Dr. Tristan Aurelio Mahesa, seorang dokter jenius sekaligus miliarder pemilik rumah sakit terbesar, dikenal dingin, tegas, dan perfeksionis. Hidupnya hanya berputar di sekitar ruang operasi, perusahaan farmasi, dan penelitian. Ia menolak kedekatan dengan wanita mana pun, bahkan sekadar teman dekat pun hampir tak ada.
Di sisi lain, ada Tiwi Putri Wiranto, gadis ceria berusia 21 tahun yang baru saja resign karena bos cabul yang mencoba melecehkannya. Walau anak tunggal dari keluarga pemilik restoran terkenal, Tiwi memilih mandiri dan bekerja keras. Tak sengaja, ia mendapat kesempatan menjadi ART untuk Tristan dengan syarat unik, ia hanya boleh bekerja siang hari, pulang sebelum Tristan tiba, dan tidak boleh menginap.
Sejak hari pertama, Tiwi meninggalkan catatan-catatan kecil untuk sang majikan, pesan singkat penuh perhatian, lucu, kadang menyindir, kadang menasehati. Tristan yang awalnya cuek mulai penasaran, bahkan diam-diam menanti setiap catatan itu. Hingga akhirnya bertemu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Langit malam di kota itu tampak tenang. Lampu jalan menyala, lalu lintas sudah mulai lengang. Di dalam rumah modern yang berdiri kokoh tak jauh dari rumah sakit, Tristan duduk sendirian di ruang kerjanya.
Laptop masih menyala, tumpukan laporan pasien terbuka, tapi pikirannya tidak benar-benar fokus. Sejak beberapa jam lalu, bayangan wajah Tiwi terus muncul dari cara gadis itu ceplas-ceplos di dapur, sampai ekspresi seriusnya ketika menghadapi tiga pria kasar tadi sore.
Tristan menarik napas dalam, menutup laptop, lalu menyandarkan tubuh ke kursi kulit. Tangannya terangkat, menutupi mata. “Kenapa aku terus memikirkan dia?”
Ia seorang dokter bedah yang terbiasa hidup dengan logika, disiplin, dan kontrol diri. Semua hal diatur dengan presisi. Namun sejak Tiwi masuk ke dalam kehidupannya, keseimbangannya mulai goyah.
Gadis itu tidak seperti siapa pun yang pernah ia temui. Blak-blakan tapi sopan, keras kepala tapi lucu, cantik tanpa dibuat-buat. Bahkan saat marah, ada daya tarik yang justru membuatnya semakin menonjol.
Tristan menghela napas. “Astaga… aku benar-benar bodoh.”
---
Keesokan paginya
Tiwi datang seperti biasa, membawa tas belanjaan besar. Ia melangkah masuk dengan riang, tanpa menunggu dipersilakan.
“Selamat pagi, Dokter Dingin! Hari ini aku bawain bahan buat bikin sup buntut. Kamu pasti nggak pernah makan yang beneran enak, kan? Makannya tiap hari kayak pasien rawat inap sayur rebus hambar, dada ayam panggang tanpa bumbu.”
Tristan yang sedang membaca koran di ruang makan menoleh sekilas. Ia ingin menjawab dingin seperti biasanya, tapi entah kenapa yang keluar justru berbeda.
“Sup buntut? Kau yakin bisa masak seenak itu?”
Tiwi menoleh sambil menaruh belanjaannya di meja dapur, matanya menyipit penuh tantangan. “Hei, jangan remehkan aku. Restoran keluarga aku tuh, Dok, sudah punya cabang di mana-mana. Aku tumbuh besar di dapur. Kalau sup buntut aku nggak bikin kamu ketagihan, aku resign jadi ART limited edition kamu sekarang juga!”
Tristan mendengus kecil, tapi ujung bibirnya terangkat tipis. “Kau memang suka bicara besar.”
“Bukan bicara besar, tapi fakta.” Tiwi mengangkat dagu dengan percaya diri.
Beberapa saat kemudian, dapur dipenuhi aroma sedap. Tiwi bergerak lincah, tangannya cekatan, sesekali bersenandung kecil sambil menyiapkan bumbu. Tristan, tanpa sadar, memperhatikan dari jauh. Ada sesuatu yang menenangkan melihat gadis itu begitu hidup di dapurnya.
---
Saat makan siang
Semangkuk sup buntut mengepul hangat di depan Tristan. Ia menatap isinya, lalu menoleh ke Tiwi yang berdiri dengan tangan terlipat, menunggu reaksinya.
“Silakan dicoba, Dokter. Jangan lupa kalau enak, kamu harus bilang. Kalau nggak enak… ya tetap harus bilang, biar aku bisa kasih bumbu tambahan.”
Tristan mengambil sendok, mencicipi perlahan. Matanya terpejam sejenak. Kuah gurih beraroma rempah memenuhi mulutnya, daging buntutnya empuk, bumbunya meresap sempurna. Ia hampir lupa kapan terakhir kali makan makanan rumah seenak ini.
Tiwi mencondongkan tubuh, penasaran. “Nah? Gimana? Jangan pura-pura nggak enak biar gengsi loh.”
Tristan menaruh sendoknya, lalu menatap Tiwi. “Lumayan.”
Tiwi langsung mendengus keras. “Lumayan? Ya ampun, Dok! Itu sup buntut kelas internasional, bisa bikin chef top dunia minder, masa dibilang lumayan?!”
Tristan berusaha menahan tawa. “Kalau aku bilang enak, kau pasti besar kepala.”
Tiwi menunjuknya dengan sendok kayu. “Kamu ini emang dasar gengsi abadi. Ngaku aja susah.”
Tristan menunduk, menyembunyikan senyum samar di wajahnya. Dalam hati, ia harus mengakui: sup buntut itu bukan sekadar enak itu makanan terbaik yang ia nikmati dalam beberapa tahun terakhir.
Siang menjelang sore, saat Tiwi beres-beres dapur, Tristan berdiri di ambang pintu, memperhatikan.
“Tiwi,” panggilnya.
Tiwi menoleh sambil membawa tumpukan piring. “Hm? Kenapa?”
Tristan ragu sebentar, lalu berkata pelan, “Kalau… kau tidak sibuk, besok bisa datang sedikit lebih awal?”
Tiwi menaikkan alis. “Lho? Dokter Dingin ngajak kencan rahasia, nih?”
Tristan menghela napas, menahan diri agar tidak mengusir gadis itu keluar. “Aku hanya… mungkin butuh sarapan sebelum berangkat kerja.”
“Ohh, sarapan!” Tiwi langsung menepuk tangannya. “Tenang, Dok. Aku bakal buatin kamu sarapan terenak yang pernah kamu makan. Tapi dengan satu syarat.”
“Apa lagi?”
“Kamu harus jujur. Kalau enak, bilang enak. Jangan pakai kata ‘lumayan’ lagi.”
Tristan terdiam sejenak, lalu mengangguk kecil. “Baiklah.”
Tiwi tersenyum lebar. “Sip! Deal!”
---
Malam itu
Tristan duduk di ruang tamu, menatap layar ponselnya. Ia membuka video kejadian Tiwi melawan tiga pria kasar kemarin. Berkali-kali ia menontonnya, matanya selalu menajam saat melihat betapa beraninya gadis itu.
Ada rasa khawatir, tapi juga rasa kagum yang tak bisa ia sembunyikan.
Mama Tina sempat menelpon sore tadi, menanyakan kabar. Tristan hampir saja menceritakan soal Tiwi, tapi urung. Ia sendiri belum mengerti bagaimana menjelaskan perasaan yang mulai tumbuh ini.
“Bodoh,” gumamnya pada diri sendiri. “Dia ART-mu. Seharusnya kau jaga jarak.”
Namun hatinya berkata lain.
--
Keesokan paginya
Tiwi benar-benar datang lebih awal. Jam enam pagi, ia sudah berdiri di depan rumah dengan totebag berisi roti segar, telur, dan beberapa bahan sarapan lain.
Begitu pintu dibuka, ia langsung masuk dengan ceria. “Selamat pagi, Dok! Hari ini kamu bakal sarapan ala hotel bintang lima, tapi buatan ART limited edition!”
Tristan yang masih setengah mengantuk hanya bisa menatap dengan pasrah. Tapi dalam hati, ia merasa rumahnya tidak pernah terasa sehidup ini sebelumnya.
Tiwi sibuk di dapur, sementara Tristan duduk membaca koran. Beberapa kali, matanya teralihkan oleh suara Tiwi yang bernyanyi kecil atau menggerutu sendiri saat menjatuhkan sendok.
Saat sarapan tersaji, Tristan menatap meja yang penuh dengan omelet, roti panggang, dan jus segar.
Tiwi duduk di seberangnya, menatap penuh antisipasi. “Ayo, coba dulu. Ingat janji kita.”
Tristan mencicipi, lalu menatapnya. Kali ini ia tidak bisa menahan senyum. “Enak.”
Tiwi langsung bersorak, memukul meja. “Yes! Akhirnya Dokter Dingin ngaku juga! Aku harus rayain ini!”
Tristan tertawa kecil tawa yang jarang sekali keluar darinya. Dan di momen itu, ia sadar: gadis ini perlahan meruntuhkan semua tembok gengsinya.
Namun, jauh di luar sana, rencana Arina semakin matang. Video Tiwi yang sudah direkamnya kemarin hanya awal. Ia sudah menyiapkan langkah berikutnya—dan kali ini, taruhannya jauh lebih berbahaya.
Sementara itu, Tristan dan Tiwi, tanpa sadar, semakin terikat satu sama lain.
Bersambung…
weezzzzz lah....di jamin tambah termehek-mehek kamu....🤭
Siapa sih orang nya yang akan diam saja, jika dapat perlakuan tidak baik dari orang lain? Tentunya orang itu juga akan melakukan pembalasan balik.
Lope lope sekebon Author......🔥🔥🔥🔥🔥
Tak kan mudah kalian menumbangkan
si bar bar ART.....💪🔥🔥🔥🔥🔥