Tiga tahun Arunika rela menjadi istri yang sempurna. Ia bekerja keras, mengorbankan harga diri, bahkan menahan hinaan dari ibu mertua demi menyelamatkan perusahaan suaminya. Namun di hari ulang tahun pernikahan mereka, ia justru dipaksa menyaksikan pengkhianatan paling kejam, suami yang ia cintai berselingkuh dengan sahabatnya sendiri.
Diusir tanpa belas kasihan, Arunika hancur. Hingga sosok dari masa lalunya muncul, Rafael, pria yang dulu pernah dijodohkan dengannya seorang mafia yang berdarah dingin namun setia. Akankah, Rafael datang dengan hati yang sama, atau tersimpan dendam karena pernah ditinggalkan di masa lalu?
Arunika menyeka air mata yang mengalir sendu di pipinya sembari berkata, "Rafael, aku tahu kamu adalah pria yang kejam, pria tanpa belas kasihan, maka dari itu ajari aku untuk bisa seperti kamu!" tatapannya tajam penuh tekad dan dendam yang membara di dalam hatinya, Rafael tersenyum simpul dan penuh makna, sembari membelai pipi Arunika yang basah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Rafael
Arunika diseret ke lantai atas markas, tubuhnya dipaksa masuk ke sebuah kamar gelap dengan jendela tertutup rapat. Nafasnya tersengal, kedua tangannya masih berusaha melepaskan cengkraman kasar pengawal itu.
“Lepaskan aku!” teriaknya, matanya berkilat penuh perlawanan meski tubuhnya gemetar.
Pria itu mendorongnya ke dinding. “Diam! Kalau tidak, aku...”
Dorr!
Pintu kamar mendadak terbuka keras. Suara tembakan meledak, menghentikan kalimat pria itu. Peluru menancap tepat di kusen kayu, hanya beberapa centimeter dari kepala pengawal. Semua orang di ruangan itu membeku.
Sosok Rafael berdiri di ambang pintu, bayangannya membesar oleh cahaya lampu koridor. Mata hitamnya menyala bagaikan bara, aura membunuh menyelimuti seluruh ruang. Satu tangannya memegang pistol, sementara tangan lainnya sudah siap mengeksekusi siapa saja yang berani mendekat Arunika.
“Lepaskan dia.” Suara Rafael rendah, dingin, tapi cukup membuat semua pengawal di kamar itu kaku seketika. Pengawal yang tadi mencekik Arunika mencoba berkilah, “Tuan Rafael, perintah...”
Dorr!
Peluru kedua meledak, kali ini menancap tepat di dinding, hanya beberapa milimeter dari bahu pria itu. Rafael maju selangkah, nadanya tajam seperti pisau.
“Aku bilang … lepaskan dia.”
Tak ada pilihan lain, pengawal itu melepaskan Arunika. Tubuh gadis itu limbung, namun segera Rafael meraihnya, menariknya ke dalam pelukan.
“Rafael…” suara Arunika parau, nyaris pecah.
Rafael menatap wajahnya yang pucat, jemarinya menyapu pelipis Arunika yang basah oleh keringat dingin.
“Aku di sini,” bisiknya. “Tak ada seorang pun yang akan menyentuhmu ... Aku sudah janji.”
Pengawal lain yang masih berdiri ragu mulai meraih senjata, tapi tatapan Rafael yang membunuh membuat mereka membeku. Marco muncul di belakang, membawa timnya, langsung melumpuhkan semua orang di ruangan itu.
Rafael merangkul Arunika erat-erat, lalu berbalik. “Kita keluar dari sini. Kau aman sekarang.”
Arunika menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Aku dengar … ucapanmu tadi pada ibumu.”
Rafael berhenti sejenak, lalu menunduk menatapnya. “Dan aku tidak menyesal.” Jemarinya mengusap pipi Arunika lembut. “Aku mencintaimu, Arunika. Tak ada satu pun yang bisa mengubah itu.”
Air mata Arunika jatuh, bukan karena lemah, tapi karena untuk pertama kalinya ia benar-benar percaya pada Rafael.
Langkah Rafael cepat, merangkul Arunika erat dalam pelukannya. Marco dan orang-orangnya menutup barisan belakang. Mereka hampir mencapai pintu keluar markas ketika tiba-tiba terdengar suara tumit sepatu menghentak lantai.
Di ujung lorong yang remang, Aurel berdiri. Gaun hitamnya berkilau di bawah lampu gantung, wajahnya dingin dengan senyum tipis penuh ejekan. Beberapa orang pengawal bersenjata berat berdiri di kedua sisinya.
“Berhenti di situ, Rafael.” Suaranya bergema, penuh wibawa. “Kau sungguh berani menentang ibumu demi perempuan kotor itu.”
Rafael menarik Arunika sedikit ke belakang tubuhnya, pistolnya terangkat. Sorot matanya membunuh. “Singkirkan dirimu, Ibu. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyentuhnya lagi.”
Aurel terkekeh lirih, langkahnya pelan mendekat. “Kau tahu siapa dia, Rafael? Gadis itu anak dari pembunuh! Orang tuanya ... Tuan Arum dan Larasastri ... Adalah dalang yang menjerumuskan keluarga kita, membuat kita hancur. Arunika lahir dari darah kotor itu.”
Arunika terdiam, tubuhnya kaku. Kata-kata itu menusuk jantungnya. Tapi Rafael tanpa ragu menjawab, suaranya keras dan penuh amarah. “Cukup! Aku tidak peduli siapa orang tuanya, aku hanya tahu satu hal, Arunika tak bersalah!”
Aurel menghentikan langkah, wajahnya menegang. “Kau dibutakan oleh rasa kasihan dan nafsu, Rafael. Percayalah, tidak ada satu pun di keluarga kita yang akan tulus mencintai dia. Cepat atau lambat, kau akan mengerti. Dia hanya alat … sama seperti dulu orang tuanya.”
Arunika menggenggam erat lengan Rafael, matanya bergetar menahan sakit. Tapi Rafael menoleh sekilas, menatapnya dengan tatapan tajam penuh keyakinan.
“Aku tidak peduli kata siapa pun,” ucapnya tegas, kembali menatap Aurel. “Aku memilih dia. Dan mulai hari ini, aku akan berdiri di hadapannya, melindunginya ... bahkan dari darah dagingku sendiri.”
Lorong itu sunyi sejenak, hanya terdengar napas tegang semua orang. Aurel menyipitkan mata, senyumnya hilang berganti kilatan kebencian.
“Kalau begitu, Rafael … mulai detik ini, kau bukan lagi anakku.”
Salam sehat ttp semangat... 💪💪😘😘
Salam kenal Thor.. 🙏🏻
mikir nihh