Luna Arindya, pemanah profesional dari dunia modern, meninggal tragis dalam sebuah kompetisi internasional. Saat membuka mata, ia mendapati dirinya berada di dalam novel fantasi yang pernah ia baca—dan menempati tubuh Putri Keempat Kekaisaran Awan. Putri yang lemah, tak dianggap, hidupnya penuh penghinaan, dan dalam cerita asli berakhir tragis sebagai persembahan untuk Kaisar Kegelapan.
Kaisar Kegelapan—penguasa misterius yang jarang menampakkan diri—terkenal dingin, kejam, dan membenci semua wanita. Konon, tak satu pun wanita yang mendekatinya bisa bertahan hidup lebih dari tiga hari. Ia tak tertarik pada cinta, tak percaya pada kelembutan, dan menganggap wanita hanyalah sumber masalah.
Namun semua berubah ketika pengantin yang dikirim ke istananya bukan gadis lemah seperti yang ia bayangkan. Luna, dengan keberanian dan tatapan tajam khas seorang pemanah, menolak tunduk padanya. Alih-alih menangis atau memohon, gadis itu berani menantang, mengomentari, bahkan mengolok-olok
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 kebenaran yang terungkap
Balairung yang tadinya ramai kini sunyi. Para tamu telah kembali ke kediaman masing-masing. Sementara itu, para menteri pengkhianat sudah digiring ke penjara istana, menunggu pengadilan besok siang.
Namun, ketenangan malam itu hanyalah ilusi.
Di kediaman para selir, wajah-wajah pucat dan penuh kegelisahan tampak jelas. Permaisuri utama menggenggam cangkir tehnya erat-erat, hampir memecahkannya.
“Jika putri keempat terus dibiarkan, cepat atau lambat, rahasia kita juga akan terbongkar,” desisnya dengan nada getir.
Putra Mahkota menunduk, wajahnya menegang. “Dia sudah berani mempermalukan para menteri di depan umum. Bagaimana jika esok giliran kita?”
Salah satu putri lain menyahut dengan suara ketakutan namun penuh iri, “Rui Zhi Han… gadis hina itu… bagaimana mungkin bisa berdiri begitu tinggi malam ini? Dia harus disingkirkan, malam ini juga!”
Keputusan diambil. Malam itu, ratusan pembunuh bayaran terbaik disewa untuk membungkam Rui Zhi Han selamanya.
---
Sedangkan Rui tengah duduk santai di kamarnya, menatap cahaya bulan yang menembus tirai tipis. Lan Mei di sampingnya.
“Yang Mulia, hamba mendengar bisikan… ada gerakan aneh malam ini. Mereka akan menyerang…hamba juga melihat bayangan yang masuk ke kediaman permaisuri dan lainya, apa saya boleh menghabisi nya?” tanya Lan Mei
Rui tersenyum dingin, meneguk tehnya dengan tenang.
“Biarkan saja. Aku sudah menunggu mereka.” Mata Rui berkilat tajam, seperti predator yang akhirnya mendapat mangsa.
Saat tengah malam bayangan hitam melesat masuk ke halaman kediaman Rui. Puluhan, lalu ratusan. Mereka bergerak tanpa suara, namun aura membunuh memenuhi udara.
Namun, begitu kaki pertama menginjak tanah halaman Rui… dunia berubah.
Langit runtuh, tanah retak, dan kegelapan menelan mereka semua.
Para pembunuh saling berpandangan, kaget, tapi sudah terlambat. Mereka tidak lagi berada di istana. Mereka telah masuk ke ruang ilusi Rui, sebuah dunia ciptaan yang hanya ia kuasai.
Di dalamnya, suara-suara bisikan menusuk telinga. Bayangan hitam mengikat tubuh mereka. Ilusi menampilkan ketakutan terdalam setiap pembunuh, ada yang melihat keluarga mereka mati, ada yang terjebak dalam api, ada pula yang ditikam berulang kali oleh sosok tak terlihat.
Jeritan memenuhi ruang itu, tapi tidak ada yang bisa mendengar
“Tidak… ini tidak nyata!”
“Keluar! Keluarkan aku dari sini!”
“Aaaarghhh—!”
Namun, semakin mereka melawan, semakin ilusi itu menghancurkan batin mereka.
Rui berjalan di antara mereka dengan langkah anggun. Senyumnya indah, tapi matanya dingin bagaikan salju.
“Jika kalian ingin menyentuhku, setidaknya kalian harus punya nyali lebih dari sekadar boneka bayaran. Tapi sayang… kalian terlalu lemah.” ujar Rui
Satu per satu, para pembunuh terkapar, kehilangan kekuatan dan kehendak.
Rui mengibaskan tangannya. Seketika, mereka semua dipindahkan dari ruang ilusi dan jatuh tersungkur di alun-alun kota.
---
Malam itu, penduduk masih terjaga karena pesta Kaisar. Maka, ketika puluhan hingga ratusan orang berpakaian hitam tiba-tiba muncul di alun-alun, semua mata tertuju.
Para pembunuh bayaran itu menggeliat lemah, lalu mendadak terbatuk keras. Rui sudah memastikan sebelum memindahkan mereka, masing-masing dipaksa menelan pil kejujuran.
Dan efeknya segera terasa.
Suara mereka terdengar jelas di bawah cahaya bulan, berteriak tanpa bisa dikendalikan:
“Aku… aku dikirim oleh Permaisuri untuk membunuh Putri Keempat!”
“Putra Mahkota… dialah yang memimpin rencana ini!”
“Aku menerima emas dari Putri Kedua… dia bilang, Rui Zhi Han harus mati malam ini!”
Penduduk terkejut. Suasana meledak jadi gemuruh.
“Apa? Mereka berani menyerang darah kekaisaran?!”seru salah satu dari penduduk disana
“Bahkan Permaisuri dan Putra Mahkota terlibat?!” ujar yang lain
“Pengkhianat semua! Layak mati!” seru lainya pula
Kabar itu menyebar dengan cepat, dari mulut ke mulut, sampai ke telinga pejabat, pengawal, dan akhirnya sampai pada Kaisar Awan.
-----
Kaisar Ruyan sendiri baru saja hendak beristirahat ketika seorang pengawal bergegas masuk, berlutut sambil mengangkat sebuah kotak kayu.
“Yang Mulia Kaisar!” suaranya gemetar. “Malam ini bukan hanya para pembunuh yang ditangkap rakyat. Hamba… hamba juga menemukan kotak ini. Di dalamnya bukti lengkap kejahatan para selir, permaisuri, bahkan… Putra Mahkota.”
Kaisar Ruyan membeku di tempatnya.
Tangannya gemetar saat menerima kotak itu. Dan ketika ia membukanya, wajahnya semakin pucat dokumen, kontrak rahasia, catatan keuangan gelap, hingga surat perintah pembunuhan dengan cap pribadi mereka… semuanya ada di dalamnya.
Rui berdiri di balkon kamarnya, menatap bulan dengan mata dingin.
“Malam ini… hanya permulaan,” gumamnya pelan.
“Jika mereka ingin menjatuhkanku, aku akan pastikan setiap langkah mereka justru membawa mereka ke liang kubur.”
Angin malam berhembus, membawa suara jeritan para pengkhianat di kota.
Dan jauh di istana Kegelapan, sang Kaisar Kegelapan yang misterius tersenyum tipis, seakan dapat melihat semua yang terjadi.
“Menarik… semakin menarik. Rui Zhi Han, kau tidak hanya cerdas… tapi juga kejam dengan cara yang indah. Aku semakin tidak sabar.”
...----------------...
Fajar menyingsing. Balairung utama kembali dipenuhi orang, kali ini bukan untuk pesta, melainkan untuk pengadilan terbesar dalam sejarah Kekaisaran Awan.
Para menteri pengkhianat, selir, permaisuri, bahkan Putra Mahkota, semua berlutut di hadapan Kaisar Ruyan. Wajah mereka pucat pasi, sebagian menangis, sebagian masih berusaha menyembunyikan rasa takut.
Rakyat yang semalam menyaksikan kebenaran pun memenuhi halaman luar balairung. Suara mereka bergemuruh, menuntut keadilan.
Kaisar Ruyan duduk di singgasananya, wajahnya muram, mata dipenuhi murka. Di sampingnya, gulungan emas berisi nama para pengkhianat dan kotak bukti hitam yang ditemukan malam tadi.
“Semua bukti sudah ada,” suara Kaisar menggelegar. “Pengkhianatan, korupsi, bahkan rencana pembunuhan terhadap darah kekaisaran! Apa lagi yang ingin kalian bantah?!”
Suasana hening.
Permaisuri utama tiba-tiba menangis keras, merangkak maju hingga hampir menyentuh kaki Kaisar.
“Yang Mulia! Hamba… hamba hanya seorang wanita lemah! Semua itu fitnah! Jangan hukum hamba, hamba mohon!”
Kaisar menatapnya tajam, lalu menghantam meja dengan tinjunya.
“Diam, perempuan jalang! Jangan berpura-pura polos di hadapanku. Semua catatan keuangan gelapmu ada di tangan ini! Emas, perhiasan, bahkan perintah pembunuhanmu terhadap selir lain! Kau pikir aku buta?!”
Permaisuri terisak, wajahnya hancur. Ia merangkak mundur, tapi tidak ada belas kasih di mata Kaisar.
Putra Mahkota, yang biasanya penuh wibawa, kini gemetar. Ia menunduk, mencoba menyembunyikan wajahnya.
Namun salah satu pengawal maju, menyerahkan dokumen rahasia lain. “Yang Mulia, bukti terakhir ini… mengungkap kebenaran lebih besar.”
Kaisar membuka gulungan itu. Matanya melebar. Ruangan bergemuruh ketika ia membacakan isinya lantang:
“Putra Mahkota… ternyata bukan darah dagingku. Ia adalah anak haram dari Permaisuri dengan Menteri Peng!”
Balairung terhenyak. Suara bisik-bisik langsung meledak. “Itu… itu berarti Putra Mahkota bukan pewaris sah!”
“Penghianatan dalam bentuk paling keji…”
“Permaisuri… berani mencemarkan garis darah kaisar!”
Wajah Putra Mahkota seketika hancur. Ia berlutut, menangis.“Yang Mulia! Ayahanda! Ampuni aku! Aku tidak tahu… aku tidak tahu apa-apa!”
Namun Kaisar Ruyan berdiri, auranya menekan seluruh ruangan.
“Jangan panggil aku ayah! Kau bukan darahku. Kau bukan apa-apa selain noda dalam istana ini!”
Permaisuri meraung, mencoba memeluk anaknya, tapi para pengawal langsung menahannya.
bersambung