Setelah dua tahun menikah, Laras tidak juga dicintai Erik. Apapun dia lakukan untuk mendapatkan cinta suaminya tapi semua sia-sia. Laras mulai lelah, cinta Erik hanya untuk Diana. Hatinya semakin sakit, saat melihat suaminya bermesraan dengan Dewi, sahabat yang telah dia tolong.
Pengkhianatan itu membuat hatinya hancur, ditambah hinaan ibu mertuanya yang menuduhnya mandul. Laras tidak lagi bersikap manja, dia mulai merencanakan pembalasan. Semua berjalan dengan baik, sikap dinginnya mulai menarik perhatian Erik tapi ketika Diana kembali, Erik kembali menghancurkan hatinya.
Saat itu juga, dia mulai merencanakan perceraian yang Elegan, dibantu oleh Briant, pria yang diam-diam mencintainya. Akankah rencananya berhasil sedangkan Erik tidak mau menceraikannya karena sudah ada perasaan dihatinya untuk Laras?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reni Juli, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23. Itu Dulu
Laras duduk bersila di lantai ruang tamu. Laptop terbuka di hadapannya, lembaran dokumen berserakan mengelilinginya. Jari-jarinya menari cepat di atas keyboard, menyempurnakan proposal yang akan dia ajukan pada Tuan Roby. Tinggal satu hari lagi. Proposal itu harus terlihat sekuat mungkin agar bisnis baru Erik bisa menarik perhatian sang pengusaha.
Dia yakin Erik tidak akan menolak rencananya. Bahkan, pria itu pasti akan senang ketika mengetahui ia mencoba mengamankan kerja sama dengan Roby.
Namun, kali ini bukan dia yang akan menemui pria tua hidung belang itu. Biarkan Dewi merasa menang sejenak, sebelum kehancuran datang menjemputnya.
Membayangkannya saja sudah membuat senyum tipis mengembang di bibir Laras. Rasa tak sabar membuat semangatnya terus membara. Tetapi konsentrasinya buyar ketika deru mesin mobil terdengar dari luar rumah.
Perlahan ia berdiri, melangkah menuju jendela, dan mengintip ke luar. Erik baru saja turun dari mobil. Ia mengangkat tas dari bahunya dan segera melangkah masuk.
Laras mendecakkan lidah. Tentu saja, kepulangan Erik pasti ada hubungannya dengan ibunya. Pasti pria itu dimarahi dan dipaksa pulang.
“Cih, dasar anak mami,” gumamnya sinis. Tirai ia jatuhkan kembali sebelum melanjutkan pekerjaannya. Tidak ada niat untuk menyambut. Justru ia lebih suka Erik tidak pulang sama sekali agar ia bisa menikmati ketenangan tanpa gangguan.
Tak lama, Erik masuk ke dalam rumah. Tatapannya langsung tertuju pada Laras, yang duduk tenang tanpa menoleh sedikit pun, seakan tak peduli dengan kepulangannya.
“Apa itu caramu menyambut suamimu, Laras?” suaranya dingin.
“Oh, ayolah,” Laras hanya membetulkan kacamatanya, masih menatap layar laptop. “Apa aku harus menari telanjang di depan pintu seperti para selingkuhanmu?” ejeknya penuh sindiran.
“Tidak ada yang melakukan hal itu. Jangan asal bicara!”
“Kalau begitu, jangan harap aku akan melakukannya.”
Rahang Erik mengeras. “Laras, kau istriku. Menyambut kepulanganku adalah kewajibanmu. Dulu kau tidak seperti ini. Kau akan segera menghampiri, mengambil jas dari tanganku, menanyakan apakah aku ingin makan atau mandi dulu. Tapi sekarang… aku bahkan tidak mengenalmu lagi.”
Dengan kasar Laras menutup laptop. Matanya menyala penuh amarah ketika menatap suaminya.
“Itu dulu, Erik. Saat aku masih mengharapkan cintamu. Saat aku merendahkan diri demi mendapatkan sedikit perhatianmu. Ya, aku pernah melakukan kebodohan memalukan itu, tapi sekarang tidak lagi. Aku tidak akan mengemis simpati dari suami yang tidak pernah menghargaiku. Jangan pernah minta aku mengulanginya, karena aku sudah muak.”
Erik menghela napas panjang, melonggarkan dasinya, lalu mendekat. Di lubuk hatinya, ia tahu semua yang dikatakan Laras benar. Dialah yang bersalah.
“Laras, bagaimana kalau kita coba perbaiki semua ini?” suaranya lebih lembut.
“Apa maksudmu?” Laras menatap tajam, penuh curiga.
“Ibuku ingin cucu. Bagaimana kalau kita penuhi saja keinginannya? Kalau kau hamil, dia pasti akan merestui pernikahan kita.”
Laras terkekeh sinis, melipat kedua tangan di dada. “Oh, Tuan Wijaya. Sungguh mengejutkan sekali.”
“Jangan panggil aku begitu. Aku suamimu.”
“Suamiku?” suara Laras meninggi, getir sekaligus dingin. “Di mana sikap itu selama dua tahun ini? Dua tahun aku berusaha keras agar dicintai, sementara kau sibuk dengan wanita-wanita lain. Kau tidak pernah peduli perasaanku. Kau tidur dengan mereka sesuka hati, dan sekarang kau ingin aku melahirkan anakmu?” Senyum sinis melengkung di bibirnya. “Maaf, aku tidak sudi memakai sisa orang lain.”
“Aku tidak menyentuh Dewi hari ini. Dan mulai sekarang, aku tidak akan menyentuh wanita mana pun selain dirimu.”
“Maaf, Tuan Wijaya. Aku tetap tidak berminat.” Laras berdiri, meraih laptop dan proposal. Suaranya dingin menusuk. “Aku tidak akan tidur denganmu. Aku jijik dekat dengan lelaki yang menghabiskan malam bersama Dewi. Urus dirimu sendiri. Kalau kau butuh sesuatu, cari Dewi atau siapa pun. Aku tidak peduli.”
"Aku tidak membutuhkan mereka lagi, Laras. Yang aku butuhkan dirimu sekarang!"
"Tapi aku sudah tidak membutuhkan dirimu selain uangmu, Erik!"
"Baiklah. Aku beri lima miliar jika kau melahirkan anak untukku!"
Laras terdiam. Lima Miliar? Laras tertawa pelan. Tawaran yang menggiurkan tapi dia tidak berminat.
"Maaf, Tuan Wijaya. Kali ini aku tidak tertarik dengan uangmu. Terima kasih atas transferannya, padahal kau bebas melakukan apapun dengan Dewi tapi kau menyia-nyiakannya dan jangan harap aku akan mengembalikan uangmu!"
Ia pergi dengan langkah tegas, pintu dibanting keras hingga bergema.
Keheningan menyelimuti ruangan. Erik jatuh terduduk di sofa, menghela napas panjang. Dia kira Laras akan tergiur setelah mendengar nominal yang besar, rupanya tidak.
Ia tahu ini tidak akan mudah. Dia telah membuat Laras kecewa dan membenci dirinya. Tapi ia tak pernah menyangka, keinginan untuk mempertahankan pernikahan itu kini begitu kuat. Sekarang dia merasa seperti orang bodoh.
Seharusnya tidak seperti ini. Hatinya masih menyimpan Diana. Satu-satunya wanita yang dia inginkan sejak dulu. Namun, entah kenapa, hasratnya bergeser. Kini, justru Laras yang ingin ia genggam erat.
Sementara itu, Laras mengunci dirinya di kamar tamu. Ia tidak ingin mengulang malam ketika Erik tidur nyenyak sambil memeluknya. Dulu, itu adalah hal yang ia dambakan. Sekarang, hanya membuatnya muak dan dia tidak akan memberikan Erik kesempatan untuk melakukannya lagi.
Di kamar utama, Erik hanya menemukan sisa aroma parfum istrinya. Ia duduk di ranjang, berharap masih ada kesempatan memperbaiki hubungan.
Ponselnya berdering. Nama ibunya muncul di layar. Dengan berat, ia menjawab.
“Sudah malam, Ma. Bisa tidak jangan mengangguku sekarang?”
“Kau sudah pulang atau belum, Erik?” suara ibunya melengking.
“Aku sudah di rumah. Jangan berteriak.”
“Bagus. Sekarang ceraikan istrimu. Jangan beri dia sepeser pun!”
“Ma, kenapa harus selalu perceraian? Tidak adakah kata lain?”
“Tidak ada. Mama muak dengannya. Kau pantas dapat istri yang lebih baik. Segera ceraikan dia, Mama akan mencarikan yang sepadan.”
“Tidak, Ma. Aku tidak mau.” Erik menolak tegas. “Aku sudah memikirkannya. Aku ingin memperbaiki pernikahanku dengan Laras.”
“Apa? Apa yang kau katakan barusan?” suara ibunya terkejut, sekaligus marah.
“Aku tidak akan menikah lagi. Aku akan memberi cucu yang Mama inginkan, tapi dengan Laras. Itu keputusan final.”
“Itu bukan masalah utamanya, Erik.”
“Please, jangan ikut campur urusan rumah tanggaku lagi!” Erik menutup telepon sebelum ibunya sempat menyelesaikan kalimat.
“Erik, tunggu!” Suaranya terputus, meninggalkan amarah membara. Ia tak menyangka putranya justru ingin memiliki anak dengan Laras.
Tidak. Itu tidak boleh terjadi. Ia harus memisahkan keduanya. Jika tidak ada jalan lain… mungkin ia terpaksa menyetujui permintaan gila Laras, meski harga yang diminta sama sekali tidak masuk akal.
Tapi sebelum itu, dia harus mencari cara untuk membuat Erik membenci Laras. Mungkin dengan demikian, barulah Erik mau menceraikan Laras.
jd pengen Ratna jd gembel 🤣🤣
hayuu Erik n Ratna cemuuuunguut utk tujuan kalian yg bersebrangan 🤣🤣
semangat utk mendapat luka Erik 🤣