NovelToon NovelToon
Istri Muda Paman

Istri Muda Paman

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Terlarang / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Hasri Ani

Kecelakaan yang menimpa kedua orang tua Mala, membuat gadis itu menjadi rebutan para saudara yang ingin menjadi orang tua asuhnya. Apa lagi yang mereka incar selain harta Pak Subagja? Salah satunya Erina, saudara dari ayahnya yang akhirnya berhasil menjadi orang tua asuh gadis itu. Dibalik sikap lembutnya, Erina tentu punya rencana jahat untuk menguasai seluruh harta peninggalan orang tua Mala. Namun keputusannya untuk membawa Mala bersamanya adalah kesalahan besar. Dan pada akhirnya, ia sendiri yang kehilangan harta paling berharga.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

RENCANA

Beberapa jam sebelumnya.

Tama menatap layar ponselnya tanpa berkedip. Titik biru kecil itu baru saja bergerak menjauh dari rumah. Bergerak... ke arah pusat kota. Dadanya mengencang. Ia mengenali arah itu arah ke kawasan hotel-hotel mewah.

"Bingo," gumamnya pelan, dingin.

Beberapa hari terakhir, Tama menaruh kecurigaan mendalam pada istrinya, Erina. Sejak kejadian pembegalan yang ternyata hanya sandiwara itu, Erina memang memilih banyak diam di rumah. Namun, keheningan itu justru membuat Tama semakin waspada.

Sikap Erina terlihat terlalu dibuat-buat.

Beberapa hari setelah Erina pulang dalam keadaan kacau dan mengatakan Jika dia dibegal, Tama mulai mencurigai istrinya. Selain Erina yang selalu menolak jika diajak hubungan badan, wanita itu juga selalu menolak saat Tama memintanya untuk mengusut kasus ini pada pihak berwajib

Alasannya klise, karena trauma. Namun Tama tidak melihat trauma yang begitu besar di wajah istrinya itu.

Diam-diam, Ia menyadap semua tas milik Erina-menggunakan alat pelacak sekaligus perekam suara mini yang ia beli secara online dengan nama samaran. Alat itu kecil, tak lebih besar dari jari kelingking. Diselipkan di sela-sela ritsleting atau di bagian dalam saku kecil tas-nyaris tak mungkin ditemukan oleh orang awam.

Hari-hari berlalu tanpa kejadian berarti. Erina tetap di rumah, tidak ada rekaman mencurigakan. Bahkan pembicaraan telepon pun cenderung biasa saja-tentang laundry, belanja, dan gosip receh ibu-ibu komplek. Tama memang sudah membelikannya ponsel baru berikut kartunya. Ia tak menemukan kejanggalan apapun pada ponsel baru istrinya itu.

Namun semuanya berubah, saat Tama yang merasa penasaran itu memancing Erina dengan mengirim pesan bahwa ia akan ke Bandung hari ini karena pertemuan dadakan dengan temannya.

[Kalau urusanku gak kelar hari ini, mungkin aku akan pulang besok. Aku dan temanku mau survey tempat untuk lokasi cafe baru] Tulis Tama yang langsung dibalas oleh istrinya.

[Ah, iya, Sayang. Kamu fokus aja disana. Gak usah mikirin aku atau Kemala. Aku pasti baik-baik saja. Kamu disana aja sampai urusanmu selesai supaya tidak bolak-balik terus].

Erina tampak santai. Terlalu santai. Itu justru menjadi alarm tersendiri bagi Tama. Perempuan itu bahkan tidak terlihat sedih atau kecewa ditinggal mendadak seperti ini. Ia malah seolah menanti momen itu.

Dan benar saja. Sekitar dua jam setelah ia mengirim pesan itu, alat penyadap yang ia sisipkan di salah satu tas Erina menunjukkan tanda-tanda jika istrinya itu keluar rumah hari ini.

Tama terus memperhatikan di ruang kerjanya sebagai owner cafe, melihat ke mana Erina pergi hari ini. Dan tak lama dari itu, tiba-tiba sesuatu yang lebih besar mengejutkannya. Ada notifikasi email masuk. Akun anonim mengirimkan dua file: satu foto dan satu video berdurasi tiga puluh detik. Di dalamnya terlihat jelas Erina sedang tertawa bersama seorang pria-bukan dirinya. Mereka sedang makan siang di sebuah restoran, dan bahkan... bergandengan tangan saat keluar dari tempat itu.

Tama mengepalkan tangannya. Matanya memerah. Rasanya seperti ada bara yang meletup di dada, panas dan menggerogoti logikanya.

Dengan napas memburu, Tama segera mengecek pelacak GPS yang tertanam di tas Erina. Dan ya-titik biru itu bergerak... menuju sebuah hotel bintang lima. Hotel Grand Aluna.

"Kurang ajar," desisnya.

Ia bergegas meninggalkan cafe. Mobil dinyalakan, dan pedal gas langsung diinjak dalam-dalam. Di dalam perjalanan, tangan Tama berulang kali mengepal di atas setir. Dadanya bergemuruh. Potongan-potongan kenangan bersama Erina berseliweran di kepalanya: pernikahan mereka, janji-janji kesetiaan, malam-malam panjang penuh diskusi tentang masa depan, dan... penolakan dingin Erina beberapa minggu terakhir setiap ia ingin menyentuhnya.

Kini, semuanya masuk akal.

Erina selalu beralasan lelah, sakit kepala, atau sedang datang bulan.

Tama menahan amarah. Ia tak ingin berprasangka tanpa bukti. Tapi sekarang, bukti itu sudah di tangannya.

Tama tidak tahu jika Kemala lah yang mengirim foto

dan video itu. Menegaskan tentang pengkhianatan yang dilakukan oleh Erina.

Kemala hanya menambah bensin ke api yang sudah berkobar.

Kini, mobilnya berhenti di depan Hotel Grand Aluna.

Tama turun dengan langkah pasti. Wajahnya tegang, rahangnya mengeras. Langkah-langkah cepatnya menggema di lantai marmer lobby hotel yang mewah.

Pandangannya lurus, dingin. Tak peduli dengan tamu lain yang menoleh atau karyawan yang menyambut.

Dalam hatinya, hanya satu tujuan: membongkar penghianatan ini, di hadapan matanya sendiri.

Tangannya menekan tombol lift.

Ding!

Pintu terbuka. Ia melangkah masuk, menatap angka-angka di panel.

Ia tak tahu nomor kamar Erina, tapi alat pelacak menunjukkan titik terakhir berada di lantai 11. Ia tekan angka itu, dan pintu tertutup perlahan.

Napasnya berat. Ia menatap pantulan dirinya di dinding cermin lift.

"Kita lihat, Erina," gumamnya. "Apa yang kau lakukan di balik pintu itu."

Tak jauh dari sana, dua pasang mata memperhatikan setiap gerak-geriknya dari balik pilar.

Kemala menggenggam ponselnya erat, sementara Yola menahan napas.

"Dia beneran naik," bisik Kemala.

"Gila... bakal pecah nih sebentar lagi," sahut Yola dengan suara tertahan.

Kemala menelan ludah. Entah mengapa, dadanya juga ikut sesak. Ia tidak tahu akan sebrutal apa reaksi Om Tama.

Ding!

Pintu lift terbuka.

Tama keluar dengan wajah dingin dan penuh murka.

Matanya menyapu lorong hotel, dan tanpa ragu ia mulai melangkah cepat. Jemarinya mengepal, seperti menahan badai yang siap meledak kapan saja.

Sementara itu di dalam kamar.

Suara air dari shower mengalun pelan, mengisi kamar mandi dengan uap hangat. Erina menatap bayangan tubuhnya di cermin yang mulai berembun. Matanya berbinar, pipinya merona. Hari ini, ia merasa hidup. Ia merasa dicintai, diinginkan, dan bebas.

Ketika ia keluar dari kamar mandi dengan balutan kimono putih tipis yang disediakan hotel, Yudha telah duduk di tepi ranjang. Kemejanya telah terlepas, menyisakan tubuh atletis yang membuat Erina menelan ludah.

Mereka saling menatap.

"Cantik banget kamu hari ini..." bisik Yudha, suaranya serak, penuh hasrat.

Erina tersenyum kecil, lalu berjalan pelan ke arahnya. Jemarinya menyentuh pipi Yudha, membelai dagunya yang ditumbuhi jenggot tipis. Pandangan mereka terkunci. Tangan lentiknya menjalar di dada.

"Aku bukan milik siapa pun hari ini. Aku... hanya milikmu," ucap Erina pelan, lalu mencium bibir pria itu dengan lembut.

Ciu-man mereka bermula pelan, dalam, seperti mengurai rasa rindu yang selama ini ditekan. Namun dalam hitungan detik, ciu-man itu berubah menjadi lebih panas, lebih terburu-buru. Nafas mereka memburu, tangan-tangan saling mencari, memeluk, dan menggenggam.

Erina menenggelamkan wajahnya di leher Yudha, menghirup wangi tubuhnya yang memabukkan. Ia merasa bebas. Tidak ada beban, tidak ada rasa bersalah. Ia tidak peduli lagi pada Tama. Tidak peduli pada orang yang mencintainya dengan tulus hanya karena sudah ada orang ketiga yang membuatnya cinta buta.

"Aku kangen kamu..." bisik Erina, matanya berkabut oleh ga i rah.

Yudha menarik tubuhnya, memeluk erat dari belakang. "Kita nggak akan diganggu siapa pun hari ini.

Aku cuma pengin kamu. Cuma kamu."

Kalimat itu adalah racun manis yang membuat Erina semakin tenggelam.

Dalam pelukan itu, waktu seperti berhenti. Desa-han lembut pecah, menari-nari di antara suara musik instrumental dari speaker kamar. Tirai jendela bergoyang pelan karena pendingin ruangan. Dunia luar seolah lenyap.

Erina menggigit bibirnya sendiri, matanya terpejam. Ia benar-benar larut dalam kesenangan yang menggoda. Baginya, ini bukan dosa, tapi surga dunia. Ini bukan kesalahan, tapi haknya yang ingin bebas tanpa ikatan.

Sementara Yudha, dengan sorot mata yang sesekali melirik ke arah tas Erina, menyimpan niat lain di balik pelukannya. Ia tahu wanita itu sedang mabuk cinta. Dan Yudha memanfaatkan semua itu. Ia sudah tahu dari Erina bahwa ada warisan besar yang bisa dimanfaatkan, selama Erina bisa mengambil alih hak Kemala.

"Kalau semua warisan itu aku dapat, aku janji kamu akan kubawa ke mana pun kamu mau... ke Eropa, ke Maldives... kita bisa tinggal di luar negeri, jauh dari semua orang yang pernah menyakiti kita," bisik Erina di sela ciu-mannya.

Yudha tersenyum tipis. "Aku percaya kamu. Dan aku selalu mendukungmu."

Tapi hatinya dingin. Yudha tidak percaya pada cinta.

Ia hanya percaya pada angka, pada rekening bank, pada kartu kredit emas yang digesek Erina sesuka hati hanya untuk menyenangkan dirinya.

Desa-han mereka semakin dalam, berbisik-bisik di sela ciu-man dan sentuhan yang membakar. Mereka tidak peduli lagi. Dunia hanya milik mereka malam ini.

"Aku ingin kita terus begini... selamanya..."

gumamnya dengan suara serak, membenamkan dirinya dalam dada Yudha.

"Selamanya," jawab Yudha dengan senyum palsu yang tersamar oleh bibirnya yang kembali menempel pada leher Erina. Pria itu mengecup dan menyentuh setiap inci tubuh kekasihnya, membelainya dengan lembut dan penuh has-rat bergelora.

Langkah Tama terhenti di koridor lantai sebelas. Matanya menyisir setiap pintu kamar yang berjejer rapi, mencocokkan nomor-nomor pintu dengan ingatannya. Di balik salah satunya, ia yakin-istrinya ada di dalam sana dan sedang bersama laki-laki.

Mungkin Erina tengah bergelut dalam pelukan pria lain. Dadanya bergemuruh. Rahangnya mengeras. Ia tidak membawa bukti, hanya firasat dan sepucuk pesan anonim yang berisi foto-foto mengarah pada kenyataan pahit: Erina selingkuh.

Namun, pintu kamar itu terkunci rapat. Ia sudah mencoba mendorongnya, bahkan mengetuk tanpa jawaban. Tama tak punya akses masuk. Dan di hotel seperti ini, tidak sembarangan orang bisa membuka kamar tanpa izin penyewa.

Frustrasi mulai menggumpal dalam dirinya. Ia berjalan mondar-mandir di sepanjang lorong, seperti pemburu kehilangan jejak.

Tama tidak tahu persisnya Erina ada di kamar nomor berapa. Alat pelacak yang dia pasang berhenti di lantai itu. Tapi ia mencurigai salah satu kamar dengan nomor 215.

Namun gerak-geriknya menarik perhatian. Seorang petugas hotel berseragam batik mencatat sesuatu sambil memicingkan mata. Ia menempelkan HT ke bibirnya.

"Pusat, tamu mencurigakan di lantai sebelas. Pria, sendirian, gelisah, mencoba beberapa kamar."

Tak lama kemudian, tiga orang petugas lainnya muncul dari lift. Mereka langsung menghampiri Tama yang sedang berdiri di ujung lorong.

"Maaf, Pak. Boleh kami tahu, Bapak tamu di kamar mana?" tanya salah satu dari mereka, sopan tapi tegas.

Tama memicingkan mata. "Saya mencari istri saya. Dia ada di kamar sini. Saya yakin dia-"

"Maaf, Pak. Akses tamu hanya dibatasi pada kamar masing-masing. Kami mohon Bapak ikut kami ke lobi untuk verifikasi," potong petugas lainnya.

"Verifikasi apa?! Saya bukan maling! Saya-"

"Sesuai prosedur keamanan, Pak. Kami mohon kerjasamanya."

Tama mencoba membela diri, tapi suara dan sikapnya yang mulai meninggi justru memperkuat kecurigaan para staf. Dalam waktu singkat, ia pun digiring ke lobi khusus yang sepi saat itu.

Manajer hotel yang baru saja turun dari kantornya segera menemui mereka. "Ada apa ini?" tanyanya dengan dahi mengernyit.

"Pria ini berkeliaran di koridor lantai sebelas, mencoba membuka pintu-pintu kamar. Kami khawatir ini percobaan tindak kriminal," lapor salah satu staf.

Tama mengangkat kedua tangan. "Saya mencari istri saya! Dia check in dengan pria lain! Saya ingin menangkap mereka basah!"

"Maaf, Pak. Tapi kami tidak bisa menerima penggerebekan seperti itu di properti kami. Kalau Bapak tidak bisa membuktikan identitas dan tujuan, kami akan hubungi kepolisian," ujar manajer dengan suara tegas.

Tama membulatkan kedua tangannya menjadi kepalan. Emosinya meledak di ubun-ubun. Namun sebelum keadaan makin kacau, suara lembut menyela dari sisi lobi.

"Maaf... semua... ini salah paham."

Mereka semua menoleh. Seorang gadis muda melangkah mendekat. Di sampingnya ada seorang wanita lain, Yola-gadis tomboy itu mengangguk sopan pada petugas.

"Itu suami saya," ujar Kemala, memaksakan senyum kecil. "Dia ke sini nyariin saya. Curiga saya nginep sama cowok. Padahal saya di sini cuma makan siang sama temen. Maaf ya kalau suami saya kelihatan mencurigakan."

Kemala meraih tangan Tama dengan santai, lalu menariknya pelan. "Yuk Mas. Aku udah bilang, aku nggak akan macam-macam. Mas tuh gimana sih? Curigaan terus deh!"

Semua mata kini tertuju pada mereka berdua. Namun tak ada yang berani menyahut selain menunduk hormat. Tentu saja ini adalah permasalahan keluarga, sebuah kesalahpahaman yang bisa diluruskan di rumah. Dan mereka percaya begitu saja dengan ucapan gadis muda tadi.

Raut wajah Tama berubah, jelas terkejut melihat keponakannya tiba-tiba muncul menyelamatkan situasi.

Yang lebih gila, Kemala bahkan mengaku sebagai istrinya Tama.

Tidak hanya Tama, bahkan Yola yang sejak tadi bersama Kemala terlihat sangat terkejut. Ia tidak menyangka jika Kemala akan menghampiri keributan itu dan mengaku sebagai istri.

Beberapa detik berlalu dalam keheningan.

"Kami juga minta maaf, Mas, Mbak. Ternyata hanya kesalahpahaman," ucap manajer dengan helaan napas lega. Ia menoleh ke stafnya, memberi isyarat untuk mundur.

Kemala membungkuk sedikit sebagai bentuk permintaan maaf. "Sekali lagi, maaf ya... kami bikin keributan."

Setelah semuanya mereda, Tama dan Kemala keluar dari lobi dan berjalan menuju parkiran. Tak ada sepatah kata pun di antara mereka hingga akhirnya mobil Tama melaju meninggalkan hotel.

Kemala pulang bersama Tama, terpaksa penelusuran mereka harus dihentikan daripada mengundang kecurigaan pihak hotel.

Tama melirik gadis di sebelahnya, matanya masih menyisakan rasa penasaran yang menumpuk.

"Kemala? Kamu ngapain di hotel itu? Dan tadi kamu mengaku sebagai istriku?" tanyanya, penasaran.

Kemala menghela napas, lalu duduk lebih tegak.

"Maaf kalau membuat Om tidak nyaman karena aku mengaku sebagai istrinya Om. Aku cuman nggak mau Om berurusan sama petugas polisi. Nanti aku jelasin di rumah. Tapi sekarang, lebih baik kita pulang dulu. Om udah cukup bikin keributan barusan."

Tama tidak menjawab. Tangannya erat menggenggam setir, ekspresinya gelap. Dalam beberapa menit, mobil mulai keluar dari area kota. Jalanan makin lengang.

Setelah beberapa kilometer, Tama kembali bersuara.

"Kamu belum jelasin. Gimana kamu bisa ada di hotel itu?" Tama masih syok dan penasaran.

"Aku buntuti Tante Erina," jawab Kemala tenang.

Tama langsung menoleh, matanya membulat. "Apa?!"

Kemala mengangguk. "Aku juga curiga, Om. Sebenarnya... aku lah yang kirim foto-foto itu ke Om lewat akun anonim. Maaf aku gak bilang dari awal. Aku takut Om nggak percaya."

Tama tercengang.

"Aku udah pernah pergoki Tante dua minggu lalu, di mall, lagi bareng cowok. Aku udah ancam dia waktu itu. Tapi ternyata dia gak jera. Malah makin nekat. Makanya aku susul dia ke hotel. Aku gak nyangka Om juga bisa sampai ke sana. Siapa yang ngasih tahu Om?"

Tama terkejut dengan pernyataan itu. Ia pun menjawab apa adanya. "Om naruh alat pelacak di tas nya Erina. Sebenarnya Om udah curiga cukup lama, Erina berubah."

Kemala mengangguk kecil.

Tama menggeleng, kecewa bukan main. "Kurang ajar... Erina benar-benar keterlaluan. Aku pengen hajar laki-laki itu, tahu gak? Om pengen viralin mereka, biar habis nama mereka!"

"Jangan sekarang, Om," potong Kemala cepat. "Om bisa kena pidana kalau bikin keributan atau main tangan. Kita harus buat rencana."

Tama menarik napas panjang, kemudian menepikan mobil ke bahu jalan. "Rencana apa?"

Kemala menoleh. Senyumnya tipis, tapi sorot matanya tajam. Ia mendekat, lalu membisikkan sesuatu ke telinga Tama.

Mata Tama melebar, lalu mengangguk pelan.

"Kalau begitu... kita mainkan permainan ini sampai habis," gumamnya dengan nada berat. "Kamu mau bantu Om?"

Kemala mengangguk mantap. "Ya, tentu aja.

Meskipun Tante Erina adalah tanteku, tapi aku janji akan bantu Om," ucap Kemala sungguh-sungguh.

1
Towa_sama
Wah, cerita ini seru banget, bikin ketagihan!
✨HUEVITOSDEITACHI✨🍳
Ngakak banget!
im_soHaPpy
Datang ke platform ini cuma buat satu cerita, tapi ternyata ketemu harta karun!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!