung pedang Zevh masih terangkat, kali ini menyentuh bahu Ozh, mengusap darahnya, lalu mengotori kain kebesaran jenderal itu sendiri.
“Yang tak berguna harus dibuang,” bisik Zevh. “Dan yang istimewa… akan tetap bersamaku.”
Kata terakhir itu menusuk. Ozh tahu—yang dimaksud adalah tawanan itu. Gadis yang selama ini menjadi pusat obsesi Zevh.
“Jalani masa hukumanmu sebagai mata-mata di Utara. Katakan pada Arons bahwa kau berkhianat padaku. Agar semua jelas.”
Suara Zevh bergema dingin.
Semua pejabat menoleh kaget. Bagaimana mungkin Zevh tahu? Pengkhianatan Ozh yang mereka sendiri bahkan belum menyadarinya… kini dipermalukan terang-terangan.
“Aku tahu siapa musuhku… siapa temanku,” lanjut Zevh, suaranya berat bagai palu keadilan. “Jika kau bertemu denganku lagi, tunjukkan… apakah kau masih temanku, atau sudah menjadi musuhku.”
Zevh menaruh kembali pedangnya ke dalam sarung emas, lalu berbalik meninggalkan aula.
Langkahnya tenang, tapi aura yang tertinggal mencekam seluruh ruangan.
Liora bangkit menyusulnya, wajahnya tetap tersenyum, meski jari-jarinya menggenggam kain gaun sampai memutih.
Di belakang mereka, ruangan meletup dengan bisik-bisik.
“Lihatlah pangeran kita… walau kejam, tetap berlaku adil.”
“Tak kusangka Jendral Ozh… tergiur harta hanya karena selebaran gulungan tentang gadis itu.”
“Gelap mata… padahal pangkatnya sudah tinggi.”
“Pangeran Zevh tahu segalanya… kita harus berhati-hati.”
Dan meski ketegangan baru saja terjadi, pembicaraan para pejabat segera kembali mengalir ke hal yang lebih besar—strategi politik perdagangan di desa Osca, yang dipimpin oleh Zark dan Veron, yang kini mulai terlaksana.
Suasana aula perlahan kembali hidup, seakan upacara penghukuman barusan hanya bagian dari ritus kekuasaan Zevh yang tak terbantahkan.
Namun, jauh di dalam hati mereka—bayangan gadis tawanan itu semakin kuat.
Dan jauh di luar sana… gadis itu tengah berlari menyongsong takdirnya sendiri.
---
Langkah kaki Elara berlari di sisi sungai, napasnya tersengal. Kakinya yang sudah sembuh menjejak tanah basah, obor yang tadi menerangi jalan kini ia lempar jauh ke belakang—agar tak ada jejak cahaya yang memandu para pengejarnya. Gaun gelap yang ia kenakan, meski lusuh, setidaknya membuat tubuhnya menyatu dengan bayangan senja yang semakin pekat.
Semak-semak tinggi di tepi sungai bergoyang keras—dua pengawal Ozh terus menebas dengan pedang, suaranya mendekat. Elara menahan nafas, tubuhnya meringkuk di celah batu, namun detak jantungnya sekeras guntur. Jika mereka menemukanku, habis sudah.
Namun dari jauh, dentuman langkah kuda terdengar. Bukan kuda biasa, tapi derap yang penuh kuasa—Axten. Zevh.
Aura dua pengawal itu tertangkap oleh mata Elysight milik Zevh. Dari kejauhan, ia sudah tahu. Mereka bukan sekadar mengejar… mereka telah melihat sesuatu yang tidak boleh terungkap. Identitas Elara.
Pedangnya sudah siap terhunus.
Dan saat Elara akhirnya tersudut di tepi sungai, kedua pengawal itu berdiri menghadangnya. Pedang terangkat, wajah mereka tegang.
“Hei… kau apa sebenarnya?” suara salah satu pengawal bergetar, matanya masih menyimpan bayangan cahaya biru yang tadi keluar dari tubuh Elara.
Namun sebelum Elara sempat menjawab—
Braak!
Axten meringkik keras, tanah bergetar. Dari kabut senja, muncul sosok Zevh, dingin dan berwibawa.
Tatapan matanya membuat kedua pengawal itu goyah, tubuh mereka gemetar. Namun tak ada ampun.
Satu tebasan. Darah muncrat.
Keduanya tumbang di tanah basah, mata membelalak.
Elara terkejut, tubuhnya bergetar melihat darah memercik di rerumputan.
“Dekatlah,” suara Zevh rendah, perintahnya menusuk. “Kembali ke ruang tahananmu.”
Elara menggeleng cepat. Nafasnya pendek.
“Tidak… aku tak mau lagi jadi alatmu!”
“Tak ada yang akan tahu siapa dirimu kecuali aku,” Zevh mendekat setapak, pedangnya berkilau gelap. “Dua saksi mata tadi sudah kubunuh.” Tatapannya singgah pada jasad pengawal yang bersimbah darah.
Namun kata-kata itu justru membuat Elara semakin panik. Bagaimana jika dia hanya memanfaatkanku?
Tanpa pikir panjang, Elara menjerumuskan tubuhnya ke dalam arus Sungai Oxair. Airnya dingin, deras, tapi baginya itu lebih baik daripada kembali ke jerat Zevh.
“ELARA!” Zevh menerjang, Axten meringkik keras. Kudanya menyusul berlari di tepi sungai, Zevh menatap ke dalam air. Dengan mata Elysight, ia melihat tubuh Elara—bercahaya biru samar, berenang seperti ikan yang lepas dari kail.
“Ke Osca…” gumam Zevh, ia tahu ke mana tujuan gadis itu.
Zevh menuntun Axten ke tebing yang lebih tinggi, menunggu arus membawa Elara ke bawah. Dan benar, tubuh mungil itu melaju deras di air. Elara sempat tersenyum tipis, menyangka Zevh telah menyerah.
Namun detik berikutnya—
Byur!
Tubuh Zevh meluncur dari tebing, menghantam air keras. Percikan mengguyur wajah Elara.
Dalam sekejap, lengannya ditarik paksa. Tubuh Elara kini dalam pelukan Zevh, kasar dan mencekik kebebasannya.
Arus air tiba-tiba berputar. Pusaran besar muncul, menyedot mereka berdua ke tengah.
Mata Zevh bersinar merah, menatap Elara dari jarak sangat dekat. Tubuh Elara disinari aura biru dari simbol di bahunya, menyala terang.
Hujan mulai turun, menetes dari langit, menyatu dengan arus.
“Elara…” Zevh berusaha menariknya naik ke permukaan. Tapi Elara menolak, tangannya mendorong dada Zevh. Air di sekeliling mereka berkilat biru, membentuk pusaran simbol aneh.
Apakah dia… Oxair itu sendiri? Pertanyaan itu bergaung di kepala Elara, mengingatkan bayangan mimpi: Sungai Oxair mengamuk, menghancurkan empat wilayah. Jemari Zevh menggenggam tangannya—apakah itu pertanda?
Elara meronta, menarik tangannya dengan keras. Ombak tercipta, air terbelah dan memuntahkan mereka berdua ke tepi sungai.
Keduanya terhempas ke tanah berlumpur, batuk, basah kuyup.
Elara berusaha bangkit, tapi Zevh melangkah cepat, air di kakinya berubah hitam pekat, merambat naik, membentuk tangan raksasa bak monster yang mencekik leher Elara.
“Elara…” suara Zevh serak, namun seolah bukan dirinya lagi.
Elara terengah, matanya berkaca.
“Zevh… sadar! Itu bukan kau…!”
Tangannya terangkat. Butiran air kecil muncul, mengelilingi Zevh, lalu menghujani tubuhnya seperti hujan cahaya biru.
Seketika air hitam yang membelit Zevh lenyap, runtuh seperti debu. Tubuh Zevh jatuh, terhempas tepat ke arah Elara.
Elara terkesiap, tubuhnya tertindih sosok berat itu. Darah mengalir dari mulut Zevh, luka tusuk di perutnya kembali robek.
Tanpa ragu, Elara menaruh telapak tangannya di dada Zevh. Air Oxair merambat ke tangannya, menyelubungi luka.
“Sembuhlah…” bisiknya.
Ia bahkan mengangkat tangannya, menggenggam air, lalu mendekatkannya ke bibir Zevh.
“Minumlah…”
Namun begitu air itu masuk ke mulut Zevh, ia justru terbatuk keras. Darah hitam memuntah keluar.
Elara menatapnya terkejut. Begitu juga Zevh yang kini terjaga, matanya penuh tanya.
Keduanya terdiam, saling menatap.
“Siapa kau sebenarnya…?” suara mereka berdua hampir bersamaan.
Hanya gemericik hujan di atas Sungai Oxair yang menjawab, dalam malam yang kian kelam.