Albar tak bisa terpisahkan dengan Icha. Karena baginya, gadis itu adalah sumber wifinya.
"Di zaman modern ini, nggak ada manusia yang bisa hidup tanpa wifi. Jadi begitulah hubungan kita!" Albar.
"Gila ya lo! Pergi sana!" Icha.
Icha berusaha keras menghindar Albar yang tak pernah menyerah mengejar cintanya. Bagaimana kelanjutan cerita mereka?
*Update setiap hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Auraliv, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 - Rasa Minder Albar
Hasil ujian akhirnya diumumkan di papan pengumuman. Siswa-siswa langsung bergerombol, berdesakan membaca kertas nilai. Icha berdiri agak belakang, menunggu kerumunan agak berkurang.
Dinda, yang sudah lebih dulu melihat, menghampiri Icha dengan wajah sumringah.
“Cha! Lo juara tiga lagi. Nilai Matematika lo 98. Keren banget!”
Icha tersenyum malu. “Ah, biasa aja. Gue cuma… belajar.”
Dari jauh, Albar melihat Icha yang dikerubungi teman-temannya. Dia menatap papan pengumuman sebentar, lalu wajahnya merosot. Nilai-nilainya tidak bagus—Matematika 58, Fisika 61, dan Bahasa Inggris cuma 67. Ia segera menyingkir sebelum Icha melihat.
Sayangnya, Icha sudah memperhatikan. “Bar! Nilai lo gimana?”
Albar menggaruk kepala. “E… nanti aja liatnya, rame.”
Dinda memicingkan mata, lalu menatap bergantian ke arah Albar dan Icha. “Hmm… kalian akhir-akhir ini sering banget bareng. Ada apa, nih?”
Icha langsung menepis. “Enggak, dia cuma minta gue ngajarin pelajaran kemarin-kemarin.”
“Cuma?” Dinda menaikkan alis, senyumnya penuh kode. “Cha, mata gue tajam, lho. Kayak detektor kebohongan.”
Icha pura-pura sibuk merapikan tas, sementara Albar ikut menghindar. Tapi Dinda hanya menyipitkan mata, jelas makin curiga.
Siang itu di kantin, Icha duduk berdua dengan Albar. Suasana agak canggung karena Albar terlihat lesu.
“Bar, lo nggak perlu minder sama nilai. Gue nggak peduli kok,” ucap Icha pelan.
Albar memainkan sendoknya. “Gimana gue nggak minder? Lo nilainya nyaris sempurna, gue malah jeblok. Padahal lo udah capek-capek ngajarin gue.”
“Nilai lo nggak nentuin segalanya.”
“Buat lo mungkin enggak, tapi buat gue… rasanya kayak gue nggak selevel sama lo.”
Icha menatapnya serius. “Jangan ngomong gitu. Kalau semua orang mikir kayak gitu, dunia ini cuma diisi sama orang yang ngerasa nggak pantas.”
Albar terdiam. Wajahnya tetap murung, tapi di dalam hati ia tahu Icha benar.
Di sisi lain, Dinda yang duduk beberapa meja jauhnya memperhatikan. Ia memang tidak bermaksud ikut campur, tapi bahasa tubuh keduanya terlalu “bercerita” untuk diabaikan. Icha kelihatan sabar, sementara Albar tampak… ya, seperti cowok yang lagi naksir berat.
Saat Icha ke toilet, Dinda mendekati Albar.
“Bar.”
Albar kaget. “Eh… iya, Din?”
“Lo suka sama Icha, ya?”
Pertanyaan itu menghantam langsung tanpa basa-basi.
“Apa? Enggak!” jawab Albar cepat, mungkin terlalu cepat.
Dinda tersenyum miring. “Kalau beneran enggak, kenapa lo panik? Gue cuma nanya.”
Albar gugup, lalu mencoba mengalihkan topik. “Lo udah makan belum?”
“Udah,” jawab Dinda singkat, tapi tatapannya tajam.
Sore harinya, Albar duduk di bangku taman sekolah sendirian. Pikirannya campur aduk—antara minder, takut ketahuan, dan… kangen Icha. Icha datang sambil membawa dua minuman kotak.
“Lo udah ngilang kayak sinyal lemah. Nih, minum.”
Albar tersenyum tipis. “Makasih.”
“Bar, inget ya… gue deket sama lo bukan karena nilai. Jadi tolong berhenti mikir kalau lo nggak pantas.”
Albar memandangnya lama, lalu berkata pelan, “Lo tahu nggak, Cha? Wi-Fi terkuat itu bukan yang punya sinyal penuh, tapi yang tetap nyambung walau jaraknya jauh.”
Icha menahan senyum. “Lo tuh… ada-ada aja.”
Mereka menghabiskan sisa sore sambil ngobrol ringan, meski di sudut pikiran Albar masih ada rasa ragu. Namun, ia juga mulai sadar bahwa kebersamaan mereka bukan soal pintar atau nggak pintar—tapi soal nyaman.
Yang mereka tidak sadari, dari kejauhan, Dinda kembali melihat mereka. Senyumnya tipis, penuh rasa penasaran. Sepertinya, rahasia kecil Icha dan Albar tidak akan bisa bertahan lama.