"sudahlah mas, jangan marah terus"
bujuk Selina pada suaminya Dante yang selalu mempermasalahkan hal-hal kecil dan sangat possesif..
"kau tau kan apa yang harus kau perbuat agar amarahku surut"
ucap Dante sambil membelakangi tubuh Selina..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mamana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kecemburuan Selina yang berakhir hangat..
Udara malam di luar masih menyisakan aroma makanan dan tawa tamu-tamu yang beranjak pulang, tapi di dalam rumah Dante dan Selina, suasananya justru dingin dan tegang.
Selina berjalan cepat menuju kamar, melepas anting dan gelangnya satu per satu dengan gerakan kesal.
Tanpa sepatah kata pun, ia masuk kamar mandi, menyalakan keran air, dan mulai membersihkan wajahnya dari riasan. Setiap sapuan kapas terasa seperti melampiaskan kekesalan.
“Ah dasar… tadi dia bisa tertawa begitu lepas di depan Melda,” gumamnya lirih, seolah bicara pada bayangan sendiri di cermin.
Dari pantulan kaca, Selina melihat Dante masuk, pelan tapi pasti, dengan ekspresi datar yang sulit ditebak. Ia melepas jam tangannya, menggulung lengan kemeja, lalu berdiri di wastafel sebelah Selina.
Tanpa berkata apa-apa, Dante mencuci wajahnya di sebelah istrinya, membiarkan air mengalir deras membasahi rambut dan lehernya.
Beberapa detik hening. Hanya suara air yang memecah diam itu.
Tiba-tiba, Dante memercikkan sedikit air ke arah Selina sambil tersenyum miring.
“Heh…”
Selina menoleh tajam. “Apaan sih, Mas…”
Dante menatapnya, masih dengan sisa air di wajahnya. “Aku kan sudah bilang, perasaanku nggak mungkin terbagi.”
“Benarkah?” Selina menantang, alisnya naik. “Lalu kenapa tadi kau terlihat begitu asyik ngobrol dengan mantanmu itu? Kau lupa aku di sana?”
Nada suaranya bergetar menahan marah. Ia mengambil handuk, mengelap wajahnya kasar, lalu berbalik meninggalkan Dante yang masih berdiri di depan wastafel.
Tanpa banyak bicara, Selina naik ke ranjang, menarik selimut tebal dan menutup seluruh tubuhnya, seolah ingin menghilang dari pandangan suaminya.
Dante memandangi punggung istrinya lama. Ada helaan napas berat keluar dari dadanya, antara jengkel dan gemas.
Ia lalu berganti baju, mematikan lampu kamar mandi, dan melangkah perlahan menuju ranjang.
Begitu tiba di sisi tempat tidur, Dante duduk di tepi kasur, memandang gundukan selimut yang bergerak halus seiring napas Selina.
“Masih marah, ya?” bisiknya pelan.
Tak ada jawaban.
Dante tersenyum kecil, lalu berbaring di sampingnya. Tangannya perlahan menarik sedikit ujung selimut, mencari tangan istrinya di baliknya.
Selina tetap diam, tapi jantungnya berdetak cepat saat Dante mendekat dan berbisik lembut di telinganya,
“Kalau aku terlalu banyak bicara sama Melda… itu cuma supaya aku tahu sejauh apa kau mencintaiku.”
Kata-kata itu membuat Selina membuka matanya pelan, masih pura-pura tidur.
Ia ingin marah. Tapi entah kenapa, suara dingin Dante malam itu malah terasa hangat di dadanya.
Dante duduk di tepi ranjang, menatap punggung Selina yang masih tertutup selimut. Lampu kamar hanya menyala redup, membuat bayangan mereka tampak melebur di dinding.
“Sel…” panggilnya pelan.
Tak ada jawaban. Hanya napas berat dari balik selimut.
Dante menarik napas panjang, lalu perlahan menyingkap ujung selimut itu. “Aku tahu kau masih marah,” katanya, suaranya lebih lembut dari biasanya. “Tapi kau juga tahu… aku nggak pernah bisa tidur kalau kita masih diam-diaman begini.”
Selina tetap diam, tapi tubuhnya kaku. Ia ingin menahan amarahnya, namun hangat dari sentuhan tangan Dante di bahunya membuat pertahanannya runtuh sedikit demi sedikit.
"aku hanya ingin… semuanya kembali hangat seperti biasa,” bisik Dante, suaranya nyaris serak. Ia lalu menyelipkan jarinya di sela rambut Selina, mengusapnya lembut.
Dante mulai menggoda selina dan tidak menyerah sampai Selina luluh, mulai dari menciumi lehernya.. Meraba gunung kembarnya.. Hingga dante mencoba membuka kancing baju istrinya..
"mas.. Jangan... " ucap Selina..
"kenapa jangan sel.. Bukan kah kita selalu melakukanya tiap malam.. " ucap Dante menggoda..
"tapi hari ini aku lagi marah sama mas.. Aku gak mau melakukannya mas.. "
Dante merebahkan tubuhnya perlahan.. Namun perkataannya memancing selina untuk kalah dari permainannya..
"ya kalau kau memang tidak mau melakukanya sekarang... Mungkin cara melda mendekatiku akan ku pertimbangkan lagi.. "
Selina mencubit perutnya keras..
"apa yang kau katakan mas.. Kau bilang perasaanmu tak akan terbagi.. Kau bohong"
Selina melebar kan matanya..
Namun Dante malah mendekatkan wajahnya.. "lalu apa yang bisa kulakukan jika istriku tak mau melakukan kewajibannya lagi Sel"..
Lalu mencium bibir selina... Membuat Selina menoleh menolak ciuman itu..
"tapi aku istrimu mas bukan hanya pemuas Hasratmu saja.. .. Bisa kan kita jeda sebentar malam ini.. Aku capek"..
"kalau capek.. Besok akan ku antar kau pergi ke spa Sel... Kau bisa memanjakan diri di sana.. Ayolah.. Jangan buat aku semakin gemas..menyaksikan kecemburuan mu"
“Mas selalu tahu caranya bikin aku nggak bisa marah lama,” gumam Selina lirih tanpa menoleh.
“Karena aku kenal setiap bagian dari hatimu, Sel,” jawab Dante pelan, menatapnya dalam. “Marahmu, cemburumu, semuanya cuma bukti kalau kau masih cinta padaku. Dan itu yang selalu aku syukuri.”
Selina menghela napas panjang. Amarahnya pelan-pelan mencair, berganti dengan rasa hangat yang tak bisa ia tolak. Ia berbalik, menatap Dante yang kini sudah sedekat itu.
“Mas tahu nggak,” katanya pelan, “kadang aku benci caramu bicara lembut setelah bikin aku kesal.”
Dante tersenyum miring. “Tapi itu berhasil, kan?”
Selina tak menjawab. Ia hanya menatap wajah suaminya, lama. Tatapan yang penuh cinta, lelah, tapi tak pernah benar-benar bisa membenci.
Dante mengangkat tangan Selina, mengecupnya pelan.
Malam itu, setelah sekian lama saling menahan kata, akhirnya dinding keheningan di antara mereka runtuh. Selina memejamkan mata ketika Dante menariknya perlahan ke dalam pelukan. Dada suaminya terasa hangat, menenangkan, seolah semua amarah yang tadi memenuhi kepalanya menguap begitu saja.
“Mas…” bisiknya lirih, suaranya bergetar, antara menolak tapi ingin lebih menikmati.
Dante menatapnya dalam, seolah ingin memastikan bahwa yang mereka jalani malam itu bukan sekadar pelarian, melainkan cara mereka saling menemukan kembali. “Aku cuma ingin kau ingat,” ucapnya pelan, “bahwa di balik semua pertengkaran, aku tetap mencintaimu.”
Pelukan mereka semakin erat. Setiap sentuhan terasa seperti cara lain untuk meminta maaf, setiap helaan napas menjadi bahasa yang tak perlu dijelaskan. Selina berhenti melawan, bukan karena kalah, tapi karena akhirnya mengerti bahwa cinta mereka memang tak bisa berdamai lewat kata, hanya lewat keintiman yang jujur dan tulus.
Di tengah remang cahaya, waktu seolah berhenti. Yang tersisa hanya dua hati yang saling mencari, lalu bertemu kembali dalam diam yang paling hangat, dalam cinta yang tak pernah benar-benar padam.
Malam itu berakhir dalam keheningan yang hangat. Selina terbaring dalam dekapan Dante, napas mereka beriring tenang seolah waktu ikut berhenti. Di kamar yang temaram, hanya sisa aroma keakraban dan cahaya lembut lampu yang menemaninya. Untuk pertama kalinya setelah lama, keduanya benar-benar merasa satu.
dan malam itu berlalu dengan pemandangan pakaian di sekeliling mereka yang berceceran di lantai..